KABARBURSA.COM - Masyarakat usia produktif seperti generasi milenial dan Z semakin terbiasa menerapkan gaya hidup konsumtif dengan menggunakan pinjaman atau yang populer disebut paylater. Istilah yang umum digunakan di Indonesia itu merupakan sebuah layanan 'Buy Now Pay Later', yang semakin populer seiring dengan meningkatnya keterampilan masyarakat muda dalam menggunakan pinjaman online.
Semakin banyak masyarakat yang cenderung berutang untuk kebutuhan konsumtif, bahkan untuk pembelian-pembelian kecil. Hal ini, di satu sisi, dapat menguntungkan perekonomian dengan mendorong aktivitas belanja, pertumbuhan penjualan, ekspansi industri, kelanjutan rekrutmen karyawan, dan berputarnya roda ekonomi. Namun, di sisi lain, peningkatan jumlah tawaran pembelian dengan utang melalui paylater atau pinjaman online, terutama saat literasi keuangan masih rendah, dapat menjadi ancaman serius bagi kesehatan keuangan pribadi yang pada akhirnya dapat berdampak negatif pada ekonomi secara keseluruhan.
Menurut data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), nilai pinjaman online yang mengalami masalah mencapai Rp6,18 triliun pada akhir Maret lalu. Jumlah ini terdiri dari pinjaman online yang macet (mengalami tunggakan lebih dari 90 hari) sebesar Rp1,84 triliun dan pinjaman online yang tidak lancar (mengalami tunggakan antara 30-90 hari) sebesar Rp4,35 triliun. Sementara itu, nilai pinjaman paylater yang mengalami masalah yang disalurkan oleh perusahaan pembiayaan mencapai Rp193 miliar atau setara dengan 3,15 persen dari total pinjaman paylater yang beredar, sebesar Rp6,13 triliun.
Tren peningkatan pinjaman paylater dan pinjaman online yang bermasalah menjadi perhatian, terutama karena mayoritas debitur yang mengalami masalah pada platform pinjaman tersebut adalah usia muda. Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Pefindo Biro Kredit, dari total 13,4 juta pengguna paylater hingga akhir 2023, mayoritas debitur (peminjam) milenial yang berusia antara 28-42 tahun, yaitu sekitar 6,99 juta orang. Sedangkan debitur Gen Z, yang usianya di bawah 27 tahun, mencapai 4,59 juta orang.
Debitur usia produktif juga mendominasi jumlah pinjaman paylater yang macet. Dari total nilai pinjaman yang macet sebesar Rp2,12 triliun pada Desember lalu, sekitar Rp1,27 triliun berasal dari pinjaman paylater yang dimiliki oleh debitur milenial. Sementara itu, debitur Gen Z mencatatkan pinjaman paylater macet sebesar Rp460 miliar.
Masalah pinjaman yang bermasalah ini dapat berdampak pada skor kredit seseorang. Ketika skor kredit seseorang buruk, akan sulit bagi mereka untuk mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan seperti perbankan atau multifinance. Jumlah besar debitur muda yang mengalami masalah dapat menghambat aksesibilitas mereka dalam mendapatkan kredit atau pinjaman yang mungkin sangat mereka butuhkan, seperti kredit pemilikan rumah (KPR), kredit kendaraan bermotor (KKB), kredit usaha, dan jenis kredit lainnya yang dapat meningkatkan aset.
Situasi tersebut menjadi ironis ketika seseorang gagal memiliki rumah atau aset lain yang mereka butuhkan hanya karena mereka memiliki tunggakan 'utang receh' melalui paylater yang mereka gunakan untuk membeli barang-barang sehari-hari.
Sebelum memutuskan untuk berutang, penting untuk mengukur kemampuan untuk mengembalikan pinjaman. Hal ini berlaku untuk semua jenis pinjaman, termasuk ketika menggunakan layanan paylater, mengajukan pinjaman online, atau menggunakan kartu kredit hingga mengajukan KPR. Salah satu rumus umum yang digunakan adalah menggunakan debt service ratio (DSR). DSR mengacu pada pembayaran total utang yang tidak boleh melebihi 30 persen dari pendapatan rutin. Jadi, jika seseorang memiliki pendapatan rutin sebesar Rp15 juta per bulan, maka total cicilan per bulan dari semua jenis utang atau pinjaman yang dapat diambil maksimal sebesar Rp4,5 juta.
Sebelumnya, seseorang perlu mempertimbangkan apakah penggunaan paylater atau pinjol tersebut memang merupakan kebutuhan mendesak. Jika seseorang tidak memiliki anggaran tersisa untuk membeli sesuatu, mungkin yang terbaik adalah menunda keinginan belanja daripada memaksakan diri menggunakan utang.
Tidak ada yang gratis di dunia ini, terutama ketika berurusan dengan uang yang dipinjamkan oleh bank atau lembaga keuangan lainnya. Di Indonesia, biaya yang dikenakan untuk layanan paylater sangat beragam, mulai dari biaya penanganan, biaya administrasi, bunga transaksi, biaya keterlambatan, hingga biaya pembatalan cicilan. Beberapa penyedia paylater menetapkan harga bervariasi untuk setiap transaksi, dengan kisaran biaya antara 0,25 persen-2 persen per transaksi, sedangkan bunga cicilan biasanya ditetapkan mulai dari 1,5 persen-2,95 persen per bulan.
Selain biaya transaksi dan bunga, penyedia paylater juga memberlakukan denda keterlambatan pembayaran. Besar denda tersebut bervariasi, misalnya Shopee Paylater memberlakukan biaya keterlambatan sebesar 5 persen dari nilai tagihan, sedangkan GoPaylater menetapkan denda berdasarkan jumlah hari keterlambatan.
Jadi, sebelum menggunakan layanan paylater atau pinjol, penting untuk mempertimbangkan semua biaya yang akan dikenakan dan apakah itu benar-benar diperlukan.
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.