Ferry menekankan bahwa target inflasi pemerintah untuk tahun ini adalah 2,5 persen dengan toleransi plus minus 1 persen, dengan target untuk volatile food maksimal 5 persen.
Penurunan harga pangan yang signifikan, dari sekitar 10 persen pada Maret menjadi sekitar 3 persen saat ini, dianggap sebagai perkembangan yang positif, namun perlu terus dijaga untuk memastikan stabilitas ekonomi.
Deflasi pada bulan Juli 2024 tercatat sebesar minus 0,18 persen (mtm), lebih dalam dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat minus 0,08 persen (mtm).
Secara tahunan, inflasi tercatat sebesar 2,13 persen (yoy). Meskipun demikian, Ferry menegaskan bahwa tingkat inflasi Indonesia secara keseluruhan masih dalam rentang sasaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dan perlu dijaga agar tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah, untuk melindungi kepentingan konsumen maupun produsen.
Namun, Ekonom Senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J Rachbini, memberikan pandangan yang lebih kritis terhadap deflasi ini.
Ia menilai bahwa deflasi yang terjadi bukan hanya karena penurunan harga barang dan jasa, tetapi juga sebagai tanda bahwa daya beli masyarakat sedang melemah. Didik mengkhawatirkan bahwa deflasi ini bisa mencerminkan penurunan pengeluaran konsumsi masyarakat, yang dapat berdampak negatif pada perekonomian jika tidak diimbangi dengan kebijakan makroekonomi yang tepat.
Menurut Didik, penurunan pengeluaran konsumsi ini dapat terjadi karena masyarakat menunda pembelian barang-barang, mengantisipasi harga yang lebih rendah di masa depan, yang disebabkan oleh keterbatasan pendapatan dan meningkatnya angka pengangguran. Jika tidak ditangani dengan baik, deflasi ini dapat menimbulkan dampak negatif yang lebih luas terhadap perekonomian Indonesia.
Indeks Harga Konsumen
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi bulan Juli 2024 sebesar 0,18 persen. Sejalan dengan itu, Indeks Harga Konsumen (IHK) pada bulan Juli 2024 juga turun di level 106,09 dibandingkan Juni 2024 sebesar 106,28.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom makroekonomi dan pasar keuangan LPEM FEB Universitas Indonesia (UI) Teuku Riefky mengungkap faktor tersebut didorong karena faktor musiman seperti pemilu, dan libur panjang.
“Kemarin di awal tahun itu hingga ujung semester satu kita memang banyak sekali event seperti pemilu, banyak libur panjang, Ramadan, Lebaran, dan seterusnya ini membuat inflasi tinggi,” ujar Teuku kepada Kabar Bursa di Jakarta, Rabu 7 Agustus 2024.
“Waktu itu pun kita juga dilanda oleh El Nino, jadi ada pelantaan stok pangan. Nah sekarang stok pangan sudah relatif cukup, terus juga belum ada pendorong musiman, sehingga memang deflasi terjadi,” sambungnya.
Namun, saat ini situasi telah berubah. Stok pangan sudah relatif mencukupi, dan tidak ada lagi pendorong musiman yang memengaruhi harga. Akibatnya, deflasi mulai terjadi. Kondisi ini menunjukkan bahwa harga barang dan jasa telah menurun dibandingkan dengan periode sebelumnya.
“Nah sekarang stok pangan sudah relatif cukup, terus juga belum ada pendorong musiman, sehingga memang deflasi terjadi,” ujar Teuku.
Pengaruh Terhadap UMKM dan Kredit
Reifky juga tak menampik, turunnya IHK berdampak pada penurunan daya beli terhadap sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta kredit UMKM.
Sementara inflasi adalah fenomena yang terjadi dalam jangka pendek, Non-Performing Loan (NPL) pada kredit UMKM lebih dipengaruhi oleh performa bisnis dalam jangka waktu yang lebih panjang. Perubahan NPL tidak selalu berhubungan langsung dengan fluktuasi inflasi bulanan.
“Nah kalau NPL di kredit UMKM ini kalaupun naik atau turun lebih disebabkan faktor yang agak panjang, performa bisnis beberapa bulan belakangan, dan seterusnya,” jelasnya.
UMKM Tumbuh 96 Persen
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) diklaim mampu berkontribusi dengan menyerap 96 persen tenaga kerja di Indonesia.
Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan menegaskan, UMKM harus memanfaatkan kemitraan demi pengembangan bisnis mereka.
Menurut Zulkifli Hasan, sinergi antarpihak sangat dibutuhkan untuk memperkuat empat pilar peningkatan daya saing UMKM.
Adapun empat pilar yang dimaksud adalah inovasi UMKM, akses kemitraan, akses digitalisasi, dan akses pembiayaan.
“UMKM berkontribusi terhadap lebih dari 96 persen penyerapan tenaga kerja, dan lebih dari 60 persen pemasukan negara. Oleh karena itu, UMKM harus diperhatikan agar semakin berkembang,” ujar Zulkifli Hasan dalam keterangannya.
Menteri yang akrab disapa dengan panggilan Zulhas ini pun menguraikan urgensi kerja sama antarsektor. Ia mencontohkan dengan hubungan kerja sama retail modern dengan lembaga keuangan sebagai pemberi modal.
Selain itu, optimalisasi sektor lain, seperti pariwisata, turut berimbas pada daya beli terhadap produk UMKM.
“Jika UMKM hendak maju, harus mulai melakukan pemasaran digital dan tak berhenti berinovasi. Misalnya, dalam hal variasi produk dan desain kemasan,” ujar Zulkifli.(*)