KABARBURSA.COM-Pasar valuta asing kembali menjadi sorotan tajam. Di saat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di level Rp16.555, lonjakan volume pada kontrak Non-Delivery Forward (NDF) justru memunculkan tanda tanya besar: siapa yang sebenarnya diuntungkan, dan siapa yang membayar biaya moneter dari mekanisme ini?
Pengamat ekonomi Yanuar Rizky mengungkap fenomena menarik yang terjadi di pasar derivatif rupiah, khususnya pada instrumen NDF. Menurutnya, permainan harga di pasar ini bukan sekadar teknikal, melainkan juga menyimpan potensi arbitrase yang ditanggung oleh negara.
Ia menjelaskan bahwa dinamika bid dan ask di pasar forward menunjukkan adanya "inisiator" yang secara aktif menggerakkan harga. "Harga kalau naik, ada bid inisiator. Harga kalau turun, ada ask inisiator," ujar Yanuar kepada KabarBursa.com di Jakarta, Minggu 6 April 2025.
Untuk diketahui, spot USD/IDR saat ini tercatat di level Rp16.555, sementara kontrak NDF (non-delivery forward) dalam tenor 1 tahun mencerminkan nilai sekitar Rp17.000 per dolar AS dengan mid price sebesar 290 poin. Selisih antara kurs spot dan NDF ini menurut Yanuar membuka peluang arbitrase yang cukup signifikan bagi pelaku pasar.
"Barang NDF jelas akan untung kalau dapat arbitrase dengan spot," kata Yanuar.
Fenomena ini mengindikasikan bahwa para pelaku pasar yang memegang posisi NDF memiliki insentif kuat untuk mendorong harga spot mendekati level NDF.
“Jadi, spot begitu buka besok, ya pasti akan ada yang pancing ke angka NDF,” tambahnya.
Namun, Yanuar menyoroti intervensi Bank Indonesia (BI) yang kerap hadir dalam momen seperti ini untuk menjaga stabilitas rupiah. Jika BI melepas dolar dengan harga di bawah nilai NDF, misalnya di level Rp16.500, maka para pemegang kontrak NDF akan mendapat pasokan dolar untuk menyelesaikan kontraknya, dengan keuntungan besar di tangan mereka.
Bayangkan skenarionya: begitu pasar spot dibuka, harga dipancing naik mendekati angka NDF. Tapi kemudian BI masuk, melempar dolar dan menekan spot ke Rp16.500. Maka para pemegang kontrak NDF yang dijanjikan nilai tukar Rp17.000 akan memperoleh dolar dari BI untuk menyelesaikan posisi mereka. Mereka untung 500 poin. Tapi siapa yang menanggung 500 poin itu? BI alias biaya moneter negara.
"Yang di NDF akan dapat USD yang dilepas BI untuk dia selesaikan NDF-nya, untung dia 500 poin yang biayain BI," kata Yanuar. "Ya, permainan psikologis selalu ada, tapi siapa yang diuntungkan juga dari biaya moneter, kan itu realita."
Menariknya lagi Yanuar mencermati bahwa aktivitas di kontrak overnight NDF cukup ramai, sementara volume di pasar spot justru tipis. Ini menunjukkan bahwa spekulasi jangka sangat pendek sedang tinggi-tingginya, tapi tidak diimbangi oleh likuiditas riil.
"Yang pasang overnight NDF rame, spot-nya tipis," tandasnya.
Untuk diketahui, berdasarkan data forward rate USD/IDR per 4 April 2025 menunjukkan bahwa kontrak overnight NDF mencatat bid sebesar 21 poindan ask sebesar 23 poin, dengan mid price di level 22 poin. Angka ini menjadi yang tertinggi di antara tenor pendek lainnya, seperti kontrak tomorrow next dan spot forward, yang masing-masing hanya berada di kisaran 1–2 poin.
Kontrak dengan tenor lebih panjang juga mencatat angka yang cukup signifikan. Kontrak 1 tahun misalnya, memiliki mid price sebesar 290 poin, sementara kontrak 2 tahun tercatat di angka 855 poin.
