KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia menguat lebih dari USD1,60 per barel pada perdagangan Rabu, 14 Mei 2025 karena dipicu pemangkasan tarif sementara antara Amerika Serikat dan China serta data inflasi AS yang lebih jinak dari ekspektasi. Sentimen ini memperpanjang reli dua hari berturut-turut yang juga mengangkat pasar saham global dan memperkuat dolar.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Rabu, minyak Brent ditutup di level USD66,63 per barel, naik USD1,67 atau 2,57 persen. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) menguat USD1,72 menjadi USD63,67 per barel, atau setara kenaikan 2,78 persen. Harga minyak dunia naik merespons kombinasi positif antara meredanya tensi dagang dan inflasi yang mulai terkendali.
Sehari sebelumnya, dua patokan harga minyak itu sempat melonjak lebih dari empat persen setelah AS dan China sepakat memangkas tarif impor selama 90 hari. Kesepakatan ini tidak hanya mendorong harga minyak dunia naik, tapi juga memperkuat Wall Street dan menahan tekanan terhadap nilai tukar dolar.
“Kami belum sempat ikut reli pasar saat euforia China kemarin. Hari ini kami menyesuaikan diri,” ujar John Kilduff, mitra di Again Capital LLC. Ia menambahkan, laporan inflasi pagi itu memberi ruang bagi bank sentral AS, The Fed, untuk mulai bergerak melonggarkan kebijakan.
Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan bahwa indeks harga konsumen (CPI) naik 2,3 persen dalam 12 bulan hingga April—kenaikan tahunan paling kecil dalam empat tahun. Beberapa lembaga seperti JPMorgan Chase dan Barclays pun segera memangkas proyeksi resesi AS, memperkuat alasan kenapa harga minyak dunia naik tajam.
Bagi The Fed, data ini memberi celah untuk tetap mempertahankan suku bunga rendah. Sejak terakhir menurunkan bunga pada Desember, The Fed belum mengubah kebijakan moneter. Kekhawatiran bahwa perang dagang bisa memicu inflasi tinggi kini mulai mereda.
"Semua data hari ini berpihak ke pasar,” ujar Phil Flynn, analis senior Price Futures Group. “Baik angka inflasi maupun indikator ekonomi lain sangat mendukung penguatan harga minyak.”
Meski begitu, proyeksi pasokan tetap jadi variabel penting. OPEC+—koalisi negara produsen minyak yang dipimpin oleh Arab Saudi dan Rusia—berencana meningkatkan ekspor pada Mei dan Juni. Langkah ini diperkirakan akan membatasi potensi kenaikan harga minyak dunia dalam jangka pendek.
Produksi OPEC sendiri telah meningkat lebih tinggi dari estimasi sejak April, dengan tambahan pasokan sebesar 411.000 barel per hari pada Mei. Arab Saudi pun disebut akan mempertahankan pasokan ke China di level tinggi seperti bulan sebelumnya, menyusul keputusan OPEC+ untuk melonggarkan pembatasan produksi.
Untuk saat ini, harga minyak dunia naik karena kombinasi optimisme dan jeda ketegangan. Tapi arah ke depan masih akan sangat dipengaruhi keputusan OPEC+ dan arah kebijakan The Fed pasca-inflasi yang mulai jinak.
Negeri kerajaan itu kini menjadi pemasok minyak mentah terbesar kedua ke China setelah Rusia.
Di luar sentimen pasokan, sejumlah indikator juga menunjukkan permintaan terhadap bahan bakar olahan tetap kuat. Meski proyeksi permintaan minyak mentah global tampak memburuk, pasar bahan bakar memberikan sinyal sebaliknya.
“Meski outlook permintaan minyak mentah global menurun, sinyal positif dari pasar bahan bakar tidak bisa diabaikan,” tulis analis JPMorgan dalam catatan risetnya. Harga minyak dunia naik tidak semata-mata karena tarif dan inflasi, tetapi juga karena fundamental permintaan bahan bakar tetap solid.
Sejak puncaknya pada 15 Januari, harga minyak global memang telah turun 22 persen. Namun harga produk olahan seperti bensin dan solar, serta margin kilang, tetap stabil. Ini menunjukkan daya beli dan konsumsi bahan bakar belum banyak terganggu, bahkan ketika ketegangan geopolitik dan volatilitas pasar terus membayangi.
Kapabilitas kilang yang terbatas—khususnya di AS dan Eropa—turut mempersempit keseimbangan pasokan bensin dan diesel. Ketergantungan terhadap impor pun meningkat, yang membuat pasar lebih rentan terhadap lonjakan harga saat musim perawatan atau ketika terjadi gangguan tak terduga.
Perlukah Investor Indonesia Cemas?
Setiap kali harga minyak dunia merangkak naik, obrolan soal dampaknya bagi investor Indonesia langsung mencuat. Nada-nada peringatan biasanya mengisi ruang-ruang diskusi: “Waspada! Harga minyak naik bisa mengguncang pasar.” Namun, seberapa besar sebenarnya pengaruh itu terhadap pasar modal domestik?
Data terbaru menunjukkan wajah nyata industri energi Indonesia yang, boleh dibilang, jauh dari julukan negara eksportir minyak. Sepanjang 2024, produksi minyak nasional tercatat sekitar 16,86 juta ton. Angka ini turun 5,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Di sisi lain, volume impor justru melonjak. Total impor minyak Indonesia, baik mentah maupun produk olahan seperti bensin, solar, dan avtur, mencapai 53,74 juta ton. Angka ini naik 19 persen dari tahun sebelumnya. Kondisi ini mencerminkan fakta bahwa kebutuhan energi nasional semakin bertumpu pada pasokan luar negeri.
Artinya, setiap kali harga minyak global beranjak naik, yang paling terdampak langsung bukanlah para eksportir atau produsen migas domestik, melainkan pemerintah yang harus memikirkan ulang beban subsidi dan neraca perdagangan. Bagaimana dengan investor ritel di pasar modal? Tidak serta-merta ikut gemetar.
Sementara beberapa emiten energi seperti PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) atau PT Elnusa Tbk (ELSA) mungkin terdorong naik seiring tren harga global, itu pun tak sesederhana mencomot angka di layar. Kontrak jangka panjang, fokus proyek, hingga efisiensi produksi di level domestik, semuanya ikut menentukan sejauh mana lonjakan harga minyak benar-benar menguntungkan mereka.
Lebih jauh, sebagian besar sektor di bursa, mulai dari perbankan, barang konsumsi, hingga tambang nonmigas, tidak secara langsung terseret arus naik-turunnya minyak dunia. Dampaknya lebih banyak terasa di tingkat makro, seperti inflasi, nilai tukar rupiah, dan beban anggaran negara. Jalur transmisi ini yang kerap luput dibaca.
Dengan demikian, setiap berita soal lonjakan harga minyak tidak selalu harus dibaca sebagai alarm bagi investor Indonesia. Ada konteks yang perlu diperiksa, ada detail yang perlu ditelusuri. Sebab, yang ramai di pasar global belum tentu langsung bergaung keras di lantai bursa Jakarta.(*)