Logo
>

Mata Uang Asia Melesat, Rupiah Memikat

Ditulis oleh Yunila Wati
Mata Uang Asia Melesat, Rupiah Memikat

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Mata uang Asia melesat pada perdagangan Rabu sore, 11 September 2024, didorong fokus investor pada data inflasi Amerika Serikat yang dapat mempengaruhi lintasan suku bunga Federal Reserve. Indeks mata uang emerging market MSCI ikut terkerek 0,1 persen, namun indeks MSCI untuk saham Asia Pasific, di luar Jepang, turun 0,1 persen.

    Berikut ini kenaikan sejumlah mata uang Asia:

    1. Peso Filipina melesat 0,7 persen terhadap dolar AS
    2. Ringgit Malaysia naik 0,3 persen terhadap dolar AS

    Kedua mata uang ini menguat paling tajam di kawasan tersebut. Sedangkan indeks dolar (Indeks DXY) yang mengukur greenback terhadap sekeranjang enam mata uang utama, justru turun 0,3 persen.

    Data Indeks Harga Konsumen AS

    Sementara itu, malam ini data indeks harga konsumen (CPI) Amerika Serikat akan dirilis. Nantinya akan terlihat apakah ada kebijakan krusial bagi para trader, meskipun the Fed menjelaskan bahwa laporan ketenagakerjaan menjadi fokus utama yang lebih besar dibandingkan dengan data inflasi.

    Di sini, meskipun isu pemangkasan suku bunga terus bergulir, namun spekulasi besaran pemangkasan juga terus berlanjut, apalag setelah pada Jumat, 6 September 2024, laporan ketenagakerjaan gagal memberikan kejelasan tentang langkah bank sentral berikutnya.

    "Hasil pembacaan yang lebih lemah dari ekspektasi atau tidak sesuai dengan proyeksi, menjadi pertanda baik bagi mata uang regional untuk menguat di sisa minggu ini," kata Kepala Ekonom Union Bank of Philippines Carlo Asuncion.

    Bursa Asia Anjlok

    Bergerak ke bursa saham Asia. Indeks saham di Bangkok anjlok 1,5 persen dan menjadi yang paling merugi di antara ekuitas emerging Asia. Hal ini disebabkan oleh rata-rata utang rumah tangga mencapai rekor tertinggi di ekonomi terbesar kedua di Asia Tenggara ini. Beberapa alasannya adalah pertumbuhan ekonomi yang lambat, pendapatan yang lebih rendah, dan biaya hidup yang tinggi.

    Barclays, dalam sebuah catatannya, mengungkap kekhawatiran stabilitas keuangan, seperti utang rumah tangga yang tinggi, bisa jadi akan meredam antusiasme Bank of Thailand untuk suku bunga yang lebih rendah.

    Tidak hanya saham Bangkok, penyusutan juga diikuti oleh ekuitas di Kuala Lumpur dan Shanghai, yang masing-masing 1,1 persen dan 0,8 persen.

    Rupiah Memikat

    Mata uang Garuda, rupiah, hari ini ditutup memikat, melesat cepat ke level Rp15.402 per dolar AS. Artinya, rupiah menguat 53 poin atau 0,34 persen jika dibandingkan akhir perdagangan kemarin sore, di level Rp15.455 per dolar AS.

    Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi, menjelaskan, penguatan rupiah didorong pelaku pasar yang sedang fokus menantikan publikasi inflasi indeks harga konsumen AS yang akan dirilis malam ini. Data ini secara luas diharapkan menjadi faktor penentu dalam prospek suku bunga acuan the Fed ke depan.

    "Menurunnya ekspektasi untuk pemotongan 50 bps telah mengguncang pasar saham sejak seminggu lalu, di tengah beberapa tanda ketahanan dalam ekonomi AS," kata Ibrahim.

    Sementara, data CPI yang muncul seminggu sebelum pertemuan FOMC the Fed, Bank sentral AS tersebut diharapkan memangkas suku bunga, setidaknya 25 basis poin. Untuk diketahui, data inflasi AS pada Juli tercatat 2,9 persen yoy. Sedangkan pelaku pasar mengantisipasi data inflasi AS pada Agustus diperkirakan melandai ke level 2,6 persen yoy.

    Lalu, berdasarkan perangkat survei CME FedWatch, mayoritas pelaku pasar (sebanyak 71 persen) memperkirakan The Fed akan menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 bps, padahal prediksi penurunan sebesar 50 basis poin.

    Debat Capres AS

    Debat capres antara Kamala Haris dan Donald Trump berlangsung sengit, berakibat pada kurs rupiah yang agak tertahan pada pembukaan sesi pertama.

    Dalam debat antara Wakil Presiden Kamala Harris dan Donald Trump menjelang pemilihan presiden AS pada 5 November 2024, kedua calon membahas sejumlah isu penting, termasuk ekonomi, imigrasi, dan masalah hukum yang dihadapi Trump.

    Analis Ratasak Piriyanont dari Kasikorn Securities mencatat bahwa perdagangan global kemungkinan akan meningkat jika Harris menang, yang akan membawa dampak positif bagi ekspor dan nilai tukar di pasar negara berkembang, termasuk Asia.

    Sebaliknya, jika Trump menang, retorika agresifnya dan ketidakpastian kebijakan bisa memicu volatilitas yang lebih tinggi di pasar. Langkah-langkah proteksionis yang diterapkan oleh Trump dalam masa jabatan sebelumnya juga berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi Asia, memperburuk nilai tukar mata uang di kawasan tersebut.

    Debat ini, dengan hasil pemilihan yang semakin dekat, menambah keraguan tentang arah kebijakan AS dan dampaknya terhadap pasar global.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79