KABARBURSA.COM - Pendiri dan Ketua PT Supreme Energy, Supramu Santosa, menyatakan bahwa optimalisasi penggunaan energi panas bumi atau geothermal dapat meningkatkan perekonomian di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Menurutnya, potensi geothermal di Indonesia banyak terdapat di wilayah yang jauh dari perkotaan. "Geothermal sering ditemukan di daerah terpencil. Di tempat-tempat yang jauh dari kota, bahkan dari pusat industri," ujarnya di Jakarta, Sabtu 30 Maret 2024.
Supramu menjelaskan bahwa dengan membangun fasilitas eksplorasi panas bumi tersebut, dapat memberikan dampak berkesinambungan terhadap masyarakat dan daerah sekitarnya.
Saat ini, energi panas bumi dimanfaatkan sebagai sumber pembangkit listrik yang ramah lingkungan, serta mendorong pencapaian program nol emisi karbon Indonesia pada tahun 2060.
"Dikarenakan sebagian besar geothermal terletak di daerah terpencil yang belum dijamah oleh masyarakat, dari wilayah terpencil tersebut timbul efek ekonomi yang luar biasa. Misalnya, pembangunan infrastruktur seperti jalan. Di Sumatera Selatan, kita membangun jalan sekitar 65 kilometer untuk mengakses lokasi geothermal," katanya.
Selain manfaatnya yang besar, energi panas bumi ini memiliki biaya eksplorasi yang tinggi dan risiko eksploitasi yang cukup besar.
Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan pemanfaatan geothermal, diperlukan komitmen dan dukungan besar dari pemerintah.
"Pemerintah harus memiliki kebijakan yang mendukung. Mereka harus mempertimbangkan harga geothermal, harga solar, dan berbagai jenis energi lainnya. Penting untuk melihat campuran energinya, karena setiap jenis energi memiliki keunggulan masing-masing," ungkapnya.
Sebelumnya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan bahwa potensi energi panas bumi (geothermal) di Indonesia mampu menghasilkan listrik hingga 24 gigawatt. Indonesia memiliki potensi geothermal terbesar di dunia, yakni 40 persen dari total potensi geothermal dunia.
Meskipun memiliki potensi besar, pemanfaatan energi panas bumi untuk pembangkit listrik saat ini masih kurang dari 10 persen. Pada tahun 2025, pemerintah menargetkan menghasilkan 31 gigawatt energi listrik dari sumber energi baru terbarukan (EBT).