Meskipun demikian, aktivitas terlihat lebih menonjol pada tenor pendek, terutama kontrak overnight, sementara pasar spot menunjukkan volume yang lebih tipis.
Kebijakan Tarif Resiprokal
Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menggebrak panggung ekonomi global. Kali ini bukan lewat perang kata-kata, melainkan lewat daftar panjang tarif baru yang disodorkan ke dunia. Dari China hingga Indonesia, puluhan negara ditetapkan sebagai target kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan Trump dalam pidatonya di Rose Garden, Gedung Putih.
Trump menyebut kebijakan ini sebagai upaya mengembalikan keadilan dalam perdagangan internasional. “Negara kita telah dijarah, dirampok, diperkosa, dan dijadikan korban dalam sistem dagang global yang timpang,” kata Trump dalam pidatonya.
China, sebagai eksportir terbesar ke Amerika, ditetapkan mendapat tarif sebesar 34 persen. Vietnam menyusul dengan 46 persen. Indonesia tak luput dari daftar, dikenakan tarif sebesar 32 persen—angka yang jauh lebih tinggi dibanding tarif normal yang sebelumnya berkisar di bawah 5 persen. Bagi Indonesia, kebijakan ini bukan hanya ancaman terhadap neraca perdagangan, melainkan juga terhadap stabilitas makroekonomi nasional.
Menanggapi situasi ini, Bank Indonesia (BI) langsung mengambil langkah antisipasi dengan memantau ketat pergerakan pasar valas dan memastikan stabilitas rupiah tetap terjaga. Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso menegaskan kesiapan institusinya untuk intervensi pasar valas.
“BI tetap berkomitmen untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, terutama melalui optimalisasi instrumen triple intervention (intervensi di pasar valas pada transaksi spot dan DNDF, serta SBN di pasar sekunder) dalam rangka memastikan kecukupan likuiditas valas untuk kebutuhan perbankan dan dunia usaha serta menjaga keyakinan pelaku pasar,” ungkap Ramdan dalam keterangan resminya di Jakarta, Sabtu 5 April 2025.
Pasar Global Alami Gejolak
Pasca pengumuman tarif oleh Trump yang kemudian direspons dengan retaliasi dari Tiongkok pada 4 April 2025, pasar keuangan global mengalami gejolak signifikan. Ramdan mengatakan, berdasarkan pantauan BI, Indeks saham global merosot tajam, sementara yield US Treasury turun ke titik terendah sejak Oktober 2024.
Menurut Ramdan, fenomena ini mempertegas dampak kebijakan unilateral terhadap kestabilan ekonomi global, dan Indonesia sebagai bagian dari rantai pasok internasional tentu tidak luput dari implikasinya.
Dalam jangka pendek, volatilitas nilai tukar dan tekanan terhadap cadangan devisa menjadi dua risiko utama yang harus diantisipasi. Di sinilah relevansi strategi intervensi Bank Indonesia diuji. Triple intervention menjadi senjata utama, tetapi efektivitasnya sangat bergantung pada koordinasi lintas sektor, khususnya dengan Kementerian Keuangan dan pelaku industri.
Tak hanya fokus pada dampak langsung terhadap rupiah, Dewan Ekonomi Nasional (DEN) juga memberi peringatan terkait potensi risiko lain, seperti limpahan barang ekspor dari negara-negara yang gagal masuk ke pasar Amerika, yang bisa membanjiri pasar domestik Indonesia. Tanpa mekanisme perlindungan yang kuat, banjir produk impor ini dapat menekan industri manufaktur nasional dan memicu deindustrialisasi.
Diberitakan kabarbursa.com sebelumnya, DEN menyarankan agar pemerintah segera menjalankan reformasi struktural untuk menarik investasi baru, memperkuat daya saing ekspor, dan mempercepat perundingan perdagangan strategis seperti Indonesia–European Union CEPA. Selain itu, penerapan kebijakan non-tarif berbasis kualitas dan standar keberlanjutan juga menjadi solusi yang diusulkan untuk melindungi industri dalam negeri.(*)