KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia akhirnya rebound lebih dari USD1 per barel pada Rabu dini hari WIB, setelah sempat anjlok sehari sebelumnya. Pemulihan ini terjadi seiring penguatan pasar saham global dan pengumuman sanksi baru Amerika Serikat terhadap Iran.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Rabu, kontrak berjangka Brent naik USD1,18 atau sekitar 1,8 persen, dan ditutup di level USD67,44 per barel. Sementara itu, kontrak minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) untuk bulan Mei—yang berakhir pada hari yang sama—melonjak USD1,23 atau 2 persen ke USD64,32 per barel. Kontrak WTI untuk bulan Juni, yang lebih aktif diperdagangkan, juga menguat 2 persen menjadi USD63,47 per barel.
Sehari sebelumnya, Brent dan WTI sama-sama turun lebih dari 2 persen setelah muncul sinyal positif dari negosiasi nuklir AS-Iran serta tekanan dari pasar saham yang jeblok menyusul kritik pedas Presiden Donald Trump terhadap Ketua The Fed, Jerome Powell.
Tapi pasar berbalik arah. Pada Selasa, Departemen Keuangan AS menjatuhkan sanksi baru kepada jaringan perusahaan milik taipan Iran di sektor pengiriman gas cair dan minyak mentah. Langkah ini dipandang sebagai pengetatan sanksi yang bisa menghambat ekspor minyak Iran secara signifikan jika negosiasi nuklir tak kunjung mencapai kesepakatan.
“Kalau negosiasinya gagal, kemungkinan besar AS bakal berusaha mendorong ekspor minyak Iran sampai nol. Dan saat ini, arahnya makin ke sana,” ujar John Kilduff dari Again Capital di New York.
Di sisi lain, sentimen pasar juga membaik karena adanya harapan meredanya tensi dagang AS-China. Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengungkapkan keyakinannya bahwa konflik tarif dengan Beijing akan mencair, meski ia mengingatkan bahwa pembicaraan formalnya sendiri belum dimulai dan bakal jadi jalan panjang.
Perseteruan Washington-Beijing serta kebijakan tarif Trump terhadap hampir semua mitra dagang utama AS selama ini bikin harga minyak lesu. Kekhawatiran bahwa ekonomi global bakal melambat membuat investor pesimistis terhadap permintaan energi.
Dana Moneter Internasional (IMF) pun baru saja memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia. Sementara itu, para pejabat keuangan dari berbagai negara berbondong-bondong ke Washington untuk mencoba melobi agar Trump menurunkan tarif.
“Tarif AS berisiko memperlambat perdagangan global, mengacaukan rantai pasok, dan meningkatkan biaya di sektor industri besar pengguna energi. Semua ini jelas bisa menekan permintaan minyak secara signifikan,” kata Marcus McGregor dari firma investasi Conning.
Di sisi suplai, American Petroleum Institute (API) melaporkan bahwa stok minyak mentah AS turun hampir 4,6 juta barel pada pekan lalu. Data resmi dari pemerintah AS dijadwalkan rilis Rabu pukul 10.30 pagi waktu setempat (21.30 WIB). Para analis memperkirakan, rata-rata, penurunan sebesar 800 ribu barel.
Pendapatan Ekspor Migas Rusia Dipangkas
Pemerintah Rusia baru saja memangkas proyeksi pendapatan dari ekspor minyak dan gas untuk periode 2025–2027. Langkah ini diambil karena melemahnya harga minyak global yang membuat pundi-pundi migas—sumber pendanaan utama anggaran negara—terancam susut hingga 15 persen hanya dalam tahun ini saja.
Dalam dokumen proyeksi makroekonomi yang jadi dasar penyusunan anggaran negara dan diperoleh Reuters, Kementerian Ekonomi Rusia memperkirakan pendapatan ekspor migas hanya akan mencapai USD200,3 miliar pada 2025. Angka ini jauh lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar USD235 miliar pada 2024, serta lebih rendah dari estimasi resmi yang dikeluarkan pada bulan September lalu.
