Logo
>

Menimbang Untung-Rugi Model Komunitas dalam Strategi Emiten

Model komunitas menawarkan potensi cuan jangka panjang, namun penuh jebakan tersembunyi yang bisa menggerus kinerja.

Ditulis oleh Desty Luthfiani
Menimbang Untung-Rugi Model Komunitas dalam Strategi Emiten
Ilustrasi. (Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Saat ini, di dunia bisnis yang semakin kompetitif ini, sejumlah perusahaan di sektor-sektor utama terus mencari cara untuk meningkatkan loyalitas konsumen dan menciptakan nilai jangka panjang. 

    Salah satu strategi yang muncul adalah model bisnis berbasis komunitas, di mana perusahaan membangun hubungan yang lebih kuat dengan pelanggan, menciptakan rasa kepemilikan, dan memperkuat loyalitas melalui interaksi yang lebih intens. 

    Lalu, bagaimana sejumlah emiten yang sukses di pasar saham Indonesia mengembangkan model bisnis berbasis komunitas sebagai strategi utama mereka untuk meningkatkan loyalitas dan memanfaatkannya sebagai sumber daya yang menghasilkan keuntungan?

    Model bisnis berbasis komunitas adalah pendekatan di mana perusahaan membangun hubungan yang erat dengan konsumen melalui interaksi yang berkelanjutan. Hal itu dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti forum online, acara komunitas, atau program loyalitas. 

    Tujuannya, menciptakan rasa memiliki di kalangan konsumen, yang pada gilirannya dapat meningkatkan loyalitas dan frekuensi pembelian.

    Menurut studi yang dipublikasikan dalam Journal of Research in Interactive Marketing, praktik co-creation nilai dalam komunitas merek dapat membangun loyalitas merek konsumen melalui komitmen afektif dan kepemilikan merek psikologis.

    Bisnis model berbasis komunitas mengutamakan hubungan pelanggan sebagai bagian integral dari operasi dan pertumbuhannya. Alih-alih sekadar menjual produk atau layanan, perusahaan yang menggunakan model ini berfokus untuk membangun dan mempertahankan komunitas yang terlibat secara aktif dengan merek mereka. 

    Ini bisa melalui berbagai cara yang tujuannya menciptakan program loyalitas yang menarik, atau mengadakan acara yang memungkinkan pelanggan berinteraksi langsung dengan merek.

    Dengan pendekatan ini, pelanggan tidak hanya merasa menjadi bagian dari suatu komunitas, tetapi juga memiliki kesempatan untuk memberikan masukan, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan bahkan merasakan bahwa mereka memiliki sedikit kendali dalam perkembangan produk atau layanan yang mereka gunakan. 

    Hubungan yang terjalin menciptakan loyalitas jangka panjang yang pada gilirannya meningkatkan nilai perusahaan di mata investor.

    Beberapa perusahaan Indonesia telah mengambil langkah untuk memanfaatkan model bisnis berbasis komunitas, baik untuk meningkatkan pengalaman pelanggan mereka maupun untuk meningkatkan profitabilitas. 

    Perusahaan-perusahaan tersebut cenderung menggali potensi pasar yang lebih dalam melalui interaksi yang lebih personal dan memperhatikan kebutuhan serta keinginan pelanggan mereka. 

    Beberapa emiten yang berhasil mengimplementasikan model ini adalah perusahaan-perusahaan besar, seperti PT Sampoerna Retail Community Tbk (SRC), PT Go-Jek Indonesia, dan PT Bukalapak Tbk.

    PT Sampoerna Retail Community Tbk (SRC)  

    SRC atau lebih tepatnya komunitas toko kelontong adalah contoh perusahaan yang sukses memanfaatkan komunitas untuk meningkatkan loyalitas pelanggan dan memperluas pangsa pasar. Melalui program Sampoerna Retail Community (SRC), perusahaan ini menjalin kemitraan dengan pemilik toko kelontong untuk membangun ekosistem yang saling menguntungkan. 

