KABARBURSA.COM - Penurunan pasar global pada Senin, 5 Agustus 2024 memicu ketakutan di kalangan investor, terutama karena kekhawatiran bahwa Amerika Serikat, sebagai ekonomi terbesar dunia, mungkin menghadapi resesi setelah angka pengangguran yang mengejutkan pada Juli.
Di Asia, kekhawatiran ini semakin rumit dengan keputusan Bank of Japan yang menaikkan suku bunga acuan, yang berdampak pada yen, mata uang favorit carry trade investor. Penguatan yen ini tidak disukai investor, dan kenaikan suku bunga BoJ juga mengancam pendapatan bank besar, sehingga saham-sahamnya dijual besar-besaran. Akibatnya, indeks saham Jepang jatuh lebih dari 12 persen, penurunan terbesar sejak krisis finansial global 2008.
Namun, melihat kembali ke penyebab utama dari 'Senin berdarah' ini: Apakah benar ekonomi AS akan segera memasuki resesi? Seorang ekonom terkenal, yang namanya menjadi indikator resesi, menilai bahwa AS belum mengalami resesi, tetapi sudah mendekati kondisi tersebut.
Secara teori, resesi terjadi ketika ekonomi berkontraksi atau tumbuh negatif selama dua kuartal berturut-turut, yang ditandai dengan PDB negatif, peningkatan pengangguran, dan pertumbuhan ekonomi riil negatif. Indonesia pernah mengalami resesi saat pandemi Covid-19 pada periode 2020-2021 dan juga selama krisis moneter 1997-1998.
Saat ini, ekonomi AS belum menunjukkan kontraksi, bahkan tumbuh cukup kuat pada kuartal II-2024 sebesar 2,8 persen yoy, meningkat dibandingkan kuartal I-2024 yang hanya 1,4 persen yoy. Namun, tingkat pengangguran di AS mulai meningkat, yang diduga sebagai akibat dari pengetatan kebijakan The Fed sejak 2022 untuk mengendalikan inflasi.
Tingkat pengangguran AS pada Juli tiba-tiba naik menjadi 4,3 persen dari 4,1 persen bulan sebelumnya. Sementara penciptaan lapangan kerja baru melemah dengan hanya 114.000 pekerjaan tercipta pada Juli.
Data ini memicu kekhawatiran di pasar bahwa ekonomi terbesar dunia ini mungkin sedang menuju resesi.
Claudia Sahm, ekonom terkenal AS dan pencipta 'Sahm's rule', berpendapat bahwa meskipun ekonomi AS belum berada dalam resesi, kondisinya sudah mendekati. Menurutnya, peningkatan angka pengangguran ini, berdasarkan pengalaman sebelumnya, konsisten dengan awal resesi.
Sahm, yang pernah bekerja sebagai ekonom di Federal Reserve, memprediksi bahwa The Fed mungkin akan mengkalibrasi ulang pendekatan mereka mengingat meningkatnya risiko resesi.
Angka pengangguran 4,3 persen telah mendorong rata-rata pergerakan tiga bulan tingkat pengangguran di AS melebihi titik terendah dalam 12 bulan sebesar setengah poin persentase, memicu 'Sahm's rule'. Aturan ini membantu pembuat kebijakan fiskal menentukan kapan harus melakukan stimulasi ekonomi untuk melawan resesi.
Secara keseluruhan, Sahm menilai bahwa meskipun situasi saat ini masih kuat, namun The Fed tidak perlu bertindak terburu-buru dalam merespons risiko yang meningkat. Dia menekankan pentingnya ketenangan dalam situasi seperti ini, dan menilai bahwa pendekatan lambat dan penuh pertimbangan dari The Fed adalah hal yang baik.
Sahm, yang kini menjabat sebagai Kepala Ekonom di New Century Advisors, menyatakan bahwa The Fed berada dalam posisi di mana mereka memiliki kemampuan untuk bertindak secara tepat sesuai kondisi.
Aktivitas Jasa Ekspansi
Tadi malam, Amerika melaporkan data PMI ISM nonmanufaktur yang kembali ke zona ekspansi, di luar ekspektasi pasar, setelah mengalami kontraksi terbesar dalam empat tahun terakhir. Data itu mengikis kekhawatiran tentang resesi, meski tidak sepenuhnya. Ekonomi AS nyatanya masih kuat.
Indeks jasa Institute for Supply Management (ISM) naik 2,6 poin menjadi 51,4. Angka di atas 50 mengindikasikan ekspansi, dan angka Juli sedikit lebih kuat daripada proyeksi median dalam survei Bloombergs terhadap para ekonom.
Indeks ini didorong oleh rebound pada lapangan kerja jasa, pesanan, dan aktivitas bisnis yang menunjukkan bahwa bagian terbesar dari ekonomi tumbuh dengan laju yang moderat.
"Pada akhirnya, rebound pada indeks jasa ISM di Juli hampir tidak konsisten dengan ekonomi atau pasar tenaga kerja yang jatuh ke dalam jurang, seperti yang dikhawatirkan oleh banyak orang," kata Stephen Brown, wakil kepala ekonom Amerika Utara di Capital Economics dalam catatannya.
Indeks PMI employment nonmanufaktur juga rebound ke 51,10, melampaui perkiraan pasar yang memprediksi di angka 46,40. "Rilis data ini menjadi pukulan terhadap spekulasi emergency Fed rate cut, dan menyebabkan pasar US Treasury bergerak datar pada Senin," kata Lionel Prayadi, Macro Strategist Mega Capital Sekuritas.
Sinyal Saham Siklikal
Hal lain yang bisa menjadi penanda bahwa mungkin ketakutan terhadap resesi AS itu berlebihan adalah pergerakan saham-saham siklikal. Bila melihat kinerja saham-saham tersebut, ketakutan terhadap resesi mungkin berlebihan.
Stanley Druckemiller pernah menyebut saham siklikal adalah ekonom terbaik. Pada Desember 2018, dia menggarisbawahi penjualan besar-besaran saham-saham siklikal seperti saham otomotif, home builder, bank dan ritel sebagai sinyal peringatan bahwa The Fed mungkin melakukan pengetatan yang berlebihan. Tidak lama setelah itu, The Fed berbalik arah dan mengakhiri siklus pengetatannya.
Saat ini, melansir BloombergInternational, sektor saham siklikal telah jatuh dari level tertinggi akan tetapi sejauh ini masih jauh dari situasi penuh tekanan. Saham pembangun rumah misalnya, naik 16 persen tahun ini, sedang saham perbankan di AS naik 8 persen.
Aksi jual besar-besaran di pasar saham belakangan telah memperketat kondisi keuangan. The Fed dinilai bisa merespon situasi itu dengan menurunkan bunga acuan lebih cepat agar risiko resesi bisa dikurangi.
Selain itu bila melihat lebih jauh lagi ke data pasar tenaga kerja, menurut kajian Bahana Sekuritas, penambahan tenaga kerja pada Juli yang direvisi lebih rendah menjadi 114.000 pekerjaan bukanlah hal yang buruk.
"Perlu dicatat, tidak ada resesi di AS bahkan ketika nonfarm payroll tercatat di bawah 100.000 pekerjaan pada 2012, 2013 dan 2015 lalu 2016 dan 2017, dan juga pada 2018-2019 ketika tingkat bunga The Fed disebut terlalu tinggi dan terlalu hawkish," jelas Satria.
Selain itu, angka aktual nonfarm payroll pada April-Juni juga hanya direvisi lebih rendah sebesar 27.000-67.000, dengan angka Maret direvisi lebih tinggi, menurut Satria, adalah indikasi pasar tenaga kerja AS masih menguat.
"Pandangan kami, inflasi dagang belum berhenti karena AS akan memompa uang lebih banyak demi menstimulasi ekonomi jelang Pemilu November. Aksi jual pasar belakangan ini mungkin karena faktor Jepang dengan yen sebagai valuta carry trade ketimbang akibat isu resesi AS. Situasi itu memberikan peluang bagus untuk mengumpulkan saham-saham komoditas yang berpeluang mendapat manfaat dari permintaan global yang bertahan," jelas Satria.
Potensi Meningkat
Sebelumnya, ekonom Goldman Sachs Group Inc menaikkan kemungkinan resesi AS tahun depan menjadi 25 persen dari sebelumnya 15 persen. Namun, mereka mengatakan ada beberapa alasan untuk tidak terlalu khawatir tentang penurunan ekonomi bahkan setelah tingkat pengangguran naik.
"Kami terus melihat risiko resesi terbatas," kata ekonom Goldman yang dipimpin oleh Jan Hatzius dalam sebuah laporan kepada klien.
Ekonomi terus terlihat "baik-baik saja secara keseluruhan." Tidak ada ketidakseimbangan keuangan yang besar, dan bank sentral AS memiliki ruang yang cukup untuk memangkas suku bunga dan dapat melakukannya dengan cepat jika diperlukan, kata mereka. (*)