KABARBURSA.COM - PT PAM Mineral Tbk (NICL) memaparkan kinerja positif, pencapaian strategis, dan rencana bisnis ke depan melalui paparan publik (public expose) di tengah penghentian sementara (suspensi) perdagangan saham oleh Bursa Efek Indonesia (BEI).
Direktur Utama PAM Mineral Ruddy Tjanaka mengungkapkan, NICL berhasil memperpanjang izin usaha pertambangan (IUP) PAM Mineral untuk periode 2025-2035. Selain itu, salah satu entitas anak perseroan, PT Indrabakti Mustika (IBM), mampu mencatat sejumlah tonggak penting termasuk penjualan dan penambangan pertama yang dimulai sejak 2019.
"Perpanjangan IUP ini menjadi landasan bagi kesinambungan operasional kami, serta mendukung strategi jangka panjang dalam optimalisasi cadangan mineral,” kata Ruddy dalam paparannya secara daring pada Senin, 19 Mei 2025.
Di tengah suspensi saham NICL tersebut, ujar Ruddy, PAM Mineral mempercepat transformasi digital dengan peluncuran sistem keselamatan pertambangan terintegrasi bernama SLAMET dan digitalisasi sistem operasional dan penguatan proses Quality Assurance & Quality Control melalui sistem SiPASTI.
"Selain itu, berbagai inisiatif pemberdayaan aset turut diperkuat, seperti optimalisasi cadangan, diversifikasi produk, hingga penambahan alat laboratorium daan peremajaan infrastruktur MHR.
Ia menjelaskan, dari sisi kinerja operasional, volume produksi dan penjualan mencatat tren naik secara konsisten sejak tahun 2021. Hingga akhir 2024, volume produksi mencapai 1,799.93 ribu ton, meningkat dari 1,798.79 ribu ton pada 2023, sementara volume penjualan mencapai 1,797.11 ribu ton.
Dari sisi keuangan,PT PAM Mineral mencatatkan pendapatan Rp1,442,49 miliar per 31 Desember 2024, tumbuh dari Rp1,141,46 miliar pada 2023. Laba kotor melonjak menjadi Rp517,26 miliar, dan laba bersih tercatat sebesar Rp318,76 miliar, atau naik lebih dari 1.000 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya Rp27,13 miliar.
Rasio profitabilitas juga memperlihatkan tren positif, dengan Gross Profit Margin (GPM) mencapai 35,86 persen Net Profit Margin (NPM) 22,10 persen, serta Return on Assets (ROA) sebesar 30,35 persen pada 2024. Total aset Perseroan tumbuh menjadi Rp1,050,11 miliar, dengan ekuitas sebesar Rp878,19 miliar.
Struktur biaya (cash cost) juga berhasil dioptimalkan, dengan komposisi terbesar berasal dari biaya penambangan 48 persen pada 2024, diikuti freight 18 persen, royalty 13 persen, konsultasi manajemen 11 persen, dan lainnya 10 persen.
Ruddy juga jelaskan kondisi tambang nikel saat ini di tengah dinamika pasar global yang menekan pasokan nikel dari berbagai negara. Menurut dia Indonesia kini berada dalam posisi strategis karena menguasai lebih dari 60 persen produksi nikel dunia.
“Penutupan tambang-tambang di negara dengan biaya produksi tinggi seperti Australia, Filipina, dan sebagian Eropa telah menyebabkan pasokan nikel global menurun. Sementara permintaan justru terus naik, terutama dari sektor kendaraan listrik dan baja nirkarat. Ini peluang besar bagi kami,” kata dia.
Perusahaan yang melantai di BEI pada 9 Juli 2021 ini menyebut perseroan telah mendapatkan perpanjangan Izin Usaha Pertambangan (IUP) hingga tahun 2035 dengan struktur kepemilikan saat ini mencatat PT PAM Metalindo sebagai pemegang saham mayoritas sebesar 43,23 persen, diikuti PT Arta Perdana Investama sebesar 28,82 persen dan publik sebesar 27,95 persen.
Dari sisi operasional, NICL mencatatkan penjualan sebesar 500 ribu ton bijih nikel dengan stripping ratio 0,4 sepanjang 2024. Sementara entitas anak usaha, PT Indrabakti Mustika, membukukan penjualan hingga 1,79 juta ton dengan stripping ratio 0,61. Hingga Maret 2025, realisasi penjualan telah mencapai 357 ribu ton atau 44,6 persen dari target RKAB 2025 sebesar 800 ribu ton.
“Awal tahun ini kami sudah merealisasikan hampir setengah dari target penjualan. Ini mencerminkan kesiapan operasional kami untuk merespons permintaan pasar yang semakin selektif terhadap nikel berkadar tinggi,” ujar Direktur Operasional, Suhartono dalam acara yang sama.
Dari sisi keuangan, kinerja Perseroan menunjukkan lonjakan signifikan. Sepanjang tahun 2024, NICL membukukan pendapatan sebesar Rp1,42 triliun atau meningkat 26,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Laba bersih tercatat sebesar Rp318,76 miliar, tumbuh lebih dari 1.000 persen dari Rp27,59 miliar di tahun 2023. Laba kotor juga melonjak menjadi Rp517,26 miliar dari sebelumnya Rp136,66 miliar.
“Peningkatan efisiensi operasional dan fokus pada penjualan bijih berkadar tinggi menjadi kunci pertumbuhan kami,” tambah Suhartono.
Aset perusahaan per akhir 2024 tercatat sebesar Rp1,05 triliun, naik 23 persen secara tahunan. Liabilitas meningkat 54,4 persen menjadi Rp847,1 miliar, sementara ekuitas mencapai Rp198,78 miliar. NICL mencatat net profit margin sebesar 22,1 persen dan debt to equity ratio yang sehat di kisaran 19,58 persen.
Untuk tahun 2025, Perseroan menargetkan produksi sebesar 809.875 ton wet metric ton (WMT) dan 1,79 juta ton untuk entitas anak. Target penjualan konsolidasi dipatok mencapai 2,6 juta ton bijih nikel, dengan kadar antara 1,3 hingga 1,65 persen.
Selain memperkuat sisi operasional, NICL juga terus mengembangkan aspek digitalisasi dan tata kelola. Perusahaan mengimplementasikan sistem kontrol tambang SIPASTI dan pembaruan algoritma life of mine, serta mengembangkan laboratorium internal GKC untuk meningkatkan akurasi kualitas produk.
“Kami juga tengah menyelesaikan studi kelayakan dan menjajaki akuisisi PT Sumber Mineral Abadi. Ini bagian dari strategi ekspansi untuk memperluas cadangan dan portofolio tambang kami,” ujar Suhartono. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.