Logo
>

Mengenal Emiten Terapkan Modal Ventura di BEI

Anak usaha modal ventura untuk menyuntikkan dana ke perusahaan rintisan.

Ditulis oleh Desty Luthfiani
Mengenal Emiten Terapkan Modal Ventura di BEI
Hall Bursa Efek Indonesia di Bilangan SCBD, Jakarta Selatan. Foto: KabarBursa/Abbas

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Di balik gemerlap dunia start up, terdapat risiko besar yang mengintai investor publik, terutama ketika emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) membentuk anak usaha modal ventura untuk menyuntikkan dana ke perusahaan rintisan. Model investasi ini memungkinkan investor ritel terpapar pada aset startup secara tidak langsung, namun membawa kompleksitas tersendiri.

    Anak usaha modal ventura merupakan perusahaan yang dimiliki atau dikendalikan oleh emiten, yakni perusahaan induk yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, yang secara khusus bergerak di bidang penyertaan modal kepada perusahaan rintisan (startup) maupun usaha kecil dan menengah dengan potensi pertumbuhan tinggi. 

    Namun, investasi ini juga disertai dengan risiko yang tidak kecil. Anak usaha modal ventura berperan sebagai investor non-bank, yang artinya tidak memberikan pinjaman konvensional, melainkan melakukan penyertaan ekuitas atau pembiayaan dalam bentuk quasi-equity. 

    Fokus investasi mereka umumnya ditujukan pada bisnis tahap awal atau perusahaan yang sedang dalam fase ekspansi, terutama yang belum memenuhi syarat untuk memperoleh pinjaman dari bank karena belum memiliki rekam jejak keuangan yang kuat atau status bankable.

    Karakteristik utama dari anak usaha modal ventura adalah pendekatan portofolio, yakni menyebarkan dana ke berbagai perusahaan untuk meminimalkan risiko. Meskipun dikelola secara terpisah dari perusahaan induknya, strategi bisnis anak usaha ini tetap sejalan dengan arah pertumbuhan grup secara keseluruhan, termasuk dalam mendukung sektor teknologi, inisiatif keberlanjutan (ESG), dan transformasi digital. 

    Tujuan dari pendirian anak usaha modal ventura oleh emiten antara lain untuk mendiversifikasi sumber pendapatan perusahaan induk, menangkap peluang bisnis di sektor baru, serta menjalin kedekatan dengan inovasi dan teknologi masa depan yang berasal dari dunia startup. 

    Penyertaan modal ke startup juga berpotensi meningkatkan valuasi jangka panjang perusahaan induk, terutama bila startup tersebut berhasil IPO atau diakuisisi oleh pihak ketiga. Di Indonesia, contoh nyata dari strategi ini dapat ditemukan pada PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) melalui anak usahanya PT Metra Digital Investama (MDI Ventures), serta PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) melalui BRI Ventures yang aktif berinvestasi di berbagai startup teknologi dalam dan luar negeri.

    Menurut Joseph Gompers dan Josh Lerner dalam The Venture Capital Cycle, struktur investasi tidak langsung ini menciptakan lapisan tambahan antara investor dan aset yang menjadi sasaran investasi, menyebabkan penilaian risiko menjadi lebih kompleks. Investor tidak memiliki keterlibatan langsung terhadap proses due diligence, monitoring, maupun keputusan keluar dari investasi.

    Melihat dari jurnal Binus Accounting, salah satu tantangan utama adalah valuasi startup yang sering kali tidak mencerminkan nilai pasar sebenarnya. Aswath Damodaran dalam bukunya Investment Valuation menjelaskan bahwa valuasi startup cenderung spekulatif karena ketidakpastian arus kas masa depan dan tidak adanya rekam jejak laba.

    Hal ini diperparah dengan kurangnya transparansi dalam pelaporan keuangan startup, yang sering kali belum menghasilkan pendapatan signifikan dan mengalami kerugian operasional pada tahap awal. Laporan keuangan untuk startup yang didanai oleh modal ventura biasanya memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan perusahaan yang sudah matang, dengan fokus pada pertumbuhan ketimbang profitabilitas jangka pendek. 

