KABARBURSA.COM - Hadi Subhan, pakar ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga, menilai bahwa pola asuh orang tua dapat memengaruhi anak, khususnya mengenai masa depan seperti cita-cita dalam berkarier. Dalam konteks ini, orang tua berperan memoles bakat alamiah yang dimiliki setiap anak.
"Jadi saya pernah baca satu refrensi bahwa bakat itu adalah rekrutmen dari yang maha kuasa," ujarnya kepada Kabar Bursa.
Hadi menyatakan bahwa bakat natural anak perlu dipahami secara mendalam oleh para orang tua dengan tujuan mengarahkan sang buah hati menuju hobi, cita-cita, dan bahkan karier di masa mendatang. Sayangnya, orang tua kerap memaksakan kehendaknya terhadap anak.
"Orang tua itu kadang-kadang memasukkan (anak) ke dalam hal yang diinginkan mereka, bukan disesuaikan dengan bakat si anak. Hal ini bisa menyebabkan bakat tersebut sia-sia," tuturnya.
Mengacu pada persoalan tersebut, Hadi mengutarakan bahwa anak sejatinya diarahkan oleh orang tua sebaik mungkin sehingga bakat terpendam anak dapat tersalurkan. Apabila secara berurutan hal ini dilakukan, maka anak akan dengan mudah memasuki dunia kerja. Ini menjadi krusial sebab data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa anak muda Generasi Z atau Gen Z menjadi masyarakat mayoritas yang menganggur..
Hal ini kemudian ramai menjadi perbincangan publik. Pasalnya, fakta terungkap bahwa sebanyak 9,9 juta anak muda di Indonesia dalam kategori usia 15-24 tahun tercatat sedang tidak sekolah, tidak bekerja, dan tidak mengikuti pelatihan (Not in Employment, Education, and Training/NEET).
Meski tidak sepenuhnya kegagalan anak jatuh pada orang tua, namun sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Tantan Hermansyah, mengatakan bahwa ayah dan ibu perlu memainkan perannya secara maksimal.
Akan tetapi, dia menyampaikan bisa saja peran orang tua justru membuat para anak terutama Gen Z memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap kerja.
"Kalau kerja itu mendapatkan penghasilan bagaimana jika mereka itu sebetulnya sudah mendapatkan penghasilan meskipun itu adalah subsidi full dari orang tua," jelasnya.
Tantan melihat, saat ini Gen Z memiliki orang tua yang jauh lebih mapan dibanding para orang tua yang hidup pada 20 atau 30 tahun lalu. "Jadi anak-anak dari orang tua yang mapan ini, kemudian memastikan akan mewariskan kekayaannya kepada sang anak. Para Gen Z yang menyadari potensi ini terus tidak berpikir 'ya ngapain untuk kerja lagi toh harta dari orang tua sudah cukup' tinggal mereka bertransformasi saja menjadi wirausaha," tandasnya.
Pemerintah Respons Pengangguran
Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja, Denni Puspa Purbasari, menyatakan bahwa persentase terbaru NEET di Indonesia per Februari 2024 adalah 19,3 persen, setara dengan 8,5 juta orang.
Angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan dengan Februari 2023, yang tercatat sebesar 20,48 persen atau sebanyak 9,12 juta orang. “Dibanding setahun lalu, Februari 2023, sebetulnya juga menurun 1,1 percentage point atau setara 600.000 orang yang anak mudanya sudah terentaskan dari status NEET,” kata Denni, Rabu, 22 Mei 2024.
Denni juga membandingkan data Gen Z di Indonesia yang menganggur di Indonesia dengan negara lain. Di India, persentase Gen Z atau anak muda berusia 15-24 tahun yang berstatus NEET mencapai 25,8 persen dari total jumlah penduduk berusia tersebut. Sedangkan di Brazil, persentasenya juga lebih tinggi, yaitu 21 persen.
“Jadi begini, kalau kita melihat statistik antar negara, memang untuk negara-negara berkembang dengan ukuran yang besar seperti Indonesia, angka NEET ini agak besar,” ucap Denni.
Denni menjelaskan bahwa berbagai faktor menyebabkan tingginya angka NEET di Indonesia dan negara lainnya. Salah satu penyebab utama adalah ketidakcocokan antara keterampilan yang dimiliki oleh anak muda dan kebutuhan industri atau perusahaan.
“Bisa saja skill mismatch, skill yang mereka miliki beda dengan yang dituntut perusahaan,” jelas Denni.
Selain itu, kendala biaya juga menjadi alasan utama. Banyak anak muda tidak memiliki biaya untuk melanjutkan pendidikan atau mengikuti pelatihan yang dapat meningkatkan keterampilan mereka sesuai kebutuhan pasar kerja.
“Yang kedua itu adalah mereka tidak punya uang untuk berlatih, ini yang terkait dengan not in training, dan yang ketiga atau yang satu lagi tidak sedang kuliah juga bisa karena alasannya tidak punya uang,” ujar Denni.
Indonesia Emas Tercapai?
Sementara itu Hadi meyakini bahwa Gen Z yang masuk kategori pengangguran berpotensi menjadi salah satu faktor pendorong terhambatnya rencana pemerintah mencapai Indonesia emas 2045. Ia menyampaikan alasan mengenai fenomena pengangguran Gen Z bisa memengaruhi rencana tersebut karena terdapat satu faktor penting yakni sumber daya manusia (SDM).
“Salah satunya (pengangguran Gen Z pengaruhi Indonesia emas 2045), tapi bukan satu-satunya faktor. Tapi salah satu faktor adalah tentang sumber daya manusia, kalau ini kan masalahnya kompleks,” ujarnya kepada Kabar Bursa.
Fenomena Gen Z menganggur, sambung Hadi, merupakan bagian yang sulit dihadapi pemerintah. Salah satu alasannya karena berhadapan langsung dengan banyak manusia yang tidak mudah untuk diatur.
“Ini soal manusia yang tidak gampang untuk diatur apalagi dengan negara kita yang sangat demokrasi. Tapi salah satunya konsen tentang human resources,” ujarnya.
Solusi yang pernah ditawarkan pemerintah untuk menghadapi persoalan tersebut adalah kebijakan merdeka belajar. Selain bertujuan menekan angka pengangguran, kurikulum dalam kebijakan ini memiliki tujuan menyocokan kompetensi dengan kebutuhan di lapangan kerja.
“Langkahnya sebenarnya sudah dimulai, tapi perlu diakselerasi. Misal penyesuaian kurikulum dengan kebijakan merdeka belajar, itu kan sebenarnya untuk me-match-kan antara kompetensi dengan di lapangan,” kata dia
Akan tetapi, Hadi menilai langkah tersebut perlu diakselerasi lagi dengan alasan dalam kondisi di lapangan, individu banyak dihambat oleh para stakeholder terkait dengan berbagai macam argumentasi teori.
Lebih lanjut, Hadi menyebutkan bahwa pemerintah memang sudah menawarkan solusi berikutnya melalui program pelatihan prakerja, khususnya menyasar Gen Z. Sayangnya, pemerintah tidak optimal mengerjakannya sehingga menjadi kurang efisien. Bentuknya seperti memberi orang yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) kartu tersebut, alih-alih kepada lulusan baru atau freshgraduate.
“Kita tahu waktu pandemi prakerja malah dibuat untuk orang yang terkena PHK. Sebenarnya kartu prakerja kan untuk menyiapkan orang yang mau bekerja, ini mungkin perlu direvitalisasi,” jelasnya.