Logo
>

Nasib Naas Hantam Bisnis Tekstil, Pekerja Dibuat Menjerit

Ditulis oleh KabarBursa.com
Nasib Naas Hantam Bisnis Tekstil, Pekerja Dibuat Menjerit

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Nasib naas melanda sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) sejak awal tahun 2024. Berdasarkan catatan Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), terdapat 6 perusahaan TPT yang terpaksa gulung tikar dan 4 perusahaan tekstil yang terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) efisiensi.

    Menjadi persoalan kemudian, PHK menuntut perusahaan memenuhi kewajiban mereka untuk memberikan pesangon kepada para pekerja. Sepanjang tahun 2024, KSPN mencatat sekitar 13.800 pekerja yang terkena PHK.

    “Untuk periode Januari sampai dengan awal Juni (2024), kami baru ekspose 6 perusahaan tutup dan lebih dari 4 perusahaan tekstil lakukan PHK efisiensi dengan total jumlah PHK 13.800-an pekerja,” kata Presiden KSPN, Ristadi, saat dibuhungi Kabar Bursa, Kamis, 13 Juni 2024.

    Berdasarkan catatannya, Ristadi menyebut hanya dua perusahaan yang telah memenuhi kewajibannya kepada para pekerja yang terimbas PHK, yakni PT SAI Aparel dan PT Sritex Grup. Meski begitu, kata dia, terdapat 80 persen pekerja di sektor TPT yang belum memiliki kejelasan nasib pesangonnya.

    “Sekitar 80 persen belum jelas hak-hak pesangonnya, (pesangon kerja) yang selesai baru sekitar 20 persenan,” ungkap Ristadi.

    Nihil Peran Kemnaker

    Pada situasi ini, Ristadi tak banyak berharap dengan langkah Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Pasalnya, dalam kasus ini Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) tiap-tiap daerah yang mestinya berperan sebagai mediator pekerja dan pihak perusahaan. “Itupun tidak berlaku wajib dilaksanakan hasilnya,” ungkapnya.

    Apalagi, kata Ristadi, masih ada mekanisme di proses pengadilan hubungan industrial. Dalam proses ini, Kemnaker sama sekali tidak memiliki kewenangan campur tangan kendati pihak perusahaan mengaku tidak memiliki kesanggupan membayar pesangon pekerja.

    Bahkan, kata Ristadi, jalur pengadilan juga sering kali sebatas perjanjian di atas kertas yang tidak terealisasi. “Kalau pengusahanya tidak sanggup dan bilang enggak ada uang, Kemnaker juga tidak punya kewenangan untuk memaksa. Sering putusan pengadilan hanya di atas kertas, tapi tidak terealisasi,” tegasnya.

    Dalam hal ini, Ristadi berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi), melalui kementerian terkait, membatasi impor dan memberantas produk TPT ilegal. Dengan begitu, industri TPT bisa eksis di pasar domestik.

    “Amankan pasar dalam negeri agar barang-barangnya diisi oleh barang-barang produk sendiri. Sehingga pabrik produsen laku barangnya, pabrik bisa eksis dan hindari PHK,” pungkasnya.

    Adapun 6 pabrik yang terpaksa tutup di antaranya:

    1. PT Dupantex, Jawa Tengah
    2. PT Alenatex, Jawa Barat
    3. PT Kusumahadi Santosa
    4. PT Pamor Spinning Mills, Jawa Tengah
    5. PT Kusumaputra Santosa, Jawa Tengah
    6. PT SAI Apparel, Jawa Tengah

    Sementara 4 pabrik yang terpaksa melakukan PHK di antaranya;

    1. PT Sinar Pantja Djaja, Jawa Tengah
    2. PT Bitratex, Jawa Tengah
    3. PT Djohartex, Jawa Tengah
    4. PT Pulomas, Jawa Barat

    Kebijakan Relaksasi Impor

    Sementara itu, Danang Girindrawardana, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), menilai langkah pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Peraturan Impor atau kebijakan relaksasi impor sebagai kemunduran. Produk tekstil impor berpotensi membanjiri pasar domestik karena para importir atau pemegang Angka Pengenal Impor Umum (API-U) tidak lagi wajib mengurus Persetujuan Teknik (Pertek).

    Dengan adanya Pertek, data administrasi impor lebih tertata dan neraca komoditas untuk industri TPT terbentuk dengan baik.

    Sekarang, produk TPT lokal harus berhadapan langsung dengan produk impor dalam kompetisi yang tidak adil, ujar Danang dikutip Senin 28 Mei 2024.

    Ia juga menambahkan, pelaku Industri Kecil Menengah (IKM) adalah pihak yang paling dirugikan dengan adanya Permendag 8/2024. Kelompok IKM sering memasok produk tekstil dan garmen ke pusat perbelanjaan. Mereka akan langsung bersaing dengan produk tekstil impor yang masuk tanpa kewajiban Pertek.

    API mendesak pemerintah kembali memberlakukan kewajiban Pertek sebagai syarat memperoleh Persetujuan Impor (PI) dan memperbaiki peraturan impor agar lebih efektif dan efisien.

    API juga meminta Kemendag dan Kemenperin untuk tidak saling berkompetisi, melainkan bersinergi untuk menghasilkan kebijakan yang positif bagi pelaku industri padat karya, yang pada akhirnya akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja yang maksimal.

    Kami melihat tidak ada sinergi antar kementerian/lembaga karena aturan impor terlalu sering direvisi dalam waktu kurang dari setahun, ungkap Danang.

    Danang menambahkan, jika regulasi impor yang mendukung industri manufaktur seperti TPT tidak segera diperbaiki, ancaman deindustrialisasi akan menjadi kenyataan di masa mendatang.

    “Ketimbang melonggarkan impor, pemerintah seharusnya memprioritaskan kebijakan pengelolaan harga energi dan ketenagakerjaan untuk memperbaiki iklim investasi,” tandasnya. (and/*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi