KABARBURSA.COM - Gejolak politik di Prancis menyebabkan Paris kehilangan posisinya sebagai pemegang pasar saham terbesar di Eropa. Tahta Prancis berhasil direbut oleh London setelah sebelumnya harus puas berada di posisi kedua selama beberapa tahun terakhir.
Direbutnya mahkota Prancis oleh Inggris berawal dari keputusan Presiden Emmanuel Macron untuk menggelar pemilihan parlemen secara tiba-tiba pada akhir bulan ini. Akibat keputusan tergesa-gesa tersebut, sebanyak USD258 miliar dari kapitalisasi pasar perusahaan-perusahaan Prancis pekan lalu, tergerus.
"Kita berada dalam periode di mana tidak ada kepastian selama tiga hingga empat pekan ke depan," kata Alberto Tocchio, manajer portofolio di Kairos Partners, seperti dilansir dari Bloomberg, Senin, 17 Juni 2024.
Bursa saham Prancis secara kolektif kini bernilai sekitar USD3,13 triliun, kalah tipis dari pasar ekuitas Inggris yang bernilai USD3,18 triliun. Data tersebut terungkap menyusun beberapa data di lapangan oleh Bloomberg.
Indeks CAC 40 telah menghapus semua kenaikannya pada 2024, padahal bursa saham Prancis sempat mencatat rekor tertinggi sebulan lalu.
Sementara itu, berbagai faktor termasuk peningkatan pertumbuhan global dan lonjakan aktivitas merger membuat saham-saham Inggris kembali populer di kalangan investor. Meskipun Inggris juga sedang mempersiapkan pemilihan parlemen, situasinya lebih stabil karena Partai Buruh memimpin dalam jajak pendapat dengan selisih yang besar.
Indeks FTSE 100 telah mencapai titik tertinggi sepanjang masa tahun ini, didorong oleh saham-saham yang bergantung pada ekspor seperti Shell Plc dan Unilever Plc. Secara global, Inggris kini menempati peringkat pasar saham terbesar keenam.
"Kami juga menyukai saham-saham Inggris sebagai diversifikasi portofolio mengingat profil sektornya yang menarik," kata Ulrich Urbahn, kepala strategi dan penelitian multi-aset di Berenberg.
"Selain itu, ketidakpastian politik tampaknya lebih tinggi di negara lain, setidaknya untuk saat ini," tambahnya.
Alasan Macron Mempercepat Pileg
Presiden Prancis Emmanuel Macron mempertaruhkan masa depan politiknya setelah menyerukan pemilihan legislatif yang dipercepat pada akhir bulan ini, menyusul kekalahan dalam pemungutan suara Uni Eropa oleh partai sayap kanan Marine Le Pen.
Keputusan mengejutkan Macron telah memicu gejolak politik di Prancis, memberikan kesempatan bagi kelompok sayap kanan untuk mendapatkan kekuatan politik yang signifikan setelah bertahun-tahun absen, dan mengancam masa kepresidenannya yang tersisa tiga tahun.
Macron menyatakan bahwa hasil Uni Eropa sangat buruk bagi pemerintahannya, dan ia tidak bisa mengabaikannya. Kurang dari dua bulan sebelum Paris menjadi tuan rumah Olimpiade, ia mengumumkan bahwa pemilihan majelis rendah akan diadakan pada 30 Juni, dengan putaran kedua pada 7 Juli.
"Ini adalah saat yang penting untuk kejelasan. Saya telah mendengar pesan dan kekhawatiran Anda, dan saya tidak akan membiarkannya tidak terjawab. Prancis membutuhkan mayoritas yang jelas untuk bertindak dengan ketenangan dan harmoni," kata Macron, seperti dilansir Reuters.
Partai Reli Nasional (RN) yang dipimpin oleh Marine Le Pen memenangkan sekitar 32 persen suara dalam pemilu Minggu lalu, lebih dari dua kali lipat dari suara yang diperoleh Macron sebesar 15 persen, menurut hasil jajak pendapat. Sementara itu, Partai Sosialis berada sedikit di bawah Macron, dengan 14 persen.
Le Pen, yang dipandang sebagai calon utama pada pemilu 2027 di mana Macron tidak dapat mencalonkan diri, menyambut baik keputusan Macron. "Kami siap untuk mengambil alih kekuasaan jika rakyat Prancis memberikan kepercayaan mereka pada pemilu nasional mendatang," katanya dalam rapat umum.
Partai Macron, Renaisans, saat ini memiliki 169 anggota di majelis rendah parlemen, dari total 577 anggota. Sementara itu, RN memiliki 88 anggota.
Jika RN berhasil memenangkan mayoritas, Macron tetap akan memimpin kebijakan pertahanan dan luar negeri, namun akan kehilangan kendali terhadap agenda dalam negeri, termasuk kebijakan ekonomi dan keamanan.
"Emmanuel Macron adalah pemain poker, kita telah melihatnya malam ini," kata anggota parlemen dari Partai Hijau, Sandrine Rousseau.
Prancis telah mengenal periode "hidup bersama" sebelumnya, ketika presiden berasal dari partai politik yang berbeda dari mayoritas parlemen. Dalam kasus ini, perdana menteri yang berasal dari partai mayoritas akan menjadi pengambil keputusan utama dalam negeri Prancis.
Diketahui, pada periode terakhir, dari 1997-2002, Presiden Jacques Chirac berada di posisi kedua setelah Perdana Menteri Sosialis Lionel Jospin.
"Pemilihan umum yang dipercepat merupakan sumber ketidakpastian baru, yang seharusnya berdampak negatif pada perekonomian dan kepercayaan pasar, setidaknya di Prancis," kata kepala analisis pasar Nordea di Helsinki Jan Von Gerich.(*)