Logo
>

Menghitung Untung-Rugi Menaikkan Tarif Ekspor CPO

Langkah itu diklaim untuk mendukung program biodiesel B40 yang bertujuan meningkatkan ketahanan energi nasional

Ditulis oleh Desty Luthfiani
Menghitung Untung-Rugi Menaikkan Tarif Ekspor CPO
Seorang buruh tengah memuat kelapa sawit di sebuah perkebunan di Morowali, Sulawesi Tengah. (Foto: Kabarbursa/Abbas Sandji)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, ekspor minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) Indonesia naik sampai 2,06 juta metrik ton (MT) pada Februari 2025. Kenaikan ini tinggi, sebesar 62,2 persen dibanding bulan sebelumnya (month on month/mom), dan 45,1 persen dibandingkan dengan tahun lalu (year on year/yoy). Fenomena ini merupakan lonjakan terbesar dalam 4 bulan terakhir.

    Penyebabnya, pemerintah menurunkan tarif referensi ekspor CPO mulai Februari 2025 sehingga bea keluar berkurang menjadi USD124 per ton per Februari dari sebelumnya USD178 per ton pada Januari.

    Kondisi ini pun membuat banyak pembeli yang sebelumnya mencari ke Malaysia, akhirnya pindah ke Indonesia sebagai supplier utama CPO dunia. "Pembeli beralih dari Malaysia ke Indonesia karena harga yang lebih rendah, itulah sebabnya ekspor Malaysia turun pada Februari," kata Anilkumar Bagani, kepala riset di perusahaan broker minyak nabati Sunvin Group yang berbasis di Mumbai dikutip dari Reuters, dikutip Kamis, 20 Maret 2025. Bagani menambahkan, pada saat yang sama, ekspor minyak sawit Malaysia pada Februari 2025 turun 16,27 persen dibandingkan bulan sebelumnya (mom), mencapai level terendah dalam empat tahun di angka 1 juta ton.

    Di samping hal tersebut, stok minyak sawit Indonesia diperkirakan tidak akan meningkat tajam meskipun ada pembatasan terhadap ekspor minyak jelantah. Hal ini disebabkan oleh kenaikan ekspor yang bertepatan dengan implementasi program mandatori biodiesel 40 persen (B40). Program ini diperkirakan akan menyerap tambahan 1,2 hingga 1,7 juta MT CPO sehingga mencegah peningkatan tajam stok minyak sawit domestik, meskipun ada pembatasan terhadap ekspor minyak jelantah.

    Merespons hal itu, pemerintah Indonesia berencana menerapkan kebijakan baru menaikkan tarif ekspor CPO dari 7,5 persen menjadi 10 persen. Ini berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap pasar global dan domestik. Langkah itu diklaim untuk mendukung program biodiesel B40 yang bertujuan meningkatkan ketahanan energi nasional. Tentu kebijakan bakal memunculkan berbagai konsekuensi ekonomi bagi eksportir, industri hilir, dan petani sawit di Indonesia.

    Ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai kenaikan tarif ekspor CPO diperkirakan akan mengurangi pasokan CPO Indonesia di pasar global, yang dapat mendorong kenaikan harga minyak sawit internasional. Karena, otomatis harga akan naik lagi.

    "Importir utama seperti India dan China mungkin harus membayar lebih mahal atau mencari alternatif dari Malaysia, Amerika Selatan, atau minyak nabati lain seperti kedelai dan bunga matahari," kata Syafruddin kepada Kabarbursa.com pada Kamis, 20 Maret 2025.

    Menurut dia, jika Malaysia tidak mengikuti langkah Indonesia dalam menaikkan tarif ekspor, negara tersebut berpotensi merebut pangsa pasar yang ditinggalkan Indonesia.

    "Di dalam negeri, kebijakan ini bisa menghasilkan dua skenario. Jika ekspor menurun dan stok CPO meningkat, harga domestik bisa turun, menguntungkan industri hilir seperti biodiesel, oleokimia, dan makanan berbasis sawit," ujar dia. 

    Sebaliknya, jika permintaan domestik, terutama dari sektor biodiesel, meningkat drastis, harga CPO dalam negeri bisa tetap tinggi atau bahkan naik. Situasi ini dapat memengaruhi harga minyak goreng dan berpotensi meningkatkan inflasi pangan.

