KABARBURSA.COM - Peneliti dari Satya Bumi, Sayyidatihayaa Afra mengatakan kebijakan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kewajiban campuran biodiesel dan minyak sawit hingga 50 persen (B50) perlu dipertimbangkan kembali. Dia menyatakan bahwa kebijakan yang ambisius ini berpotensi menimbulkan dampak yang signifikan.
"Pertama, kebijakan tersebut berpotensi mempercepat ekspansi lahan. Deforestasi dan peningkatan emisi menjadi konsekuensi dari berkurangnya luas hutan secara signifikan," ungkapnya dalam pernyataan resmi, Minggu, 24 Maret 2024.
Menurut data Satya Bumi, secara statistik, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2001, luasnya hanya 7,25 juta hektar, sementara pada tahun 2022, luasnya meningkat menjadi 17,77 juta hektar dengan peningkatan sebesar 145 persen atau 2,45 kali lipat.
"Dalam periode yang sama, produktivitas minyak sawit juga naik sebesar 30 persen atau 1,3 kali lipat. Namun, selama tahun 2001-2022, sekitar 2,95 juta hektar hutan alam telah beralih menjadi perkebunan kelapa sawit," tambahnya.
Sayyidatihayaa juga menyatakan bahwa biodiesel menggunakan minyak kelapa sawit sebagai bahan bakunya. Hal ini berarti produksi biodiesel juga akan meningkatkan permintaan minyak sawit nasional untuk kebutuhan pangan domestik dan industri yang semakin meningkat.
"Ikhtisar tersebut menunjukkan bahwa permintaan minyak sawit nasional tidak hanya digunakan untuk energi, tetapi juga untuk kebutuhan pangan, oleokimia, dan ekspor sebagai sumber devisa, yang semuanya meningkat," jelasnya.
Selain itu, kebijakan biodiesel ini didukung oleh penggunaan dana pungutan crude palm oil (CPO) untuk biodiesel, yang mencapai Rp144,7 triliun dalam periode 2015 hingga 2022.
Namun demikian, Sayyidatihayaa menyoroti bahwa regulasi pemerintah tidak sepenuhnya pro lingkungan. Alasannya adalah pemerintah belum pernah melarang deforestasi secara tegas, hanya melakukan pembatasan penerbitan izin baru.
Berbagai regulasi seperti Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015, Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019, Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2020, dan PP Nomor 23 Tahun 2021 menunjukkan bahwa tujuan perlindungan hutan oleh pemerintah bukanlah untuk mencapai target nol deforestasi.
Hal ini diperparah dengan adanya label Proyek Strategi Nasional (PSN) yang memungkinkan penghilangan hutan alam untuk mendukung mega proyek tersebut.
"Meskipun biodiesel tidak secara eksplisit masuk ke dalam PSN, manfaat yang diklaim akan menjadi lebih PSN. Jika biodiesel diarahkan untuk menjadi bagian dari PSN, maka aturan lingkungan hidup akan terabaikan, termasuk pembukaan hutan alam untuk perluasan kebun kelapa sawit baru. Bahkan lebih buruk, kita memiliki kuota deforestasi sekitar 6,8 juta hektar selama periode 2020-2050," tutup Sayyidatihayaa. (ari/car).