    Beberapa emiten besar di Indonesia telah membentuk anak usaha modal ventura untuk memperkuat strategi transformasi digital dan memperluas sumber pertumbuhan baru. Salah satu yang paling menonjol adalah TLKM  dengan anak usahanya, MDI Ventures. Perusahaan ini aktif menyuntikkan modal ke berbagai startup teknologi seperti PrivyID, Halodoc, dan Kredivo. Melalui pendekatan investasi global, MDI Ventures telah membangun portofolio lebih dari 50 startup lintas sektor, mulai dari big data hingga cloud computing.

    Langkah serupa juga dilakukan oleh BBRI melalui BRI Ventures, yang difokuskan untuk mendukung startup di sektor fintech, agritech, dan edukasi digital. Beberapa nama dalam portofolionya antara lain LinkAja, Crowde, dan TaniHub, sejalan dengan misi BRI untuk memperkuat ekonomi kerakyatan dan inklusi keuangan. Strategi ini juga mencerminkan keinginan BRI untuk terhubung dengan potensi pertumbuhan dari ekonomi digital, terutama di sektor mikro dan pedesaan.

    Sementara itu, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) mengandalkan Mandiri Capital Indonesia (MCI) sebagai kendaraan investasi ke startup-startup seperti Investree, Amartha, dan Qoala. Fokus utama MCI adalah memperkuat sinergi dengan lini bisnis induk di bidang keuangan digital dan teknologi asuransi.

    Tidak hanya dari sektor keuangan dan telekomunikasi, PT Indika Energy Tbk (INDY) juga turut mendirikan anak usaha ventura sebagai bagian dari transisi energi. Melalui penyertaan modal di startup seperti Swap Energy dan Tree Technologies, Indika menunjukkan komitmennya untuk beralih dari bisnis batu bara ke energi terbarukan dan kendaraan listrik.

    Di sektor media dan digital, PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) memanfaatkan anak usahanya seperti KMK Online dan Dana untuk masuk ke ranah e-wallet, e-commerce, dan media streaming. EMTK bahkan menjadi pemodal awal Bukalapak, yang kemudian mencatatkan sahamnya di bursa pada tahun 2021, serta mengembangkan layanan video on-demand lewat Vidio.

    Kehadiran anak usaha modal ventura dari berbagai emiten ini menandakan bahwa investasi ke startup tidak lagi sekadar langkah spekulatif, melainkan bagian dari strategi korporasi untuk mengamankan masa depan bisnis, membangun ekosistem digital, dan meraih valuasi jangka panjang. 

    Namun, di balik peluang tersebut, tetap tersimpan tantangan seperti ketidakpastian model bisnis startup, valuasi yang sulit diukur, serta likuiditas aset yang rendah—isu yang akan terus menjadi perhatian dalam laporan keuangan emiten yang agresif di sektor ini.


    Bagaimana kinerja masing-masing emiten

     

    1. BBRI


    PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) salah satu emiten yang menerapkan pengembangan anak usaha ventura mencatatkan laba bersih konsolidasi sebesar Rp13,8 triliun pada kuartal I 2025. Angka tersebut mengalami penurunan sebesar 13,6 persen secara tahunan (year on year/yoy), dan 9,7 persen dibandingkan kuartal sebelumnya. Koreksi ini disebabkan oleh peningkatan beban pencadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) serta penurunan pendapatan non-bunga, terutama dari pemulihan kredit (recovery).

    Meskipun laba menurun, BRI tetap membukukan kinerja margin yang solid. Net Interest Margin (NIM) konsolidasi tercatat sebesar 7,7 persen, meningkat dari 7,5 persen pada kuartal sebelumnya. Kenaikan margin tersebut ditopang oleh penurunan biaya dana (cost of fund) dan dominasi kredit mikro dalam portofolio. Hingga akhir Maret 2025, kredit segmen mikro mencapai Rp632 triliun atau setara 46,02 persen dari total kredit BRI.