    SRC tidak hanya menyediakan produk-produk rokok Sampoerna, tetapi juga menawarkan pelatihan kepada para pemilik toko, memberikan akses ke informasi bisnis, dan memberikan insentif berupa diskon atau hadiah untuk loyalitas mereka. 

    Program ini telah membuktikan dirinya dalam menciptakan loyalitas yang tinggi dari mitra pengecer, yang pada gilirannya meningkatkan penjualan dan profitabilitas.

    PT GoJek Indonesia

    GoJek Indonesia, perusahaan ride-hailing terbesar di Indonesia, menggunakan strategi berbasis komunitas dengan memanfaatkan platform teknologi untuk menciptakan jaringan besar pengemudi dan pelanggan yang terhubung. 

    Melalui program-program loyalitas seperti GoPoints dan fitur lainnya, GoJek berhasil membangun komunitas pengguna yang sangat terlibat. Dengan membangun hubungan yang saling menguntungkan antara pengemudi dan pelanggan, GoJek dapat meningkatkan volume transaksi dan mengurangi churn rate pelanggan. 

    Pendekatan berbasis komunitas ini juga memberikan keuntungan dalam menciptakan data yang lebih akurat tentang preferensi pengguna, yang selanjutnya digunakan untuk personalisasi layanan dan menawarkan promosi yang lebih relevan.

    PT Bukalapak Tbk 

    Bukalapak, sebagai salah satu e-commerce terbesar di Indonesia, juga telah mengadopsi model bisnis berbasis komunitas. Platform ini menawarkan berbagai fitur yang memungkinkan pengguna untuk terhubung dengan komunitas lain, baik itu melalui program reseller atau fitur lain yang memungkinkan pengguna untuk menjadi bagian dari ekosistem Bukalapak. 

    Program loyalitas yang mereka tawarkan kepada pengguna untuk mendapatkan keuntungan berupa potongan harga atau cashback membuat pelanggan merasa lebih dihargai, yang pada gilirannya mendorong mereka untuk terus bertransaksi. 

    Bukalapak juga memberikan kesempatan kepada pengusaha mikro untuk berkembang melalui platform mereka, menciptakan loyalitas yang tinggi di kalangan penjual.

    Mekanisme pembangunan loyalitas dalam bisnis berbasis komunitas

    Loyalitas pelanggan adalah kunci dalam model bisnis berbasis komunitas. Tanpa loyalitas yang kuat, komunitas yang dibangun perusahaan akan kehilangan daya tariknya dan tidak akan memberi dampak positif terhadap keuntungan perusahaan. Berikut adalah beberapa mekanisme yang umumnya digunakan oleh perusahaan untuk membangun loyalitas pelanggan.

    Sebagian besar perusahaan yang menggunakan model berbasis komunitas menawarkan program loyalitas yang memberikan pelanggan keuntungan khusus jika mereka tetap menggunakan produk atau layanan mereka dalam jangka panjang. Program ini bisa berupa diskon, poin yang dapat ditukarkan, atau akses eksklusif ke produk baru atau acara tertentu. Ini mendorong konsumen untuk terus kembali dan memperkuat keterikatan mereka dengan merek.

    Selain menawarkan insentif, perusahaan juga perlu memberikan pengalaman yang memuaskan bagi pelanggan. Pengalaman yang menyenangkan baik itu melalui interaksi online atau offline membantu memperkuat hubungan dan meningkatkan loyalitas. 

    Perusahaan yang berfokus pada komunitas sering berusaha untuk memberikan pengalaman yang lebih personal dan relevan dengan konsumen mereka, membuat mereka merasa dihargai dan diperhatikan.

    Komunitas yang aktif adalah jantung dari model bisnis berbasis komunitas. Oleh karena itu, perusahaan perlu menciptakan platform atau tempat di mana pelanggan dapat berbagi pengalaman, memberikan feedback, dan merasa seperti bagian dari sesuatu yang lebih besar. Ini bisa berupa forum diskusi, acara komunitas, atau grup media sosial yang memungkinkan pelanggan berinteraksi dengan merek secara langsung.

