KABARBURSA.COM - Ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,11 persen secara tahunan (year on year/yoy) pada kuartal I 2024, menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Pertumbuhan ini menjadi yang tertinggi dalam 3 kuartal terakhir.
Namun, pencapaian ini lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak akan terjadi lagi pada tahun ini, seperti Ramadan-Idulfitri dan Pemilu 2024. Ketika kedua faktor tersebut tidak ada, prospek pertumbuhan ekonomi di masa depan menjadi tidak pasti.
Kehadiran Ramadan-Idulfitri, yang merupakan momen puncak konsumsi rumah tangga, sangat efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga mencapai 4,91 persen, yang merupakan yang tertinggi sejak 2019.
Dengan kontribusinya mencapai hampir 55 persen, pertumbuhan konsumsi ini memiliki dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
"Perayaan Ramadan pada kuartal pertama tahun 2024 berkontribusi besar terhadap pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Beberapa sektor yang mengalami pertumbuhan tinggi termasuk transportasi dan komunikasi, yang tercermin dari kenaikan indeks perdagangan eceran pada suku cadang, aksesoris, bahan bakar kendaraan, dan transportasi laut-udara," jelas Amalia Adininggar Widyasanti, Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala BPS.
Sektor lain yang mengalami pertumbuhan tinggi adalah industri restoran dan hotel, yang tercermin dari tingkat okupansi kamar hotel dan penjualan makanan-minuman selama bulan Ramadan.
Di sisi lain, konsumsi pemerintah tumbuh sebesar 19,9 persen pada kuartal I 2024, didorong oleh pengeluaran terkait Pemilu 2024, program bantuan sosial, dan kenaikan gaji atau tunjangan bagi pegawai negeri. Ini merupakan pencapaian tertinggi sejak 2006.
Meskipun pertumbuhan ekonomi yang kuat pada kuartal pertama tahun 2024 patut disyukuri, namun saat ini adalah waktu untuk fokus pada masa depan.
Nampaknya, pencapaian pada kuartal I itu akan sulit. Ke depannya, faktor-faktor pendorong seperti Ramadan-Idul Fitri dan Pemilu sudah tidak relevan lagi.
"Peristiwa-peristiwa tersebut hanya terjadi sekali dalam setahun. Oleh karena itu, dampaknya terhadap ekonomi bersifat sementara. Kami memperkirakan bahwa daya beli masyarakat Indonesia akan mengalami penurunan," jelas Putera Satria Sambijantoro, seorang ekonom di Bahana Sekuritas, dalam risetnya.
Memasuki kuartal II 2024, sinyal perlambatan ekonomi sudah mulai terasa. Di sektor manufaktur, laju ekspansi melambat signifikan.
S&P Global melaporkan aktivitas manufaktur Indonesia yang diukur dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) berada di 52,9 pada April. PMI manufaktur Indonesia melambat dibandingkan Maret yang mencapai 54,2.
“Masih ada pertumbuhan produksi dan pemesanan baru pada April. Namun, laju ekspansinya lebih lambat ketimbang Maret,” sebut laporan S&P Global.
Dunia usaha menyebut permintaan barang meningkat, meski didominasi oleh pasar domestik. Ekspor membukukan penurunan pada April.
Dunia usaha masih hati-hati dalam melakukan rekrutmen. Bahkan dalam beberapa kasus memilih untuk melakukan PHK secara temporer. Akibatnya, penciptaan lapangan kerja berkurang pada April, kali pertama sejak Oktober 2023.
“Ada hal-hal negatif dalam detil survei ini. Ekspor kembali turun, sementara pertumbuhan produksi dan pemesanan melambat signifikan. Perkembangan ini membuat dunia usaha memilih untuk mengurangi karyawan.
“Meski PHK hanya bersifat temporer, tetapi ini menjadi cerminan penurunan optimisme dunia usaha. Optimisme tersebut bahkan sampai menjadi yang terendah dalam hampir 4 tahun terakhir,” papar Paul Smith, Economics Director S&P Global Market Intelligence.
Sinyal perlambatan di sektor manufaktur patut diwaspadai. Sebab, manufaktur atau industri pengolahan adalah kontributor terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi lapangan usaha.
Prospek pertumbuhan ekonomi Ibu Pertiwi jadi lebih suram saat Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan. Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan lalu, Gubernur Perry dan kolega sepakat untuk mengerek BI Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6,25 persen.
"Kenaikan suku bunga ini untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari kemungkinan memburuknya risiko global sebagai langkah preventif dan forward looking untuk memastikan inflasi di kisaran sasaran 2,5 plus minus 1 perssn pada 2024 dan 2025," tegas Perry.
Mengutip riset berjudul Higher-for-Longer Interest Rate Environment is Squeezing More Borrowers karya Tobias Adrian dari Dana Moneter Internasional (IMF), inflasi yang masih tinggi membuat berbagai bank sentral harus mempertahankan suku bunga tetap tinggi. Akibatnya, kemampuan bayar debitur akan tertekan.
“Sinyal yang mengkhawatirkan adalah kemampuan individu dan korporasi untuk membayar pinjaman mereka. Pinjaman jadi semakin mahal, dan ini memang tujuan dari kebijakan moneter ketat yaitu meredam inflasi.
“Risikonya, peminjam yang sebelumnya sudah dalam kondisi tertekan akan kian tertekan. Hasilnya adalah peningkatan risiko gagal bayar (default),” papar riset tersebut.
Efek pandemi Covid-19 sedikit banyak masih dirasakan oleh dunia usaha dan rumah tangga, akibat pembatasan mobilitas. Mereka yang terdampak menggunakan dana tabungan atau cadangan untuk bertahan hidup.
Namun suku bunga tinggi membuat tabungan masyarakat dan dunia usaha tergerus dengan cepat. Akibatnya, laju ekspansi dunia usaha dan rumah tangga pun tertahan.
“Banyak rumah tangga yang sudah menggunakan dana tabungan mereka. Kelebihan tabungan (excess savings) di negara-negara maju yang sempat menyentuh puncaknya di 4-8 persen dari PDB turun dengan stabil. Ada pula sinyal gagal bayar di kartu kredit dan kredit kendaraan bermotor,” ungkap riset tersebut.
Kredit Kepemilikan Rumah (KPR), yang biasanya menjadi pinjaman terbesar di sektor rumah tangga, mengalami kenaikan suku bunga sehingga menggerus tabungan masyarakat.
Perkembangan ini membuat perbankan juga kian hati-hati dalam menyalurkan kredit. Survei di beberapa negara menunjukkan pertumbuhan kredit melambat, dengan risiko debitur menjadi alasan utama.
Hambatan bagi dunia usaha dan rumah tangga untuk berekspansi akibat suku bunga tinggi akan membebani prospek pertumbuhan ekonomi. Jadi ke depan, akan sangat sulit bagi Indonesia untuk mengulangi pencapaian pertumbuhan ekonomi kuartal I-2024.