    Di sisi pendanaan, Dana Pihak Ketiga (DPK) hanya tumbuh tipis sebesar 0,4 persen YoY, namun porsi dana murah (Current Account Savings Account/CASA) meningkat signifikan 7,1 persen YoY. Hal ini menunjukkan strategi BRI dalam menjaga struktur pendanaan tetap efisien di tengah tantangan likuiditas perbankan nasional.

    Dari sisi kualitas aset, rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) konsolidasi BRI tercatat sebesar 2,97 persen. Namun, NPL di segmen mikro mengalami kenaikan menjadi 3,36 persen dari 2,69 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya. Cost of Credit (CoC) juga meningkat menjadi 3,5 persen, naik dari 2,8 persen pada akhir 2024. Penurunan rasio pemulihan terhadap kredit yang dihapuskan (write-off) dari 55,9 persen menjadi 43,7 persen turut memberikan tekanan pada laba bersih.

    Meski demikian, manajemen memastikan bahwa rasio kecukupan pencadangan tetap terjaga. NPL coverage BRI berada di atas 200 persen, yang dinilai cukup untuk mengantisipasi risiko kredit ke depan. Capital Adequacy Ratio (CAR) juga masih kuat di level 24,03 persen, memberikan ruang ekspansi tambahan bagi perseroan.

    Digitalisasi menjadi salah satu pilar utama strategi BRI dalam mendorong pertumbuhan berkelanjutan. Sepanjang kuartal I 2025, jumlah pengguna aplikasi BRImo tercatat sebanyak 40,3 juta, tumbuh 20,3 persen secara tahunan. Total volume transaksi melalui BRImo juga meningkat 25,5 persen YoY. Di sisi lain, penggunaan aplikasi BRISPOT oleh tenaga pemasar mikro turut mempercepat proses pemberian kredit dan meningkatkan produktivitas.

    Penguatan ekosistem ultra mikro (UMi) melalui sinergi BRI dengan PT Pegadaian dan Permodalan Nasional Madani (PNM) juga terus diperluas. Total outstanding pinjaman di segmen UMi dan mikro tercatat sebesar Rp631,4 triliun. Jumlah peminjam mencapai lebih dari 35,4 juta debitur, dengan dukungan dari lebih dari 1,1 juta agen BRILink yang tersebar di seluruh Indonesia.

    Secara valuasi, saham BBRI mencatatkan Price to Earnings Ratio (PER) trailing twelve months (TTM) sebesar 10,52 kali dan forward PER sebesar 9,52 kali. Angka ini masih berada di atas median PER IHSG yang sebesar 7,87 kali. Price to Book Value (PBV) BBRI tercatat sebesar 2,03 kali, dengan nilai buku per saham Rp1.976,86. 

    Earnings yield BRI mencapai 9,51 persen, mencerminkan potensi pendapatan yang masih kompetitif dibandingkan instrumen pendapatan tetap. Di sisi lain, rasio EV/EBITDA BBRI berada pada level 7,00, dengan EV/EBIT sebesar 7,78.

    Kinerja harga saham selama satu bulan terakhir menunjukkan pemulihan dengan kenaikan 8,94 persen. Namun secara year-to-date, saham BBRI masih terkoreksi 1,47 persen. Dalam tiga bulan terakhir, harga saham naik 4,15 persen, dan dalam sepekan terakhir menguat 2,81 persen.

    2. EMTK 

    PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK), emiten yang bergerak di sektor teknologi ini dianggap bisa mendatangkan cuan besar di 2025. .

    Analis Stocknow.id Abdul Haq Al Faruqy, berpendapat EMTK memiliki portofolio bisnis yang luas. Hal ini yang membuat EMTK bisa menjadi pilihan menarik di tahun depan.

    "Dengan memiliki portofolio bisnis yang luas, termasuk media, layanan kesehatan digital, dan investasi di berbagai startup teknologi, menjadikan diversifikasi yang kuat bagi EMTK," kata Abdul kepada Kabarbursa.com, di Jakarta, Selasa, 24 Desember 2024.