    Mengakui pelanggan yang paling setia atau paling aktif dalam komunitas adalah cara lain untuk meningkatkan loyalitas. Ini bisa dilakukan melalui penghargaan khusus, fitur anggota premium, atau bahkan pengakuan dalam bentuk publikasi. Ketika pelanggan merasa dihargai dan diakui, mereka akan lebih cenderung untuk terus berpartisipasi dalam komunitas dan bertransaksi dengan perusahaan.

    Salah satu keuntungan utama dari model bisnis berbasis komunitas adalah kemampuannya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan melalui loyalitas yang tinggi. Pelanggan yang merasa menjadi bagian dari komunitas cenderung lebih sering melakukan pembelian ulang dan lebih jarang berpindah ke pesaing. Dengan meningkatkan frekuensi transaksi dan mengurangi tingkat kehilangan pelanggan, perusahaan dapat menciptakan pendapatan yang lebih stabil dan berkelanjutan.

    Lebih jauh lagi, dengan menggunakan data yang dikumpulkan dari komunitas, perusahaan dapat menawarkan produk atau layanan yang lebih disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan. Ini tidak hanya meningkatkan kepuasan pelanggan, tetapi juga mendorong mereka untuk mengeluarkan lebih banyak uang untuk produk atau layanan yang mereka rasa lebih relevan dengan kebutuhan mereka.

    Tantangan model bisnis komunitas

    Meskipun bisnis model berbasis komunitas menawarkan banyak keuntungan, ada juga tantangan yang harus dihadapi perusahaan dalam mengimplementasikannya. Salah satu tantangan terbesar adalah menciptakan dan mempertahankan komunitas yang aktif dan terlibat. Tanpa keterlibatan yang tinggi, komunitas akan kehilangan relevansi dan tidak dapat memberikan nilai tambah yang diharapkan.

    Selain itu, perusahaan juga perlu memastikan bahwa mereka dapat mengelola data yang diperoleh dari komunitas dengan hati-hati. Data pelanggan yang sensitif harus dijaga kerahasiaannya dan digunakan dengan bijak untuk meningkatkan pengalaman pelanggan, bukan untuk mengeksploitasi informasi mereka.

    Di tengah ketatnya persaingan pasar modal, sejumlah emiten mulai beralih dari model bisnis konvensional menuju pendekatan berbasis komunitas. Strategi ini tidak hanya membangun loyalitas konsumen, tetapi juga membuktikan bahwa basis komunitas yang solid dapat menjadi mesin pertumbuhan laba jangka panjang.

    Dalam beberapa tahun terakhir, transformasi digital mempercepat perubahan perilaku konsumen. Bukan lagi sekadar mencari produk terbaik, konsumen kini mencari koneksi, nilai, dan keterlibatan emosional dengan merek yang mereka pilih. Inilah ruang baru yang dimanfaatkan para emiten visioner: membangun komunitas, membentuk loyalitas, lalu mengubahnya menjadi cuan.

    Bisnis komunitas berangkat dari konsep sederhana yakni membangun hubungan yang berkelanjutan antara perusahaan dan pelanggan. Namun di balik kesederhanaan itu, tersembunyi kekuatan luar biasa.

    Dalam jurnal Harvard Business Review (2022), disebutkan bahwa pelanggan yang merasa terhubung dengan komunitas brand memiliki kemungkinan membeli ulang 2,5 kali lebih tinggi dibanding pelanggan biasa. Mereka juga cenderung menjadi promotor aktif, menyebarluaskan reputasi brand tanpa perlu biaya iklan tambahan.

    Tidak heran, model ini mulai menarik minat sejumlah emiten besar di Indonesia. Dengan membangun komunitas, mereka tidak hanya memperkuat basis pendapatan, tetapi juga mengamankan pertumbuhan jangka panjang dalam lanskap bisnis yang semakin kompetitif.

    Sementara, menurut buku The Business of Belonging karya David Spinks (2021), komunitas mampu mempercepat pertumbuhan perusahaan lewat tiga pilar utama yakni dukungan pelanggan, engagement atau keterlibatan brand dan growth atau pertumbuhan bisnis .

    Support mengurangi biaya customer service, engagement meningkatkan loyalitas dan lifetime value pelanggan, sedangkan growth mendorong perluasan pasar lewat promosi organik dari anggota komunitas itu sendiri.

