KABARBURSA.COM - Investasi obligasi dinilai bakal terdampak andai Federal Reserve (The Fed) menurunkan suku bunga. Meski begitu, pengaruh ini diyakini masih membuat investasi obligasi tetap menarik.
Direktur PT Labaforexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, mengatakan suku bunga obligasi akan terpengaruh jika The Fed menurunkan suku bunganya.
"Anggaplah sekarang ini suku bunga obligasi 6,5 ya, bisa saja dengan turunnya suku bunga acuan, (suku bunga obligasi) ini juga akan mengalami penurunan," ungkap dia dalam acara webinar ‘Raih Cuan Investasi dari Obligasi’ yang diadakan Kabar Bursa, Kamis 29 Agustus 2024.
Kendati begitu, Ibrahim menegaskan investasi obligasi masih tetap menarik meski di bawah bayang-bayang penurunan suku bunga The Fed.
Menurut dia, yang terpenting dalam berinvestasi adalah soal keamanan. Hal inilah, kata Ibrahim, yang menjadi keunggulan obligasi dibanding yang lainnya.
"Tapi masih cukup bagus ya obligasi. Walaupun suku bunga nantinya turun kemudian suku bunga obligasi juga turun tetapi di sini kan yang penting aman," tegas dia.
"Pemerintah tidak mungkin terjadi gagal bayar. Dan harus diingat PDB (Produk Domestik Bruto) kita cukup bagus di kuartal II yakni 5,05 persen di luar ekspektasi pemerintah," tambahnya.
Di sisi lain, Ibrahim menjelaskan jika penurunan suku bunga The Fed juga akan berdampak pada suku bunga di dalam negeri.
"Bank Indonesia (BI) pun kemarin dalam pertumbuhan bulanan mengatakan di kuartal 4 kemungkinan besar BI akan turun suku bunga di bulan Oktober, November, Desember sebesar 75 basis poin sampai 100 basis poin," pungkasnya.
Ketua The Fed: Waktunya Tiba untuk Pelonggaran Moneter AS
Sebelumnya diberitakan, Ketua Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell, mengungkapkan bahwa “waktunya telah tiba” bagi bank sentral Amerika Serikat (AS) untuk menurunkan suku bunga. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya risiko di pasar tenaga kerja dan inflasi yang semakin mendekati target 2 persen, memberikan sinyal jelas bahwa kebijakan pelonggaran moneter akan segera diimplementasikan.
“Dengan risiko inflasi yang tinggi semakin berkurang dan meningkatnya risiko terhadap lapangan kerja, saatnya untuk menyesuaikan kebijakan,” ujar Powell dalam pidato pentingnya pada konferensi ekonomi tahunan Federal Reserve Kansas City di Jackson Hole, Wyoming, Jumat, 23 Agustus 2024.
“Perubahan kebijakan sudah di depan mata. Keputusan terkait waktu dan besaran penurunan suku bunga akan bergantung pada data yang masuk, perkembangan prospek, dan keseimbangan risiko yang ada,” sambung Powell.
Menekankan dua mandat yang diberikan Kongres kepada The Fed, Powell menyatakan bahwa keyakinannya semakin kuat bahwa inflasi bergerak secara berkelanjutan menuju target 2 persen, setelah sebelumnya sempat mencapai sekitar 7 persen selama pandemi COVID-19, sementara tingkat pengangguran juga meningkat.
Powell juga menjelaskan bahwa kenaikan hampir satu persen dalam tingkat pengangguran selama setahun terakhir ini sebagian besar disebabkan oleh peningkatan pasokan tenaga kerja dan perlambatan dalam perekrutan, bukan karena lonjakan PHK. Meski begitu, ia menekankan bahwa The Fed berusaha mencegah penurunan lebih lanjut di pasar tenaga kerja—mengindikasikan bahwa fokus untuk “mengorbankan” pasar tenaga kerja demi mengendalikan inflasi kini sudah tidak relevan lagi.
“Sebelum kejadian ini, sebagian besar orang Amerika yang hidup saat ini tidak merasakan dampak buruk dari inflasi yang tinggi dalam jangka waktu yang lama. Inflasi menimbulkan kesulitan besar, terutama bagi mereka yang paling tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan, perumahan, dan transportasi yang biayanya lebih tinggi,” jelas Powell.
“Inflasi yang tinggi memicu stres dan rasa ketidakadilan yang masih melekat hingga saat ini,” imbuhnya.
Dengan tingkat pengangguran saat ini berada di sekitar 4,3 persen, Powell menilai angka ini konsisten dengan stabilitas inflasi dalam jangka panjang.
“Kami tidak mengharapkan atau menginginkan pelemahan lebih lanjut dalam kondisi pasar tenaga kerja,” kata Powell.
“Kami akan melakukan segala yang bisa dilakukan untuk mendukung pasar tenaga kerja yang kuat sambil tetap bergerak menuju stabilitas harga. Dengan penyesuaian kebijakan yang tepat, ada alasan kuat untuk percaya bahwa ekonomi dapat kembali ke target inflasi 2 persen tanpa harus mengorbankan pasar tenaga kerja yang solid,” jelasnya, menambahkan.
Memasuki Babak Baru
Pernyataan Powell ini hampir seperti menyatakan kemenangan atas lonjakan inflasi yang sempat melanda ekonomi di awal pandemi.
Kenaikan harga yang cepat mendorong The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan dari hampir nol ke kisaran 5,25 persen-5,50 persen, yang merupakan level tertinggi dalam 25 tahun terakhir.
Suku bunga ini telah dipertahankan selama lebih dari satu tahun meskipun ekonomi terus tumbuh, inflasi menurun, dan prediksi resesi seringkali tidak terbukti—menunjukkan kemungkinan “soft landing” dengan segera berakhirnya periode suku bunga tinggi.
“Walaupun tugas ini belum selesai, kami telah membuat banyak kemajuan,” ungkap Powell mengenai upaya pemulihan stabilitas harga. The Fed mendefinisikan stabilitas harga sebagai inflasi di level 2 persen yang diukur oleh indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE). Saat ini, indeks tersebut menunjukkan tingkat inflasi tahunan sebesar 2,5 persen.
Pidato Powell di Jackson Lake Lodge, Taman Nasional Grand Teton, Wyoming, di hadapan bankir sentral dan ekonom, memperkuat pandangan kebijakan moneter global yang sudah diantisipasi oleh pasar.
Komentar Powell menegaskan keputusan-keputusan yang sudah diisyaratkan sebelumnya oleh hasil pertemuan The Fed pada Juli, yang menunjukkan bahwa sebagian besar pembuat kebijakan setuju bahwa pemotongan suku bunga kemungkinan besar akan dimulai bulan depan.
Namun, nada tegas dari Powell kali ini menegaskan bahwa The Fed sedang memulai babak baru dalam kebijakan moneter.
Meskipun begitu, Powell tidak memberikan banyak rincian tentang bagaimana The Fed akan membuat keputusan-keputusan kebijakan di masa depan seiring dengan pelonggaran yang dinantikan ini.(*)