    Abdul juga menyoroti anak usaha EMTK, yakni Surya Citra Media atau SCMA yang mencatatkan kinerja keuangan cemerlang. Ini juga bisa menjadi pertimbangan para investor untuk menentukan pilihan pada EMTK di tahun depan.

    Di sisi lain, Abdul membeberkan laba bersih EMTK pada 9M2024. Dalam keterangannya, laba bersih EMTK mengalami kenaikan sebesar 379,8 persen Year on Year (YoY) atau menjadi sebeaar Rp702 miliar.

    "Dengan proyeksi yang menarik, target harga saham EMTK di 2025 mencapai Rp800 per lembar," pungkas Abdul.

    Adapun pada perdagangan Selasa, 24 Desember 2024, EMTK ditutup melemah 30 poin atau turun 5,50 persen ke level 515.

    Merujuk data perdagangan Stockbit, Rabu, 25 Desember 2024, EMTK melaporkan sejumlah indikator kinerja keuangan utama untuk kuartal terbaru, menunjukkan posisi solvabilitas yang kuat namun tantangan pada margin operasional.

    Pada aspek solvabilitas, emiten yang melantai di Bursa Efek Indonesia ini mencatatkan current ratio (quarter) sebesar 4,16 dan quick ratio (quarter) sebesar 3,81. Angka ini menunjukkan bahwa perusahaan memiliki likuiditas yang cukup untuk memenuhi kewajiban jangka pendek.

    Dari sisi profitabilitas, Return on Assets (ROA) tercatat sebesar 1,04 persen, dan Return on Equity (ROE) sebesar 1,33 persen , yang menunjukkan kontribusi keuntungan terhadap total aset dan ekuitas.

    Perusahaan juga mencatat Gross Profit Margin sebesar 34,80 persen, menggambarkan efisiensi dalam pengelolaan biaya produksi. Namun, Operating Profit Margin menunjukkan angka negatif sebesar -0,20 persen, yang mengindikasikan tantangan dalam menghasilkan laba operasional.

    Meski demikian, Net Profit Margin berhasil mencapai 8,65 persen, menandakan keberhasilan perusahaan dalam mempertahankan keuntungan bersih setelah beban lain-lain.

    Laporan ini menunjukkan bahwa EMTK tetap berada dalam posisi keuangan yang stabil meskipun menghadapi tekanan pada efisiensi operasional. Strategi perusahaan ke depan akan menjadi kunci untuk meningkatkan profitabilitas operasional sambil menjaga struktur modal yang sehat.

    Sebelumnya diberitakan, Sutiana Ali, Direktur PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK), telah melakukan pembelian saham perusahaan tersebut dalam rangka pelaksanaan Program MESOP Periode II (Grand Cycle II) pada 11 Desember 2024.

    Dalam keterbukaan informasi yang disampaikan pada Jumat, 13 Desember 2024, Titi Maria Rusli, Corporate Secretary EMTK, mengungkapkan bahwa Sutiana Ali membeli saham EMTK melalui pengalihan sebanyak 3.860.000 lembar saham dengan harga Rp436 per saham.

    “Transaksi ini merupakan bagian dari Program MESOP, yang bertujuan untuk meningkatkan kepemilikan saham langsung,” ujar Titi.

    Setelah transaksi tersebut, total kepemilikan saham Sutiana Ali di EMTK meningkat menjadi 11,8 juta lembar saham, yang setara dengan 0,019 persen dari total saham perusahaan. Sebelumnya, Sutiana Ali memiliki 8 juta lembar saham atau setara dengan 0,013 persen.

    3. INDY

    PT Indika Energy Tbk (INDY) mencatat kinerja keuangan yang mencerminkan tantangan pada sisi profitabilitas, meskipun kondisi neraca masih relatif sehat. Emiten yang bergerak di sektor energi ini membukukan pendapatan sebesar 37.949 miliar rupiah dalam periode 12 bulan terakhir (TTM), namun mencatat rugi bersih sebesar 114 miliar rupiah, yang menyebabkan laba per saham (EPS) TTM menjadi negatif sebesar -21,93.

    Meskipun begitu, perusahaan masih mencatat EPS tahunan sebesar 36,41 per saham. Margin laba bersih yang hanya 0,59 persen menandakan bahwa keuntungan yang dihasilkan dari pendapatan masih sangat minim. Return on equity (ROE) berada di level -0,57 persen, sedangkan return on assets (ROA) sebesar -0,24 persen, menunjukkan efisiensi penggunaan modal dan aset yang masih lemah. Namun, return on capital employed (ROCE) tercatat positif sebesar 5,81 persen, mencerminkan pengembalian moderat terhadap modal kerja yang digunakan.

    Dari sisi arus kas, perusahaan menghadapi tekanan dengan free cash flow negatif sebesar 740 miliar rupiah akibat belanja modal yang cukup besar, yaitu 1.514 miliar rupiah. Hal ini tercermin dari rasio price to free cash flow (TTM) yang negatif -10,48.

    Meski demikian, neraca keuangan INDY tetap menunjukkan ketahanan. Perusahaan memiliki kas dan setara kas sebesar 6.884 miliar rupiah, dengan current ratio 2,03 dan quick ratio 1,94. Total ekuitas mencapai 19.951 miliar rupiah, sedangkan total liabilitas tercatat sebesar 25.795 miliar rupiah. Rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity) berada di kisaran 0,82, masih tergolong konservatif. Selain itu, nilai Altman Z-Score sebesar 3,45 menempatkan perusahaan dalam zona aman dari risiko kebangkrutan menurut indikator tersebut.

    Dari sisi pengembalian kepada pemegang saham, INDY tetap membagikan dividen tunai sebesar 16,04 rupiah per saham untuk tahun 2024. Dividen ini setara dengan dividend yield 1,08 persen dan payout ratio 44,05 persen. Namun, nilai ini jauh lebih rendah dibandingkan dividen tahun 2023 sebesar 92,13 rupiah per saham dan 322,46 rupiah pada 2022. Penurunan tersebut mencerminkan penyesuaian akibat melemahnya kinerja laba.

    Secara valuasi, saham INDY tergolong murah. Price to earnings (PE) ratio forward berada pada level 6,99, di bawah rata-rata pasar yang berada di sekitar 8,12. Price to book value (PBV) hanya 0,39 dan price to sales ratio berada pada 0,20, menunjukkan bahwa saham ini diperdagangkan jauh di bawah nilai buku dan pendapatan per sahamnya. Namun, PE ratio TTM tercatat -67,96 akibat kerugian, sehingga kurang representatif untuk dijadikan indikator utama.

    Dengan valuasi yang rendah dan neraca yang cukup solid, saham INDY menarik dari sisi nilai (value), meskipun tekanan pada laba dan arus kas tetap menjadi risiko yang perlu diperhatikan oleh investor.

    4. TLKM

    PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM), membuka tahun 2025 dengan performa keuangan yang mengalami tekanan. Berdasarkan laporan keuangan yang dirilis untuk periode berakhir 31 Maret 2025, terlihat bahwa Telkom harus menghadapi penurunan laba bersih sebesar 3,97 persen secara tahunan. 

    Laba bersih yang berhasil dibukukan salah satu emiten BUMN andalan di sektor telekomunikasi ini hanya mencapai Rp5,81 triliun, lebih rendah dari Rp6,05 triliun pada Kuartal I-2024.

    Tekanan terhadap profitabilitas Telkom ini juga sejalan dengan penurunan pendapatan. Pada tiga bulan pertama tahun ini, pendapatan konsolidasi TLKM turun 2,11 persen menjadi Rp36,64 triliun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp37,43 triliun. 

    Ini menjadi sinyal bahwa persaingan di industri telekomunikasi masih ketat, sementara biaya operasional yang terus meningkat turut menggerus kinerja bottom line perseroan.

    Laba usaha Telkom juga ikut tergerus hingga 4,72 persen menjadi Rp10,49 triliun. Penyebab utamanya adalah beban yang meningkat di berbagai lini, mulai dari beban karyawan hingga beban interkoneksi dan administrasi. 

