KABARBURSA.COM - Emiten kakao, PT Wahana Interfood Nusantara Tbk (COCO), kembali melepas hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) dalam aksi korporasi rights issue jilid II senilai Rp267 miliar.
Dalam aksi ini, COCO menawarkan sebanyak 2,66 miliar saham baru dengan harga pelaksanaan Rp100 per saham. Jumlah tersebut mencerminkan sekitar 75 persen dari modal ditempatkan dan disetor penuh pasca aksi penambahan modal ini rampung.
Berdasarkan keterbukaan informasi, Sabtu 18 Oktober 2025, masa perdagangan HMETD dengan kode COCO-R berlangsung mulai 14 hingga 20 Oktober 2025. Artinya, efek COCO-R tidak akan lagi diperdagangkan per 21 Oktober 2025, dan akan dikeluarkan dari daftar efek tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Dalam prospektus disebutkan, setiap pemegang 1 saham lama COCO yang tercatat dalam Daftar Pemegang Saham (DPS) pada penutupan 10 Oktober 2025, berhak memperoleh 3 HMETD. Setiap 1 HMETD dapat digunakan untuk membeli 1 saham baru, dengan pembayaran penuh pada saat pemesanan.
Pecahan HMETD yang tidak genap akan dibulatkan ke bawah (round down). Sisa pecahan tersebut akan dijual oleh perseroan, dan hasilnya masuk ke kas perusahaan.
Pemain utama dalam aksi ini adalah Mahogany Global Investment Pte Ltd. Entitas yang menjadi pemegang saham mayoritas sekaligus pengendali COCO ini telah menyatakan komitmennya untuk mengeksekusi seluruh haknya, serta bertindak sebagai pembeli siaga hingga sebanyak 868,5 juta saham baru.
Saat ini, Mahogany menggenggam 543,94 juta saham COCO, atau sekitar 61,12 persen dari total kepemilikan. Dengan jumlah itu, Mahogany berhak atas 1,63 miliar HMETD dalam aksi rights issue ini.
Dana segar yang terkumpul dari aksi ini akan digunakan untuk belanja modal (capex) dalam pengembangan bisnis—terutama di segmen midstream—dan juga sebagai modal kerja, guna menopang ekspansi dan memperkuat fondasi pertumbuhan usaha COCO ke depan.
Tong Kosong Nyaring Bunyinya
Saham PT Wahana Interfood Nusantara Tbk (COCO) tengah menjadi buah bibir di lantai bursa. Dalam enam bulan, harganya melonjak hampir sembilan kali lipat dan menjadikan reli luar biasa yang jarang terjadi di emiten kecil sektor konsumsi.
Namun, di balik gegap gempita pergerakan harga itu, laporan keuangannya justru menunjukkan cerita berbeda. Rugi membengkak, utang menumpuk, dan ekuitas nyaris terkikis habis.
Fenomena ini membuat banyak pelaku pasar mulai bertanya-tanya, apakah kenaikan saham COCO benar mencerminkan potensi bisnis, atau sekadar gema nyaring dari tong yang mulai kosong?
Performa COCO hingga paruh pertama 2025 memang menggambarkan anomali klasik di pasar modal, fundamentalnya terus memburuk, tetapi harga saham justru melesat tajam.
Dalam enam bulan terakhir, saham COCO naik 869 persen, dan secara tahunan sudah melonjak lebih dari 677 persen. Dari Rp81 di awal tahun, menjadi Rp630 per saham per 8 Oktober 2025. Kenaikan fantastis ini jelas tidak sejalan dengan kinerja keuangannya yang justru memburuk signifikan.
Dari laporan keuangan semester I-2025, COCO membukukan rugi bersih Rp82,53 miliar. Kerugian ini melonjak 153,9 persen dibandingkan kerugian tahun lalu Rp32,48 miliar. Penjualan bersih juga turun hampir 9 persen, menjadi Rp73,16 miliar. Sementara, beban pokok penjualan masih tinggi di Rp69,55 miliar.
Akibatnya, laba bruto terpangkas separuh menjadi hanya Rp3,61 miliar. Di saat margin makin tipis, beban administrasi justru naik hampir 26 persen dan menambah tekanan pada profitabilitas. Yang paling mencolok, beban operasi lain-lain melonjak ke Rp59,13 miliar dari hanya Rp50 juta pada periode sama tahun lalu. Lonjakan ini terjadi lebih dari 116.000 persen.
Kombinasi penurunan pendapatan, beban tinggi, dan biaya tak terduga membuat rugi usaha membengkak 414 persen menjadi Rp72,76 miliar.
Kondisi neraca tidak kalah mengkhawatirkan. Total aset COCO turun 13,7 persen menjadi Rp379,6 miliar. Sedangkan liabilitas naik 6,2 persen ke Rp363 miliar, terutama akibat kenaikan utang jangka panjang melalui penerbitan medium term notes (MTN) dari Rp150 miliar menjadi Rp200 miliar.
Lebih parah lagi, ekuitas amblas 83,1 persen, hanya tersisa Rp16,58 miliar dari Rp98 miliar di akhir 2024. Dengan rasio debt-to-equity 16,9x, perusahaan kini sangat tertekan oleh utang dan hampir seluruh asetnya dibiayai oleh kewajiban.
Rasio total liabilities terhadap ekuitas mencapai 21,9x, level yang ekstrem dan menandakan kondisi solvabilitas yang rapuh. Nilai Altman Z-Score -1,83 secara statistik menunjukkan zona distress. Di sini ada potensi kebangkrutan tinggi, terutama jika tidak ada restrukturisasi modal atau tambahan pendanaan.
Dari perspektif valuasi, kondisi COCO lebih mengkhawatirkan. Dengan laba negatif, PER (TTM) -5,38x dan PBV mencapai 33,28x, saham ini tergolong sangat mahal dibanding nilai bukunya yang hanya Rp18,63 per saham.
Nilai pasar COCO kini Rp552 miliar, padahal ekuitas perusahaan tinggal Rp17 miliar. Artinya, investor membayar harga lebih dari 30 kali lipat dari nilai aset bersihnya. Secara logika fundamental, valuasi seperti ini sulit dibenarkan karena perusahaan masih merugi, arus kas operasional negatif, dan tidak membayar dividen. (*)