KABARBURSA.COM - Prevalensi penyakit jiwa di Indonesia diperkirakan jauh lebih tinggi dari penyakit fisik, seperti penyakit jantung dan stroke, yang selama ini menjadi penyakit penyebab kematian tertinggi di Indonesia.
Perkiraan ini diungkapkan oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin baru-baru ini, seiring dengan meningkatnya gangguan mental di seluruh dunia, dan telah menjadi tantangan kesehatan global.
Data pasti terkait jumlah pengidap gangguan mental di Indonesia akan sulit didapat, karena pengidapnya mengalami stigma yang melekat di masyarakat, sehingga tidak melaporkan atau mencari bantuan ke fasilitas-fasilitas kesehatan setempat.
"Saya terkejut melihat banyak orang di dunia dan Indonesia yang terkena penyakit jiwa, itu lebih tinggi daripada penyakit jantung dan stroke," ujar Budi.
Menkes mengutip data dari WHO, bahwa 1 dari 8 orang dari hampir 8 miliar populasi dunia, mengidap gangguan mental.
"Jadi kalau kita di Indonesia terdapat 280 juta populasi, maka jika pakai standarnya WHO 1 banding 8, maka kurasa 30-32 juta kena mental disorder atau mental health problem," ujarnya.
Berbagai faktor ditengarai menjadi pemicu utama gangguan kesehatan mental, di antaranya faktor tekanan sosial, stres di lingkungan kerja, ketidakstabilan ekonomi, serta akses terbatas terhadap layanan kesehatan mental.
Selain itu, pemahaman dan kesadaran tentang kesehatan mental yang kurang di masyarakat diduga berkontribusi terhadap tingginya prevalensi penyakit jiwa di Indonesia.
"Paling tinggi anxiety disorder, 300 juta jiwa seluruh pengidapnya. Nomor 2, menurut ranking mental health problem di WHO, itu depression disorder sebanyak 280 juta jiwa, di bawahnya, ada gangguan anxiety," jelas Budi.
Lebih lanjut Menkes menuturkan, gangguan mental yang paling umum dialami secara global meliputi gangguan kecemasan, depresi, dan bipolar disorder.
"Nomor 3 bipolar disorder, itu 40 juta jiwa. Ada lagi yang behavioural disorder itu 40 jutaan jiwa. Ada juga yang parah, namanya skizofrenia. Itu 24 juta seluruh dunia yang mesti dirawat di rumah sakit jiwa," pungkasnya.
Oleh sebab itu, kampanye penyuluhan dan aksesibilitas terhadap layanan kesehatan mental, serta dukungan komunitas menjadi krusial dalam mengatasi gangguan mental di Indonesia.
Kesehatan Mental Menurut Undang-Undang
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, kesehatan jiwa adalah kondisi di mana individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi positif untuk komunitasnya.
Terdapat pembagian dua kelompok penderita penyakit jiwa dalam Undang-Undang tersebut, yaitu Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
ODMK adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa sedangkan ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
Perlu dipahami seluruh masyarakat, bahwa penyakit jiwa sama saja dengan penyakit fisik lainnya. Penyakit ini tidak disebabkan oleh kurang iman, azab, karma, santet, dosa turunan dan hal tidak ilmiah lainnya.
Penyakit ini disebabkan oleh faktor genetik, faktor biologis (ketidakseimbangan zat kimia otak, cedera otak), faktor psikologis (trauma akibat pelecehan, kecelakaan, isolasi sosial hingga kesepian), faktor paparan lingkungan saat dalam masa kandungan, dan faktor lingkungan lain (kehilangan keluarga, teman, pekerjaan).
Beberapa masalah kejiwaan dan gangguan jiwa yang kerap terjadi pada pekerja publik adalah depresi (mayor ataupun minor), bipolar, gangguan cemas, dan PTSD (post-traumatic stress disorder). Gangguan mental tersebut sering diabaikan oleh penderita, teman, keluarga, dan lingkungan kerja.
Hubungan Kesehatan Mental dan Perekonomian
Jurnal tentang gangguan kesehatan jiwa berjudul The Lancet Commission yang dilaporkan oleh 28 spesialis kesehatan dari berbagai negara mengatakan bahwa gangguan kesehatan jiwa mampu menguras perekonomian ekonomi global hingga USD16 triliun antara tahun 2010 hingga 2030. Mereka sepakat bahwa krisis kesehatan mental dapat membahayakan individu, komunitas, dan ekonomi di seluruh kota di dunia.
Di seluruh dunia, lebih dari 25 persen angka hidup manusia, dihabiskan dengan keadaan sakit. 10 persen dari total penyakit disebabkan oleh penyakit mental, saraf, dan penyalahgunaan obat-obatan. Terdapat biaya yang perlu dikeluarkan untuk memulihkan
Jika dunia ingin pertumbuhan ekonomi global bangkit kembali di masa pandemi, setiap negara harus mempersiapkan fisik dan mental sumber daya manusia yang dimilikinya.
Bila kesehatan fisik dan mental pekerja publik stabil dan pulih, maka pekerja publik dapat bekerja dengan memaksimalkan potensi yang dimiliki sehingga pertumbuhan ekonomi pun perlahan membaik.