    Meski bisnis berbasis komunitas menjanjikan potensi cuan jangka panjang, pendekatan ini juga memiliki sederet tantangan besar yang tidak boleh diabaikan. Banyak emiten yang terlalu fokus membangun komunitas, namun justru tersandung dalam perjalanan monetisasi dan skalabilitasnya.

    Komunitas yang Rapuh Terjebak Antara Loyalitas dan Kekecewaan

    Salah satu kekurangan terbesar model komunitas adalah kerentanannya terhadap perubahan emosi anggota. Dalam dunia bisnis konvensional, kekecewaan pelanggan mungkin berdampak pada churn individu. Namun dalam komunitas, kekecewaan satu orang bisa menular ke ratusan bahkan ribuan anggota lain dalam hitungan jam.

    Seperti ditulis dalam Journal of Business Research (2023), efek contagion disappointment dalam komunitas digital dapat memperparah krisis brand. Komunitas yang merasa dikhianati oleh perubahan kebijakan, harga, atau layanan akan cenderung bersikap lebih keras dibanding pelanggan individu biasa.

    Kasus nyata pernah terjadi pada perusahaan ride-hailing di Asia Tenggara, di mana perubahan skema insentif driver memicu gelombang protes komunitas, berujung pada penurunan pengguna aktif harian hingga 20 persen dalam tiga bulan.

    Biaya Pengelolaan yang Tidak Murah

    Banyak orang berpikir membangun komunitas itu murah. Faktanya, biaya pengelolaan komunitas bisa sangat mahal.

    Emiten perlu berinvestasi pada tim community manager, moderasi konten 24 jam, event rutin offline dan online, teknologi untuk mendukung forum atau platform komunitas, serta insentif loyalitas seperti reward points, merchandise, dan voucher.

    Dalam beberapa kasus, biaya menjaga komunitas bahkan lebih besar daripada biaya pemasaran tradisional. Terutama saat komunitas sudah membesar, biaya menjaga engagement agar tidak merosot menjadi beban berat yang menggerus margin laba.

    Komunitas adalah aset intangible, dan masalah besar lainnya adalah kesulitan dalam mengukur ROI (Return on Investment) komunitas secara presisi.

    Metrik seperti jumlah anggota, tingkat interaksi, atau referral belum tentu selalu sebanding dengan pertumbuhan pendapatan. Ada komunitas besar yang aktif berdiskusi, tetapi tidak konversi menjadi pembelian. Ada pula komunitas yang ramai namun berisi keluhan, kritik, atau bahkan noise yang sulit dikendalikan.

    Tanpa metrik bisnis yang solid, komunitas justru bisa membuat manajemen overestimate potensi pertumbuhan yang sebenarnya tidak ada.

    Ketika perusahaan terlalu mengandalkan komunitas sebagai sumber utama pertumbuhan, risiko konsentrasi muncul. Jika komunitas itu suatu saat bermigrasi ke platform lain, kecewa, atau termakan kompetitor, perusahaan bisa kehilangan basis pelanggan utama dalam waktu singkat.

    Kasus serupa terjadi pada beberapa brand di sektor gaming, di mana komunitas fans berpindah ke game pesaing akibat update yang kontroversial. Pendapatan publisher anjlok hingga 30 persen dalam setahun.

    Potensi Toxicity dalam Komunitas

    Tidak semua komunitas berkembang ke arah positif. Dalam jurnal MIT Sloan Management Review , dijelaskan bahwa komunitas online yang kurang moderasi bisa berubah menjadi ruang toxic yakni berisi hate speech, provokasi, atau gerakan melawan brand itu sendiri.

    Begitu komunitas menjadi toksik, merek justru akan tercoreng di mata publik. Mengendalikan komunitas seperti ini memerlukan sumber daya ekstra dan pendekatan komunikasi krisis yang matang.

    Model komunitas bekerja sangat baik saat berbasis nilai budaya lokal. Namun saat perusahaan ingin ekspansi lintas wilayah atau negara, komunitas berbasis budaya lokal bisa menjadi penghambat.