    Sementara dampak terhadap ekspor CPO Indonesia yakni pada peningkatan tarif ekspor meningkatkan biaya bagi eksportir, yang dapat mengurangi daya saing CPO Indonesia di pasar internasional. 

    Importir besar seperti India dan China kemungkinan akan mencari sumber lain dengan harga lebih kompetitif, seperti dari Malaysia atau minyak nabati alternatif. "Jika harga CPO Indonesia terlalu tinggi, permintaan global akan melemah, dan ekspor berisiko turun secara signifikan," ujar dia.

    Eksportir diperkirakan akan mempercepat pengiriman sebelum tarif baru diberlakukan, tetapi setelah itu, volume ekspor bisa melambat. Jika ekspor turun drastis, surplus dalam negeri bisa menekan harga dan merugikan petani serta produsen sawit. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan kebijakan ini tidak mengorbankan daya saing ekspor dalam jangka panjang.

    Industri biodiesel diperkirakan menjadi salah satu sektor yang paling diuntungkan dari kebijakan ini. Dengan lebih banyak CPO yang tersedia di dalam negeri, harga bahan baku biodiesel bisa lebih stabil, mendukung implementasi program B40. 

    Sektor oleokimia, seperti produk sabun, kosmetik, dan farmasi, juga akan lebih beruntung. Dengan pasokan CPO yang lebih besar, biaya produksi bisa lebih rendah, meningkatkan daya saing produk olahan Indonesia di pasar global. Jika sektor ini berkembang dengan baik, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah dan lebih fokus pada ekspor produk bernilai tambah. Namun tidak untuk petani.

    Sebagai produsen CPO terbesar dunia, menurut dia Indonesia harus berhati-hati dalam menetapkan kebijakan yang dapat memengaruhi daya saingnya.

    Kenaikan tarif ekspor dapat mengurangi daya saing Indonesia dibandingkan Malaysia, yang mungkin tetap menawarkan harga lebih murah kepada importir global. Jika kebijakan ini bertahan dalam jangka panjang tanpa strategi pendukung yang jelas, Indonesia berisiko kehilangan dominasi di pasar global.

    "Kemudian dampak kepada petani sawit skala kecil berpotensi menjadi pihak yang paling dirugikan," ucap dia.

    Jika ekspor menurun dan stok dalam negeri meningkat, harga CPO bisa jatuh, yang akan berdampak langsung pada harga tandan buah segar (TBS) yang diterima petani. Situasi ini bisa mengurangi pendapatan mereka secara signifikan, terutama jika pabrik kelapa sawit menekan harga beli.

    Di sisi lain, perusahaan sawit yang fokus pada ekspor juga menghadapi tantangan besar. Jika ekspor melemah, pendapatan mereka bisa turun, menghambat investasi dan ekspansi industri. Namun, perusahaan yang telah memiliki unit bisnis hilir dapat memperoleh keuntungan dari pasokan bahan baku yang lebih stabil dan murah.

    Ia menilai bahwa kenaikan tarif ekspor ini dapat menjadi strategi yang efektif jika diiringi dengan insentif bagi industri hilir dan perlindungan bagi petani. "Pemerintah harus memastikan kebijakan ini tidak hanya menguntungkan industri hilir, tetapi juga menjaga kesejahteraan petani dan daya saing ekspor CPO Indonesia," ujarnya.

    Kebijakan kenaikan tarif ekspor CPO harus diterapkan dengan strategi jangka panjang yang mempertimbangkan keseimbangan antara pasar ekspor dan domestik. Ia berharap pemerintah perlu memastikan kebijakan ini tidak hanya menguntungkan industri hilir, tetapi juga melindungi petani sawit dan mempertahankan daya saing Indonesia di pasar global

    Jika tidak dikelola dengan baik, kebijakan tersebut bisa mengancam keberlanjutan industri sawit nasional dan posisi Indonesia sebagai eksportir utama CPO dunia.

    Pengusaha Prihatin soal Industri CPO

    Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, mengatakan kondisi industri CPO saat ini sudah mempriatinkan.

