KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia bergerak dua arah pada perdagangan Rabu, 26 Maret 2025. Satu sisi, ancaman tarif dari Amerika Serikat atas negara pembeli minyak Venezuela menimbulkan kekhawatiran soal pasokan global. Tapi di sisi lain, kesepakatan damai laut antara Rusia dan Ukraina justru memberi harapan baru soal ketenangan di pasar energi.
Kontrak Brent menguat tipis dua sen ke level USD73,02 per barel, sedangkan minyak West Texas Intermediate (WTI) justru melemah 11 sen ke USD69 per barel.
Amerika Serikat dilaporkan berhasil menjembatani kesepakatan antara Kyiv dan Moskow untuk menghentikan serangan di laut dan terhadap infrastruktur energi. Sebagai gantinya, Washington berjanji akan mendorong pelonggaran sanksi terhadap Rusia. Namun kedua belah pihak masih menyimpan keraguan apakah lawan mereka benar-benar akan mematuhi perjanjian ini.
“Kalau gencatan senjata ini benar-benar terjadi, bisa saja jadi pintu pembuka bagi pelonggaran sanksi terhadap minyak Rusia,” kata analis senior di Price Futures Group, Phil Flynn, dikutip dari Reuters di Jakarta, Rabu 26 Maret 2025.
Namun ketegangan lain muncul dari arah Amerika Selatan. Ancaman Presiden AS Donald Trump soal tarif tambahan untuk negara mana pun yang membeli minyak atau gas dari Venezuela membuat pasar waswas. Dampaknya terasa sejak awal pekan, saat harga minyak melonjak lebih dari satu persen.
“Tarif sekunder ini pada dasarnya jadi sanksi tidak langsung untuk menggerus kapasitas pasokan minyak Venezuela dan menekan sistem kilang kecil milik China,” ujar Mukesh Sahdev, kepala riset komoditas global di Rystad Energy. China merupakan pembeli terbesar minyak Venezuela, dan kini makin dibidik lewat kebijakan tarif AS.
Pada saat bersamaan, Gedung Putih memperpanjang izin operasional Chevron di Venezuela hingga 27 Mei mendatang. Tapi para analis dari ANZ memperkirakan, jika izin ini nanti benar-benar dicabut, produksi minyak di Venezuela bisa terpangkas hingga 200.000 barel per hari.
AS juga baru-baru ini memberlakukan sanksi baru terhadap ekspor minyak Iran, memperpanjang daftar negara yang mendapat tekanan dalam pasar energi global.
Sementara itu, kelompok OPEC+—yang terdiri dari negara-negara eksportir minyak dan mitranya seperti Rusia—kemungkinan akan tetap pada rencana menaikkan produksi minyak untuk bulan Mei. Empat sumber Reuters menyebut keputusan ini muncul karena harga minyak cenderung stabil dan ada rencana untuk memaksa anggota yang kelebihan produksi di masa lalu untuk mengurangi jumlah pasokannya.
Kemarin, harga minyak global naik sekitar satu persen setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump melempar ancaman tarif baru terhadap negara-negara yang membeli minyak dan gas dari Venezuela.
Harga minyak Brent melonjak 84 sen atau sekitar 1,2 persen dan ditutup di angka USD73 per barel. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) sebagai acuan minyak mentah AS turut menguat 83 sen ke level USD69,11 per barel.
Kenaikan ini dipicu sentimen ketegangan baru di pasar energi, namun laju penguatan harga masih tertahan. Pasalnya, pemerintah AS memberikan kelonggaran bagi Chevron, perusahaan minyak asal AS, untuk tetap beroperasi dan mengekspor minyak dari Venezuela hingga 27 Mei mendatang. Padahal sebelumnya, Trump sempat memberi batas waktu hanya 30 hari sejak 4 Maret untuk menghentikan aktivitas perusahaan tersebut di Venezuela.
Dua kebijakan yang muncul bersamaan ini memberi sinyal bertolak belakang: satu sisi memberi napas tambahan bagi Chevron, namun sisi lain memperketat tekanan terhadap negara lain yang masih menjalin perdagangan minyak dengan Venezuela. Hingga kini, publik dan pelaku pasar masih menunggu kejelasan lebih lanjut mengenai cara Trump akan menerapkan kebijakan tarif barunya secara menyeluruh.
Minyak Bisa Murah Sampai 2026
Harga minyak mentah dunia diperkirakan bakal terus melandai hingga dua tahun ke depan. Dalam proyeksi terbarunya, Badan Informasi Energi Amerika Serikat (EIA) menetapkan rata-rata harga minyak Brent tahun ini di angka USD81 per barel, atau sekitar Rp1,34 juta. Tahun depan, harga tersebut diprediksi turun ke USD74 per barel (sekitar Rp1,22 juta), lalu kembali turun ke kisaran USD66 per barel (Rp1,09 juta) pada 2026.
Tren penurunan ini terjadi bukan semata karena gejolak geopolitik atau aksi pemangkasan produksi oleh OPEC+, melainkan karena pasokan minyak global tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan permintaan. Negara-negara produsen non-OPEC+ terus meningkatkan output mereka, hingga pasar dibanjiri minyak dan tekanan harga semakin kuat.
Meski begitu, ada satu variabel yang bisa mengubah arah permainan: sanksi baru Amerika terhadap energi Rusia yang diumumkan awal Januari 2025. Jika sanksi tersebut benar-benar mengguncang ekspor Rusia, maka peta pasokan global bisa berubah secara signifikan. Dalam skenario seperti itu, tren penurunan harga kemungkinan besar tertahan, bahkan bisa berbalik arah dalam waktu singkat.
Tetap saja, EIA memproyeksikan tren menurun akan berlanjut dalam jangka menengah. Permintaan dunia masih belum benar-benar pulih sejak pandemi, sementara cadangan minyak terus menumpuk. Kombinasi inilah yang berpotensi menekan harga lebih jauh ke depan.
Meski tekanan harga cukup besar, bukan berarti pasar akan dibiarkan liar. OPEC+ masih bisa memainkan peran sebagai pengatur irama pasar, misalnya lewat perpanjangan kebijakan pemangkasan produksi.
Di sisi lain, harga minyak yang terlalu rendah juga menyimpan risiko. Bagi perusahaan minyak Amerika, harga semurah ini bisa membuat mereka berpikir ulang untuk melakukan ekspansi pengeboran. Itulah sebabnya, EIA hanya memperkirakan pertumbuhan tipis dalam produksi minyak AS hingga 2026.(*)
Minyak Dunia Labil Gegara Damai Laut Ukraina dan Tarif Trump
Harga minyak bergerak dua arah setelah munculnya dua sentimen besar: ancaman tarif 25 persen dari Donald Trump bagi negara pembeli minyak Venezuela, serta kesepakatan damai laut antara Rusia dan Ukraina.
