KABARBURSA.COM – Bursa saham Asia bergerak naik pada Rabu, 5 Maret 2025, meskipun Wall Street masih mengalami tekanan akibat tarif impor tinggi yang mulai berlaku pada Selasa untuk Kanada, Meksiko, dan China.
Komentar Presiden AS Donald Trump dalam pidatonya di Kongres tidak memberikan dampak besar bagi pasar global. Kontrak berjangka S&P 500 naik 0,5 persen, sementara Dow Jones menguat 0,4 persen.
Sementara itu, China mengumumkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 tetap di kisaran 5 persen, sejalan dengan target tahun lalu. Dalam sesi pembukaan parlemen tahunan, Perdana Menteri Li Qiang menjanjikan peningkatan belanja pemerintah dan stimulus lainnya untuk menjaga momentum ekonomi.
Dilansir dari AP di Jakarta, Rabu, di bursa Asia, Hang Seng Hong Kong melonjak 2,6 persen ke 23.548,86, sedangkan Shanghai Composite naik 0,6 persen ke 3.342,36. Di Tokyo, Nikkei 225 menguat 0,2 persen ke 37.418,24, sementara Kospi Korea Selatan naik 1,2 persen ke 2.558,13. ASX 200 Australia justru terkoreksi 1,2 persen ke 8.141,10.
Di Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali mencatatkan penguatan pada perdagangan Rabu, 5 Maret 2025. Indeks dibuka naik 33,58 poin atau 0,53 persen ke level 6.413,98. Sepanjang sesi awal perdagangan, IHSG sempat menyentuh level tertinggi di 6.415,90 sebelum mengalami koreksi ke level terendah 6.380,40.
Di sisi lain, pasar saham AS kembali melemah pada Selasa setelah perang dagang antara Washington dan mitra dagangnya semakin memanas.
Pemerintahan Trump resmi menerapkan tarif 25 persen untuk impor dari Kanada dan Meksiko, serta menaikkan tarif terhadap barang dari China menjadi 20 persen. Ketiga negara langsung merespons dengan tindakan balasan, memicu kekhawatiran perlambatan ekonomi global.
Indeks S&P 500 turun 1,2 persen ke 5.778,15, dengan lebih dari 80 persen saham di dalamnya ditutup merah. Dow Jones jatuh 1,6 persen ke 42.520,99, sementara Nasdaq turun 0,4 persen ke 18.285,16. Indeks teknologi ini bahkan sempat mengalami koreksi teknikal 10 persen dari level tertingginya, sebelum akhirnya tertolong oleh kenaikan saham Nvidia, Microsoft, dan raksasa teknologi lainnya.
Sektor perbankan menjadi salah satu beban terbesar bagi S&P 500. JPMorgan Chase anjlok 4 persen, sementara Bank of America jatuh 6,3 persen.
Pasar mungkin akan menghadapi babak baru dalam drama tarif perdagangan. Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick mengatakan dalam wawancara dengan Fox Business News bahwa AS kemungkinan akan mencari jalan tengah dengan Kanada dan Meksiko perihal tarif. Pengumuman resmi diperkirakan bisa keluar secepatnya pada Rabu.
Reli pasar saham yang terjadi setelah kemenangan Donald Trump pada November lalu didorong oleh harapan bahwa kebijakan pemerintahannya akan menguatkan ekonomi dan bisnis AS. Namun, ketegangan dagang dan ancaman kenaikan inflasi akibat lonjakan harga barang impor kini mulai membebani sentimen investor.
Tarif AS Picu Aksi Balasan, Saham Ritel Anjlok
Dampak dari kenaikan tarif AS mulai terasa di sektor ritel. Sejumlah perusahaan besar memperingatkan bahwa kebijakan ini akan menekan margin keuntungan, seiring laporan keuangan terbaru mereka yang dirilis.
Saham Target turun 3 persen, meskipun hasil keuangannya melampaui ekspektasi analis. Perusahaan menyatakan akan menghadapi tekanan signifikan terhadap laba di awal tahun akibat tarif impor dan biaya lain yang meningkat.
Situasi lebih buruk dialami oleh Best Buy, yang anjlok 13,3 persen—menjadi saham dengan penurunan terbesar di S&P 500. Perusahaan memberikan proyeksi laba yang lebih lemah dari perkiraan, serta memperingatkan bahwa tarif impor akan semakin membebani bisnis mereka.
Kekhawatiran soal laba perusahaan ritel ini terjadi di tengah serangkaian indikator ekonomi yang kurang menggembirakan. Laporan terbaru menunjukkan rumah tangga di AS semakin pesimistis terhadap inflasi, menyebabkan penurunan dalam pengeluaran konsumen.
Padahal, belanja konsumen selama ini menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi AS, bahkan di tengah suku bunga tinggi yang diberlakukan oleh Federal Reserve. Jika tren penurunan konsumsi ini berlanjut, dampaknya bisa lebih luas bagi perekonomian.
Tidak butuh waktu lama bagi mitra dagang AS untuk merespons. China langsung mengumumkan tarif tambahan hingga 15 persen untuk berbagai produk pertanian AS, termasuk ayam, daging babi, kedelai, dan sapi. Selain itu, Beijing juga memperketat aturan bagi perusahaan AS yang ingin berbisnis di China.
Kanada merencanakan tarif balasan senilai lebih dari USD100 miliar terhadap produk impor AS dalam 21 hari ke depan. Sementara itu, Meksiko juga sedang menyiapkan tarif baru untuk barang-barang AS yang masuk ke negaranya.
Ketegangan perdagangan ini turut mengguncang pasar komoditas dan mata uang. Minyak mentah AS (WTI) turun 52 sen ke USD67,74 per barel, sementara minyak Brent yang menjadi patokan global terkoreksi 18 sen ke USD70,86 per barel.
Di pasar mata uang, dolar AS melemah terhadap yen Jepang ke 149,78 dari 149,82, sementara euro turun tipis ke USD1,0607 dari USD1,0626. Di sisi lain, pasar kripto tetap bergerak volatil. Bitcoin diperdagangkan di sekitar USD87.700 (Rp1,44 miliar) menurut data CoinDesk.(*)
Pasar Saham Asia Menguat saat Wall Street Loyo
Bursa saham Asia bergerak naik pada Rabu, 5 Maret 2025, meskipun Wall Street masih mengalami tekanan akibat tarif dagang AS.