    "Saat ini eksportir ada 3 komponen yg sudah menjadi beban ekspor minyak sawit Indonesia DMO, Pungutan Ekspor (PE) dan Bea Keluar (Pajak Ekspor),"ujarnya kepada Kabarbursa.com.

    Pungutan Ekspor (PE), dan Bea Keluar (BK), meningkat menjadi USD2.029 per MT dari sebelumnya USD2.016 per MT. Hal ini berpotensi membuat minyak sawit Indonesia semakin mahal di pasar global dan mengurangi daya saing dibandingkan dengan minyak nabati lainnya.

    Kenaikan beban ekspor ini dapat berdampak negatif terhadap daya saing Indonesia di pasar global. “Minyak sawit di tahun 2024 sudah lebih mahal dibandingkan minyak nabati lain," tutur dia. 

    Eddy menegaskan jika beban ekspor semakin tinggi, Indonesia berisiko kehilangan pasar ekspor karena pesaing dari negara lain dapat menawarkan harga lebih kompetitif. Selain itu, importir global juga bisa beralih ke minyak nabati alternatif.

    Indonesia saat ini merupakan produsen dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia, namun dengan meningkatnya tekanan biaya ekspor, pelaku industri khawatir bahwa permintaan global akan berkurang. Jika ekspor menurun secara signifikan, hal ini juga dapat berdampak pada harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani dan merugikan sektor perkebunan.

    Lebih lanjut, Eddy Martono menyebutkan bahwa jika terjadi penurunan ekspor akibat kenaikan beban ini, GAPKI akan segera berdialog dengan pemerintah untuk mencari solusi. “Jika terlihat ada penurunan yang signifikan, kami akan berdiskusi dengan pemerintah,” ucap dia.

    Pungutan Ekspor CPO Danai Biodiesel?

    Pemerintah Indonesia berencana menaikkan pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dari 7,5 persen menjadi 10 persen untuk mendukung program biodiesel B40 yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025.

    Namun, hingga saat ini, kenaikan tersebut belum diberlakukan. Dilansir dari Reuters Kabul Wijayanto, Direktur Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), menyebut pungutan ekspor CPO akan dinaikkan menjadi antara 4,5 persen hingga 10 persen dari harga referensi CPO, naik dari tarif saat ini yang berkisar antara 3 persen hingga 7,5 persen.

    Peningkatan ini bertujuan untuk mendanai peningkatan penggunaan minyak sawit dalam biodiesel. Kebijakan ini akan diterapkan tiga hari setelah peraturan tersebut dikeluarkan, yang saat ini masih dalam proses di Kementerian Hukum dan HAM.

    KabarBursa sudah berupaya meminta tanggapan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), namun hingga berita ini ditulis lembaga itu belum memberikan keterangannya. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Desty Luthfiani

    Desty Luthfiani seorang jurnalis muda yang bergabung dengan KabarBursa.com sejak Desember 2024 lalu. Perempuan yang akrab dengan sapaan Desty ini sudah berkecimpung di dunia jurnalistik cukup lama. Dimulai sejak mengenyam pendidikan di salah satu Universitas negeri di Surakarta dengan fokus komunikasi jurnalistik. Perempuan asal Jawa Tengah dulu juga aktif dalam kegiatan organisasi teater kampus, radio kampus dan pers mahasiswa jurusan. Selain itu dia juga sempat mendirikan komunitas peduli budaya dengan konten-konten kebudayaan bernama "Mata Budaya". 

    Karir jurnalisnya dimulai saat Desty menjalani magang pendidikan di Times Indonesia biro Yogyakarta pada 2019-2020. Kemudian dilanjutkan magang pendidikan lagi di media lokal Solopos pada 2020. Dilanjutkan bekerja di beberapa media maenstream yang terverifikasi dewan pers.

    Ia pernah ditempatkan di desk hukum kriminal, ekonomi dan nasional politik. Sekarang fokus penulisan di KabarBursa.com mengulas informasi seputar ekonomi dan pasar modal.

    Motivasi yang diilhami Desty yakni "do anything what i want artinya melakukan segala sesuatu yang disuka. Melakukan segala sesuatu semaksimal mungkin, berpegang teguh pada kebenaran dan menjadi bermanfaat untuk Republik".