    Meskipun dari sisi revenue Telkom masih mampu menjaga posisinya di pasar, beban-beban tersebut menunjukkan pentingnya efisiensi operasional sebagai fokus perusahaan dalam jangka menengah.

    Laba sebelum pajak juga mencatat penurunan sebesar 5,42 persen menjadi Rp9,59 triliun. Setelah dikurangi beban pajak penghasilan sebesar Rp1,99 triliun, laba periode berjalan tercatat Rp7,6 triliun—menyusut 2,81 persen secara tahunan. 

    Jumlah ini menunjukkan bahwa kendati tekanan cukup besar, Telkom masih mampu menjaga kestabilan profit di tengah berbagai tantangan.

    Menariknya, dari sisi neraca, TLKM justru mencatat peningkatan ekuitas sebesar 4,81 persen menjadi Rp170,3 triliun dibandingkan akhir tahun 2024. Ini mengindikasikan bahwa secara struktur modal, Telkom masih solid dan tetap tumbuh. 

    Hal positif juga terlihat dari sisi liabilitas yang berhasil ditekan sebesar 5,79 persen menjadi Rp129,24 triliun, walaupun mayoritas masih berasal dari kewajiban jangka pendek.

    Total aset Telkom per akhir Maret 2025 tercatat Rp299,54 triliun—relatif stabil dengan penurunan tipis 0,05 persen dibanding akhir 2024. Sementara itu, posisi kas dan setara kas Telkom justru meningkat menjadi Rp34,41 triliun, tumbuh 1,47 persen dari posisi sebelumnya di Rp33,91 triliun. 

    Hal ini tidak terlepas dari membaiknya arus kas dari aktivitas operasional yang tumbuh 6 persen menjadi Rp16,78 triliun, dibandingkan Rp15,83 triliun pada kuartal pertama tahun lalu.

    Secara keseluruhan, meskipun Telkom harus menghadapi penurunan laba akibat tekanan beban yang tinggi, perusahaan masih mencatatkan fundamental yang cukup sehat dari sisi neraca dan arus kas. Dengan posisi keuangan yang tetap kuat dan likuiditas yang terjaga, Telkom memiliki peluang besar untuk memperbaiki kinerja di kuartal-kuartal mendatang. 

    Bagi investor jangka panjang, saham TLKM masih menjadi salah satu pilihan menarik di sektor telekomunikasi yang memiliki potensi pertumbuhan jangka panjang dan prospek pemulihan profitabilitas jika efisiensi operasional berhasil ditingkatkan.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Desty Luthfiani

    Desty Luthfiani seorang jurnalis muda yang bergabung dengan KabarBursa.com sejak Desember 2024 lalu. Perempuan yang akrab dengan sapaan Desty ini sudah berkecimpung di dunia jurnalistik cukup lama. Dimulai sejak mengenyam pendidikan di salah satu Universitas negeri di Surakarta dengan fokus komunikasi jurnalistik. Perempuan asal Jawa Tengah dulu juga aktif dalam kegiatan organisasi teater kampus, radio kampus dan pers mahasiswa jurusan. Selain itu dia juga sempat mendirikan komunitas peduli budaya dengan konten-konten kebudayaan bernama "Mata Budaya". 

    Karir jurnalisnya dimulai saat Desty menjalani magang pendidikan di Times Indonesia biro Yogyakarta pada 2019-2020. Kemudian dilanjutkan magang pendidikan lagi di media lokal Solopos pada 2020. Dilanjutkan bekerja di beberapa media maenstream yang terverifikasi dewan pers.

    Ia pernah ditempatkan di desk hukum kriminal, ekonomi dan nasional politik. Sekarang fokus penulisan di KabarBursa.com mengulas informasi seputar ekonomi dan pasar modal.

    Motivasi yang diilhami Desty yakni "do anything what i want artinya melakukan segala sesuatu yang disuka. Melakukan segala sesuatu semaksimal mungkin, berpegang teguh pada kebenaran dan menjadi bermanfaat untuk Republik".