KABARBURSA.COM - Indeks saham acuan Jepang, Nikkei 225, anjlok hampir 9 persen ke level 30.629,50 pada perdagangan Senin, 7 April 2025 menyentuh titik terendah sejak November 2023. Koreksi tajam ini dipicu oleh pengumuman tarif impor baru dari Presiden AS Donald Trump, termasuk pungutan 25 persen terhadap mobil dan suku cadang otomotif, yang menjadi pukulan telak bagi Jepang—negara dengan ekonomi berbasis ekspor.
Seperti dilansir Investing, hingga pukul 08.05 WIB, indeks Nikkei masih melemah 6,5 persen ke 31.615,20, melanjutkan tren negatif setelah merosot lebih dari 9 persen sepanjang pekan lalu, terutama akibat tekanan di sektor perbankan.
Indeks TOPIX, yang mencerminkan pergerakan saham yang lebih luas, juga tertekan lebih dari 8 persen pada hari yang sama.
Sektor perbankan Jepang mengalami tekanan hebat di tengah gejolak pasar. Saham Japan Post Bank Co Ltd merosot lebih dari 11 persen, sementara Mitsubishi UFJ Financial terjungkal hingga 13 persen.
Tak jauh berbeda, Sumitomo Mitsui Financial juga anjlok lebih dari 12 persen, dan Mizuho Financial Group harus rela kehilangan lebih dari 10 persen nilai sahamnya. Keempat bank besar ini menjadi korban paling mencolok dari kekhawatiran pasar terhadap dampak tarif baru yang dapat mengguncang stabilitas ekonomi Jepang secara menyeluruh.
Tekanan pasar muncul setelah Trump, pada 2 April 2025, mengumumkan kebijakan tarif besar-besaran untuk membentuk ulang lanskap perdagangan global. Ia memberlakukan tarif dasar 10 persen pada semua barang impor, serta tarif timbal balik agresif yang mulai berlaku 9 April 2025.
Termasuk di antaranya, pengenaan kembali tarif 25 persen untuk mobil dan suku cadang impor—kebijakan yang secara langsung menyasar industri otomotif Jepang.
"Ini bukan hanya perang dagang. Ini adalah rekonstruksi ulang arsitektur perdagangan global," kata analis Bloomberg Economics dalam laporannya, seraya menambahkan bahwa pasar bereaksi seolah-olah "era globalisasi resmi diparkir di garasi".
Sebagai negara yang sangat bergantung pada ekspor, terutama di sektor otomotif, teknologi, dan manufaktur industri, Jepang berada dalam posisi yang sangat rentan.
Sentimen negatif juga menyapu sektor otomotif Jepang, yang selama ini menjadi tulang punggung ekspor negeri Sakura. Saham Nissan Motor tergelincir hingga 7 persen, sementara Mazda Motor Corp mencatat penurunan nyaris 8 persen. Raksasa otomotif Toyota Motor Corp tak luput dari tekanan, dengan sahamnya melemah hampir 4 persen, diikuti Honda Motor yang juga terkoreksi sekitar 4 persen. Para investor bereaksi cepat terhadap ancaman tarif tinggi dari AS, yang dinilai dapat menggerus keuntungan produsen mobil Jepang secara signifikan di pasar ekspor utama mereka.
"Kebijakan tarif Trump menyerang langsung jantung industri Jepang. Pasar bereaksi seperti seseorang yang baru saja disodori tagihan pajak dari 1997," kata Yuki Masujima, analis ekonomi senior di Bloomberg Economics.
Performa Nikkei dan Indeks Lainnya
Selama sepekan terakhir, indeks Nikkei 225 membukukan penurunan tajam lebih dari 9,3 persen, dengan koreksi terbesar terjadi pada Jumat dan Senin secara berturut-turut.
Pada Senin, 7 April 2025, indeks terjun 8,9 persen; Jumat, 4 April 2025, terkoreksi 2,1 persen; sementara pada pertengahan pekan sempat sedikit pulih namun gagal mempertahankan momentumnya di tengah ketidakpastian kebijakan perdagangan AS.
Jika dibandingkan secara regional, indeks Hang Seng di Hong Kong juga terguncang, meskipun tidak separah Nikkei, dengan penurunan sekitar 4,7 persen selama periode yang sama. Sementara itu, di Amerika Serikat, Dow Jones Industrial Average relatif lebih stabil meski tetap melemah sekitar 1,5 persen, menunjukkan bahwa guncangan terbesar justru terjadi di pasar Asia yang memiliki eksposur besar terhadap ekspor ke AS.
“Pasar Jepang jadi tumbal pertama dari kebijakan proteksionis terbaru ini, karena struktur ekonominya yang sangat sensitif terhadap perdagangan luar negeri, terutama dengan Amerika Serikat,” ujar Ayako Sera, market strategist di Sumitomo Mitsui Trust Bank, kepada Reuters.
Ia menambahkan bahwa volatilitas di Asia kemungkinan akan meningkat jika ketegangan tarif terus bereskalasi.
Apa Selanjutnya?
Dengan ekspektasi bahwa tarif tambahan mungkin hanya awal dari eskalasi lebih besar, investor global kini bersikap waspada. Yen sempat menguat tajam terhadap dolar sebagai tanda risk aversion, sementara permintaan terhadap aset aman seperti obligasi pemerintah Jepang dan emas meningkat.
Dalam kondisi seperti ini, tak berlebihan jika disebut Jepang sedang menghadapi badai finansial yang bukan hanya karena cuaca eksternal, tapi juga karena posisi ekspornya yang sangat terbuka. Dengan sentimen global yang terus memburuk, analis memperkirakan volatilitas tinggi masih akan membayangi pasar Jepang dalam beberapa minggu ke depan. (*)