    Nilai-nilai komunitas di Jakarta, misalnya, belum tentu relevan di Surabaya atau Makassar. Apalagi jika ekspansi ke luar negeri, seperti Thailand atau Vietnam, yang memiliki konteks budaya berbeda. Ini membuat strategi berbasis komunitas sulit untuk distandardisasi seperti halnya strategi marketing biasa.

    Banyak komunitas terbentuk di platform seperti Instagram, TikTok, Facebook, atau WhatsApp. Artinya, perusahaan tidak sepenuhnya memiliki komunitas tersebut. Kapan saja algoritma platform berubah, fitur diubah, atau akses dikurangi, perusahaan bisa kehilangan kendali terhadap engagement.

    Contoh nyata adalah saat Facebook mengubah algoritma News Feed pada 2018, banyak komunitas bisnis kecil kehilangan jangkauan organik hingga 80 persen.

    Komunitas bersifat dinamis. Kompetitor bisa mencuri komunitas dengan memberi insentif lebih besar, menawarkan benefit baru, atau mengadopsi nilai-nilai komunitas yang lebih relevan. Tanpa inovasi berkelanjutan, komunitas yang dibangun bertahun-tahun bisa bergeser ke tangan pesaing hanya dalam hitungan bulan.

    Terakhir, ada dilema besar. Jika perusahaan terlalu berfokus pada kebutuhan komunitas tanpa mempertimbangkan sustainability bisnis, margin bisa tergerus. Namun jika terlalu mementingkan laba dengan mengabaikan nilai-nilai komunitas, trust dan loyalitas akan hancur.

    Mencari keseimbangan yang sehat antara dua kutub ini adalah tantangan berat yang hanya bisa dijawab lewat pengalaman dan eksperimen berkelanjutan.

    Model bisnis berbasis komunitas memang menawarkan jalan baru menuju loyalitas pelanggan dan pertumbuhan jangka panjang. Namun jalan itu penuh tantangan tersembunyi, dari biaya tinggi, risiko reputasi, hingga kesulitan ekspansi lintas wilayah.

    Bagi para emiten, membangun komunitas bukan sekadar tren, tapi komitmen jangka panjang yang membutuhkan sumber daya, ketekunan, dan kemampuan adaptasi cepat. Faktanya membangun komunitas itu mudah, tapi mempertahankannya yang sulit.

    Karena itu, investor yang cermat perlu menilai tidak hanya seberapa besar komunitas yang dimiliki emiten, tetapi juga seberapa sehat dan sustain komunitas tersebut dalam jangka panjang.(*)


    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Desty Luthfiani

    Desty Luthfiani seorang jurnalis muda yang bergabung dengan KabarBursa.com sejak Desember 2024 lalu. Perempuan yang akrab dengan sapaan Desty ini sudah berkecimpung di dunia jurnalistik cukup lama. Dimulai sejak mengenyam pendidikan di salah satu Universitas negeri di Surakarta dengan fokus komunikasi jurnalistik. Perempuan asal Jawa Tengah dulu juga aktif dalam kegiatan organisasi teater kampus, radio kampus dan pers mahasiswa jurusan. Selain itu dia juga sempat mendirikan komunitas peduli budaya dengan konten-konten kebudayaan bernama "Mata Budaya". 

    Karir jurnalisnya dimulai saat Desty menjalani magang pendidikan di Times Indonesia biro Yogyakarta pada 2019-2020. Kemudian dilanjutkan magang pendidikan lagi di media lokal Solopos pada 2020. Dilanjutkan bekerja di beberapa media maenstream yang terverifikasi dewan pers.

    Ia pernah ditempatkan di desk hukum kriminal, ekonomi dan nasional politik. Sekarang fokus penulisan di KabarBursa.com mengulas informasi seputar ekonomi dan pasar modal.

    Motivasi yang diilhami Desty yakni "do anything what i want artinya melakukan segala sesuatu yang disuka. Melakukan segala sesuatu semaksimal mungkin, berpegang teguh pada kebenaran dan menjadi bermanfaat untuk Republik".