KABARBURSA.COM – Pasar saham Asia cenderung stabil pada perdagangan Senin, 26 Mei 2025, sementara mata uang euro menguat tajam. Semua terjadi usai Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara mendadak memperpanjang tenggat pemberlakuan tarif 50 persen terhadap barang-barang dari Uni Eropa. Dari rencana awal 1 Juni, kini diperpanjang hingga 9 Juli.
Langkah ini memberi jeda baru dalam kebijakan dagang Trump yang sering kali berubah-ubah dan sulit ditebak. Dalam pernyataannya, Trump menyebut bahwa Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen meminta tambahan waktu untuk “meraih kesepakatan yang baik.”
Langkah ini juga menjadi angin segar usai aksi jual besar-besaran yang mengguncang banyak aset bulan lalu. Kala itu, Trump sempat menghentikan sementara kebijakan tarif yang dinilai bisa merusak pertumbuhan ekonomi global. Investor pun mulai menaruh harapan pada kesepakatan dagang baru setelah kesepakatan sementara dengan China dan Inggris.
Namun euforia ini tak sepenuhnya meyakinkan. Banyak analis mengingatkan bahwa kebijakan Trump masih penuh kejutan dan bisa berubah sewaktu-waktu. Bahkan, arus modal kini mulai mengalir keluar dari AS menuju Eropa dan Asia, seiring dengan meningkatnya kekhawatiran akan kemungkinan resesi di AS dan perlambatan ekonomi global.
“Pernyataan Trump dan arah kebijakan pemerintahannya tetap tak konsisten dan sukar ditebak,” tulis Commerzbank dalam catatannya, dikutip dari Reuters di Jakarta, Senin, 26 Mei 2025.
Indeks saham Asia Pasifik di luar Jepang (MSCI Asia ex-Japan) terpantau turun tipis 0,07 persen. Sementara itu, indeks futures di Eropa dan Jerman mengisyaratkan pembukaan lebih dari 1,5 persen lebih tinggi.
Di pasar mata uang, euro menguat 0,35 persen ke level USD1,1404 (sekitar Rp18.699), tertinggi sejak 29 April. Dolar Australia dan Selandia Baru yang sensitif terhadap risiko juga ikut naik, masing-masing 0,37 persen dan 0,45 persen.
Sementara itu, indeks dolar AS anjlok ke titik terendah sejak 22 April, karena pasar masih dominan dengan sentimen "Sell America"—jual aset berbasis dolar AS.
“Ini masih kisah jual dolar,” kata Christopher Wong, analis mata uang dari OCBC. “Ketidakpastian kebijakan tarif Trump dan memudarnya keistimewaan ekonomi AS, bisa terus menggerus kepercayaan pasar dalam jangka menengah.”
Volume perdagangan pada Senin cenderung sepi, karena bursa saham di AS dan Inggris tutup akibat libur nasional.
Di Jepang, indeks Nikkei naik, didorong lonjakan saham Nippon Steel sebesar 2,3 persen. Kenaikan ini terjadi usai Trump mendukung rencana akuisisi U.S. Steel senilai USD14,9 miliar (sekitar Rp244 triliun) oleh Nippon Steel.
Pasar obligasi Jepang juga jadi sorotan, terutama tenor sangat panjang, menyusul rilis data inflasi yang dinanti pekan ini. Pekan lalu, imbal hasil surat utang Jepang menyentuh rekor tertinggi.
Kekhawatiran atas melonjaknya utang negara-negara maju kembali mencuat setelah lembaga pemeringkat Moody’s menurunkan peringkat kredit Amerika Serikat. Lelang obligasi di AS dan Jepang minggu lalu juga terbilang lemah.
Sementara itu, indeks blue chip China (CSI300) turun 0,7 persen, dan Hang Seng Hong Kong melemah 1 persen. Saham-saham pemasok Apple di bursa China juga tergelincir, menyusul ancaman tarif 25 persen dari Trump terhadap seluruh iPhone impor yang dijual di AS.
Di Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka menguat, naik 17,71 poin atau setara 0,25 persen ke level 7.231,87. Sepanjang sesi, indeks sempat menyentuh level tertinggi di 7.240,08 sebelum terkoreksi hingga level terendah di 7.229,26.
Meski begitu, sebagian analis melihat data ekonomi global tampak lebih kuat dari perkiraan dan memberi sedikit kelegaan bagi pasar. Pekan ini, data inflasi dari Jerman dan Jepang, serta data konsumsi pribadi versi The Fed akan menjadi penentu arah pasar selanjutnya. Dari pasar komoditas, harga minyak mentah masih melaju naik, sementara harga emas mulai turun dari level tertinggi dalam dua pekan terakhir.(*)