Logo
>

Minyak Tertekan, OPEC+ Tambah Produksi saat Perang Dagang

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Minyak Tertekan, OPEC+ Tambah Produksi saat Perang Dagang
Sebuah anjungan lepas pantai sedang beroperasi di perairan Indonesia untuk mengeksplorasi minyak bumi. Foto: Dok. Kementerian ESDM.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia anjlok pada Rabu, 5 Maret 2025, dini hari WIB dan mendekati level terendah dalam beberapa bulan terakhir. Pelemahan ini terjadi setelah muncul laporan bahwa OPEC+ tetap berencana meningkatkan produksi minyak pada April di tengah ketegangan perdagangan yang memanas akibat tarif baru dari AS terhadap Kanada, Meksiko, dan China, yang langsung dibalas Beijing dengan kebijakan serupa.

    Dilansir dari Reuters di Jakarta, Rabu, harga minyak Brent turun 58 sen atau 0,8 persen menjadi USD71,04 (Rp1,17 juta) per barel. Selama sesi perdagangan, harga Brent sempat menyentuh titik terendah USD69,75 (Rp1,15 juta) per barel yang merupakan level terendah sejak September lalu.

    Sementara itu, minyak West Texas Intermediate (WTI) AS turun 11 sen atau 0,2 persen, ditutup di USD68,26 (Rp1,12 juta) per barel, setelah sebelumnya sempat merosot ke USD66,77 (Rp1,10 juta), level terendah sejak November.

    Keputusan OPEC+ untuk menaikkan produksi sebesar 138 ribu barel per hari mulai April menjadi kejutan bagi pasar. Ini adalah peningkatan produksi pertama sejak 2022.

    “Perubahan strategi OPEC ini terlihat lebih mengutamakan politik dibanding harga. Kemungkinan besar, ada kaitannya dengan negosiasi di balik layar yang melibatkan Donald Trump,” ujar Kepala Analis Komoditas di SEB, Bjarne Schieldrop.

    Langkah ini bertepatan dengan kebijakan tarif baru AS yang mulai berlaku pukul 12:01 EST (05:01 GMT). AS menetapkan tarif 25 persen terhadap impor dari Kanada dan Meksiko dengan tambahan 10 persen untuk produk energi dari Kanada. Sementara itu, tarif impor dari China yang sebelumnya 10 persen kini naik menjadi 20 persen.

    Para analis memperkirakan kebijakan ini akan menekan aktivitas ekonomi global dan permintaan energi yang pada akhirnya bisa menghambat kenaikan harga minyak.

    China langsung membalas dengan kenaikan tarif 10 hingga 15 persen untuk berbagai produk pertanian dan makanan asal AS, serta menerapkan pembatasan ekspor dan investasi terhadap 25 perusahaan AS.

    Di akhir sesi perdagangan, harga minyak mulai stabil setelah Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy menyesalkan ketegangan yang sempat terjadi dengan Donald Trump pekan lalu. Sumber Reuters menyebutkan kesepakatan mineral antara AS dan Ukraina akan segera ditandatangani.

    Pada Senin, Trump sempat menangguhkan semua bantuan militer AS ke Ukraina. Langkah ini mengikuti laporan Gedung Putih meminta Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Keuangan AS untuk menyusun daftar sanksi yang dapat dikurangi dalam pembicaraan dengan Moskow.

    Jika sanksi terhadap Rusia dikurangi, pasokan minyak Rusia bisa kembali membanjiri pasar. Namun, Goldman Sachs menilai produksi minyak Rusia lebih dikendalikan oleh target OPEC+ dibanding sanksi Barat. Bank investasi itu juga memperingatkan bahwa peningkatan pasokan minyak global dan perlambatan ekonomi AS akibat eskalasi tarif bisa menjadi risiko besar bagi harga minyak ke depan.

    Dari sisi permintaan, China juga mengalami pelemahan konsumsi minyak karena banyak kilang akan memasuki masa perawatan rutin dalam beberapa bulan ke depan, menurut Josh Callaghan, Kepala Derivatif Minyak Mentah di Arrow Energy Markets.

