KABARBURSA.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan kinerja dan ketahanan industri Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) bergerak positif hingga per Maret 2024.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menyampaikan bahwa tren BPR dan BPRS masih berada dalam kondisi baik dengan mencatatkan kinerja positif dan pertumbuhan berkelanjutan.
"Kinerja BPR dan BPRS secara umum masih terjaga baik dengan mencatatkan kinerja positif dan tumbuh secara berkelanjutan," ujar Dian dalam peluncuran Roadmap Pengembangan dan Penguatan Industri BPR-BPRS (RP2B) 2024-2027, Senin, 20 Mei 2024.
Dian menjelaskan bahwa total aset industri BPR dan BPRS tumbuh sebesar 7,34 persen year-on-year, mencapai nilai Rp216,73 triliun. Pertumbuhan penyaluran kredit dan pembiayaan mencapai 9,42 persen year-on-year, dengan nilai Rp161,90 triliun.
Selain itu, penghimpunan dana pihak ketiga meningkat dengan pertumbuhan sebesar 8,60 persen year-on-year, mencapai Rp158,8 triliun.
Dari aspek permodalan, profitabilitas, dan likuiditas, BPR dan BPRS menunjukkan rasio keuangan yang relatif terjaga. Hal ini tercermin dari rasio yang menunjukkan ketahanan yang baik dan kemampuan menopang risiko kredit atau pembiayaan yang sedang meningkat saat ini.
"BPR dan BPRS ini memiliki rasio keuangan yang relatif terjaga antara lain tercermin dari rasio yang menunjukkan ketahanan yang baik dan mampu menopang risiko kredit atau pembiayaan yang sedang menunjukkan tren meningkat pada saat ini," jelas dia.
Kendati demikian, Dian mengungkapkan bahwa industri BPR dan BPRS masih menghadapi tantangan, terutama dalam aspek struktural. "Tantangan struktural yang dihadapi oleh industri BPR dan BPRS dapat dikelompokkan menjadi tiga aspek utama," tambahnya.
Aspek pertama adalah permodalan dan disparitas skala usaha. Dian menjelaskan bahwa jumlah BPR dan BPRS yang banyak, sebagian besar didominasi oleh BPR dan BPRS dengan skala usaha kecil. Saat ini, terdapat 1.392 BPR dan 174 BPRS.
Sedangkan BPR dan BPRS masih memenuhi kewajiban peningkatan modal inti minimum sebesar Rp6 miliar pada akhir tahun 2024 untuk BPR dan 31 Desember 2025 untuk BPRS.
Aspek kedua berkaitan dengan tata kelola dan manajemen risiko. Dian menekankan bahwa kualitas dan kuantitas pengurus serta SDM industri BPR dan BPRS masih perlu dioptimalkan. "Dibutuhkan penerapan tata kelola yang baik dan manajemen risiko yang efektif untuk meningkatkan kinerja industri BPR dan BPRS," jelasnya.
Aspek ketiga adalah persaingan usaha. Menurut Dian, BPR dan BPRS menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan lembaga keuangan lain, khususnya untuk segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dari hulu sampai hilir.
"Terlebih lagi dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi yang mendorong inovasi produk dan layanan keuangan, persaingan menjadi cukup berat bagi industri BPR dan BPRS," pungkasnya.
Aturan Baru tentang BPR dan BPRS
Diberitakan sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7 Tahun 2024 (POJK 7/2024) tentang Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPR Syariah).
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menjelaskan bahwa tujuan POJK 7/2024 adalah untuk mendorong BPR dan BPR Syariah menjadi lembaga keuangan yang berintegritas, adaptif, dan kompetitif.
“Peraturan ini penting karena akan mengubah lanskap industri BPR dan BPR Syariah, memungkinkan mereka menghadapi tantangan dan persaingan di masa depan. Diharapkan, penerbitan POJK ini serta upaya penguatan yang dilakukan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap BPR dan BPR Syariah,” ujar Dian melalui rilis resminya, Minggu, 19 Mei 2024.
Dian menambahkan bahwa POJK ini bertujuan untuk mengoptimalkan pengawasan, mengingat OJK menemukan beberapa kelemahan struktural, termasuk kecurangan (fraud), dalam hasil pengawasannya.
Beberapa BPR atau BPR Syariah terpaksa ditutup untuk menjaga kesehatan sistem perbankan dan melindungi konsumen.
POJK 7/2024, yang berlaku sejak 30 April 2024, mencakup aspek kelembagaan BPR dan BPR Syariah, mulai dari pendirian, kepemilikan, kepengurusan, jaringan kantor, penggabungan, peleburan, pengambilalihan, hingga pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham.
Peraturan ini juga mencakup kebijakan strategis untuk memperkuat kelembagaan industri BPR dan BPR Syariah, termasuk kesempatan bagi BPR dan BPR Syariah untuk memperluas akses permodalan melalui pasar modal.
Selain itu, peraturan ini mengatur kebijakan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan, serta kewajiban konsolidasi bagi BPR dan BPR Syariah yang berada di bawah kepemilikan Pemegang Saham Pengendali yang sama.
Kebijakan ini diharapkan dapat memperkuat permodalan dengan cepat, memastikan kecukupan infrastruktur teknologi informasi, serta meningkatkan manajemen risiko dan tata kelola, sehingga dapat mendorong daya saing industri BPR dan BPR Syariah.
POJK baru ini juga mengusung efisiensi lembaga jasa keuangan dengan memperbolehkan penggabungan lembaga keuangan mikro dengan BPR atau BPR Syariah.
Selain itu, aturan ini menyempurnakan aspek kelembagaan lain seperti jaringan kantor untuk mengakomodir pengembangan dan penguatan BPR dan BPR Syariah.
“Kewajiban konsolidasi bagi grup BPR atau BPR Syariah harus diselesaikan paling lama dua tahun untuk BPR atau BPR Syariah non-pemerintah daerah, dan paling lama tiga tahun untuk BPR atau BPR Syariah milik pemerintah daerah,” jelas Dian.
Ia berharap aturan ini dapat meningkatkan level playing field sehingga BPR dan BPR Syariah memiliki wilayah bisnis yang lebih luas dan dapat memperkuat kapasitas permodalannya.