Pemangkasan ini datang di tengah tekanan berat terhadap anggaran negara Rusia, yang sebagian besar tersedot untuk membiayai perang di Ukraina. Presiden AS Donald Trump sempat menyatakan bahwa harga minyak yang lebih rendah tahun ini bisa mempercepat akhir konflik tersebut.
Proyeksi pendapatan migas untuk tahun-tahun berikutnya juga tak banyak membawa harapan. Pemerintah Rusia memperkirakan akan meraup USD220,4 miliar pada 2026, USD231 miliar pada 2027, dan USD244,1 miliar pada 2028. Itu pun masih lebih rendah dari proyeksi sebelumnya, kecuali pada 2028 yang diperkirakan naik tipis 2,6 persen.
Sebagai informasi, pendapatan dari ekspor minyak dan gas menyumbang sekitar sepertiga dari total penerimaan anggaran negara Rusia. Maka tak heran kalau perubahan kecil sekalipun langsung bikin guncangan fiskal.
Kementerian Ekonomi Rusia sebelumnya juga memangkas proyeksi harga minyak 2025 hampir 17 persen. Bahkan, bank sentral Rusia sempat memperingatkan bahwa harga minyak bisa memasuki masa lesu berkepanjangan selama beberapa tahun ke depan.
Harga minyak jenis Urals—patokan ekspor Rusia—jatuh ke titik terendah sejak 2023, yaitu sekitar USD53 per barel pada April, dan sempat diperdagangkan di bawah USD60 pekan lalu.
Tak hanya dari sisi harga, volume produksinya pun ikut disesuaikan. Produksi minyak Rusia tahun 2025 diperkirakan hanya mencapai 516 juta ton (sekitar 10,32 juta barel per hari), stagnan dibanding tahun ini dan sedikit turun dari proyeksi sebelumnya sebesar 518,6 juta ton.
Sementara itu, ekspor gas alam melalui pipa yang sempat ambruk setelah invasi ke Ukraina pada 2022 diproyeksikan akan mulai pulih. Ekspor gas diperkirakan mencapai 89,1 miliar meter kubik pada 2025, naik dari 80,6 miliar meter kubik pada 2024 dan 69,3 miliar meter kubik pada 2023.
Harga Minyak bisa Tetap Loyo Sampai 2026
EIA memperkirakan harga minyak akan terus berada dalam tren turun hingga paling tidak dua tahun ke depan. Dalam laporan terbarunya, EIA memproyeksikan harga rata-rata minyak Brent di tahun 2025 bakal bertahan di sekitar USD81 per barel (sekitar Rp1,34 juta), sebelum turun lebih lanjut ke USD74 (Rp1,22 juta) pada 2025 dan kemudian menyusut menjadi USD66 (Rp1,09 juta) pada 2026.
Pelemahan harga ini tidak semata disebabkan oleh ketegangan geopolitik atau langkah OPEC+ dalam mengatur pasokan. Yang lebih dominan justru lonjakan produksi dari negara-negara non-OPEC yang agresif menambah output. Ketidakseimbangan antara pasokan yang membengkak dan permintaan yang belum pulih sepenuhnya membuat harga berada dalam tekanan.
Meski demikian, masih ada peluang perubahan arah. Sanksi energi baru dari pemerintah Amerika Serikat terhadap Rusia yang diumumkan pada Januari 2025 bisa menjadi titik balik. Jika sanksi tersebut efektif menekan ekspor minyak Rusia secara signifikan, maka gangguan pasokan global bisa mendorong harga kembali naik.
Namun sejauh ini, potensi itu belum cukup kuat mengubah tren utama. EIA tetap melihat tekanan harga akan berlanjut dalam jangka menengah, didorong oleh lemahnya pemulihan permintaan energi global dan cadangan minyak yang masih melimpah di pasar internasional.(*)
Minyak Dunia Naik Lagi usai Sinyal Damai Dagang
Harga minyak menguat setelah sanksi baru AS ke Iran dan sinyal meredanya ketegangan dagang AS–China memulihkan kepercayaan pasar.