    Sementara itu, pemerintahan Trump mengumumkan akan mengakhiri lisensi operasi Chevron di Venezuela, yang telah berlaku sejak 2022. Keputusan ini diambil setelah AS menuduh Presiden Venezuela Nicolas Maduro gagal memenuhi janji reformasi pemilu dan repatriasi migran.

    Fokus pasar kini beralih ke laporan pemerintah mengenai stok minyak mentah AS yang akan dirilis hari ini. Berdasarkan data American Petroleum Institute (API), stok minyak mentah AS turun 1,46 juta barel pada pekan yang berakhir 28 Februari.

    BP Balik Arah ke Fosil, Investasi Energi Bersih Dipangkas

    Sementara itu, perusahan energi raksasa asal Inggris, BP, resmi mengumumkan perubahan strategi besar-besaran perihal peningkatan produksi minyak dan gas, serta memangkas investasi di energi bersih. Langkah ini diambil untuk menghidupkan kembali harga saham BP yang terus melemah.

    CEO BP, Murray Auchincloss, pada Rabu pekan lalu mengatakan perusahaannya akan lebih fokus memompa minyak di AS—terutama dari ladang lepas pantai—serta di Oman, Uni Emirat Arab, dan Irak.

    “Ini perubahan yang radikal,” ujar Auchincloss, dikutip dari The Wall Street Journal.

    Namun, ia menolak berkomentar apakah strategi baru ini dipengaruhi oleh diskusi dengan Elliott Management, hedge fund aktivis yang baru saja mengambil saham BP dan diyakini ingin mendorong perubahan besar di perusahaan.

    Harga saham BP di London turun 1,5 persen setelah pengumuman hari itu. Para analis menilai investor mungkin kecewa dengan skala program pembelian kembali saham BP pada kuartal ini. Bernstein menilai keputusan BP untuk tetap beroperasi sesuai kapasitas keuangannya sudah tepat, mengingat beban utangnya masih tinggi.

    Analis juga menyebut rencana jangka panjang Auchincloss berpotensi mengembalikan BP ke jalur strategis yang lebih selaras dengan pesaingnya seperti Shell, Exxon Mobil, dan Chevron.

    Beralih ke Energi Bersih Ternyata Blunder?

    Sejak 2020, BP menjadi perusahaan minyak besar yang paling agresif dalam transisi ke energi rendah karbon. Namun, langkah ini ternyata berbalik menjadi bumerang ketika permintaan bahan bakar fosil justru melonjak setelah pandemi, ditambah lagi dengan lonjakan harga minyak akibat invasi Rusia ke Ukraina.

    Sejak menjabat pada akhir 2023, Auchincloss semakin mengurangi ekspansi BP di sektor energi hijau. Ia memperlambat pengembangan hidrogen dan biofuel, menjual bisnis angin darat di AS, serta melakukan pemangkasan biaya besar-besaran. Di sisi lain, ia justru menyetujui berbagai investasi minyak dan gas berskala besar serta mengamankan akses cepat terhadap cadangan minyak di Irak dan beberapa negara lain.

    Namun, upaya ini belum berhasil mengerek harga saham BP, yang masih tertinggal dari pesaingnya. Kondisi ini memicu spekulasi di kalangan bankir bahwa BP bisa saja diakuisisi, baik sebagian maupun seluruhnya.

    Perusahaan di berbagai sektor, mulai dari minyak hingga otomotif, masih kesulitan menentukan kecepatan transisi energi mereka. Banyak yang harus menyesuaikan strategi karena kebijakan pemerintah yang berubah-ubah.

    Di bawah pemerintahan Donald Trump, upaya transisi energi semakin menemui hambatan. Sejak dilantik kembali pada Januari, Trump mulai membongkar berbagai kebijakan iklim era Biden yang sebelumnya mendorong investasi besar di energi terbarukan.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).