Logo
>

Pelaku Pasar Pesimis, Rupiah Ditutup Loyo

Pengamat mata uang Ibrahim Assuaibi mengatakan pelaku pasar pesimistis terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen pada 2029.

Ditulis oleh Hutama Prayoga
Pelaku Pasar Pesimis, Rupiah Ditutup Loyo
Rupiah masih lemah terhadap Dolar AS. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji

Poin Penting :

    KABABURSA.COM - Nilai tukar rupiah ditutup melemah sebesar 26 poin ke level Rp16.855,5 terhadap dolar AS pada perdagangan Senin, 28 April 2025. Pelemahan rupiah ini terjadi di tengah pesimistis pasar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

    Pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi mengatakan pelaku pasar pesimistis terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen pada 2029.

    "Menjadi makin sulit tercapai bila ekonomi Indonesia tumbuh di bawah 5 persen tahun ini, sesuai dengan proyeksi lembaga internasional," ujar dia dalam keterangan tertulisnya, Senin, 28 April 2025.

    Karenanya, Ibrahim memandang Indonesia harus mampu menaikkan laju pertumbuhan secara konsisten setiap tahun, dengan rata-rata pertumbuhan tahunan mencapai sekitar 6,76 persen selama periode 2026 hingga 2029 untuk mencapai target tersebut. 

    Menurutnya,  pemerintah perlu melakukan akselerasi yang terencana dalam meningkatkan investasi, memperluas ekspor ke pasar nontradisional, serta mempercepat transformasi sektor manufaktur dan digital.

    "Selain itu, Indonesia harus menjaga stabilitas ekonomi makro dengan memperkuat disiplin fiskal, mengelola utang secara hati-hati, dan memperluas basis pajak agar mampu membiayai program-program prioritas secara berkelanjutan," jelasnya. 

    Jika terwujud, Ibrahim memperkirakan pertumbuhan ekonomi  sebesar 4,7 persen pada 2025 dan 2026 dan akan menjadi yang paling rendah setelah 2021. 

    "Kala itu, pertumbuhan ekonomi Tanah Air tumbuh 3,69 secara kumulatif," pungkasnya. 

    Adapun  untuk perdagangan besok, Ibrahim memprediksi mata uang rupiah bergerak fluktuatif namun ditutup melemah direntang  Rp16.840 - Rp16.900.

    Ekonom Ingatkan Fungsi Moneter Jangan Hanya Stabilkan Rupiah

    Bank Indonesia (BI) terus memperkuat operasi moneternya dengan pendekatan absorptif, menyerap likuiditas dari perekonomian melalui berbagai instrumen, terutama Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

    Menurut data hingga 31 Maret 2025, posisi operasi moneter bersifat absorpsi mencapai Rp922,58 triliun, dengan SRBI mendominasi sebesar Rp891,13 triliun.

    Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menyoroti bahwa kecenderungan kebijakan moneter BI selama lebih dari dua dekade terakhir memang lebih banyak didominasi oleh pendekatan yang menyerap likuiditas.

    Ia menilai bahwa hal ini tercermin dari nilai neto operasi moneter yang terus bersifat absorptif, serta jumlah instrumen penyerap yang lebih banyak dibandingkan dengan yang bersifat injeksi.

    "Terlihat dari nilai neto operasi moneter bersifat absorpsi, dan didukung oleh lebih banyaknya instrumen dibanding yang bersifat injeksi," terang dia dalam keterangannya di Jakarta, Rabu 16 April 2025.

    Ia mencatat bahwa tren tersebut tidak hanya terjadi dalam jangka panjang, tetapi juga semakin menguat dalam lima tahun terakhir. Pada akhir 2019, posisi operasi moneter yang menyerap likuiditas tercatat sebesar Rp297,49 triliun. 

    Namun angka ini melonjak hampir tiga kali lipat menjadi Rp945,56 triliun di akhir 2024. Hingga 31 Maret 2025, posisinya tetap tinggi, yakni Rp922,58 triliun.

    "Kondisi terkini pun masih berposisi absorpsi yang bernilai besar, mencapai Rp922,58 triliun per 31 Maret 2025," tambahnya.

    Dia mengatakan sejumlah instrumen moneter yang dulu digunakan kini tidak lagi beroperasi atau memiliki nilai yang sangat kecil. Di sisi lain, instrumen seperti SRBI justru tumbuh menjadi tumpuan utama kebijakan moneter BI. Popularitas SRBI pun meningkat, bahkan berhasil menarik minat investor asing yang kini menguasai sekitar 25 persen dari total kepemilikan.

    SRBI sendiri merupakan surat berharga jangka pendek berdenominasi rupiah yang diterbitkan BI dengan underlying asset berupa surat berharga milik BI. Saat ini SRBI beredar dengan tenor 6, 9, dan 12 bulan.

    Namun, meskipun SRBI dinilai cukup efektif dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, Awalil menilai ada risiko jika BI terlalu bertumpu pada strategi absorpsi. Ia mengingatkan bahwa kebijakan moneter seharusnya tidak hanya berfokus pada upaya stabilisasi, tetapi juga harus mampu menjadi motor penggerak pemulihan dan pertumbuhan ekonomi.

    Menurutnya, keseimbangan antara instrumen yang menyerap dan menginjeksi likuiditas sangat penting dijaga agar fungsi moneter tetap relevan dalam menjawab tantangan perekonomian ke depan. 

    Ia menyebut bahwa BI perlu mengkaji ulang orientasi kebijakan yang terlalu menekankan pada stabilitas, agar tidak mengorbankan peluang untuk memperkuat sektor riil dan menciptakan lapangan kerja.

    “Bank Indonesia semestinya tetap menjaga keseimbangan antara instrumen yang menyerap dan yang menginjeksi likuiditas, agar fungsi moneter tidak hanya stabilisasi, tapi juga mendukung pemulihan dan pertumbuhan ekonomi,” terangnya Awalil.

    Lebih jauh, Awalil juga menyoroti narasi kebijakan BI yang selama ini kerap menjadikan inflasi dan stabilitas keuangan sebagai landasan utama dari setiap keputusan operasi moneter. 

    Menurutnya, narasi semacam itu memang bisa dianggap menjadi salah satu faktor keberhasilan dalam menekan inflasi dalam beberapa tahun terakhir.

    "Dari berbagai narasi kebijakan Bank Indonesia, alasan utama operasi moneter adalah menjaga tingkat inflasi. Biasa pula ditekankan menjaga faktor stabilitas kondisi keuangan. Dengan demikian bisa ditafsirkan, kebijakan ini merupakan salah satu penyebab rendahnya inflasi selama beberapa tahun terakhir," jelas dia.

    Namun, ia menilai bahwa fokus yang terlalu sempit pada stabilitas justru berisiko mengabaikan kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, ia menilai bahwa bank-bank cenderung menjadi lebih pasif dalam menyalurkan kredit ke sektor riil, karena terlalu mengandalkan instrumen likuiditas dari BI.

    "Kebijakan ini yang membuat bank menjadi malas menyalurkan ke sektor riil," ujar dia.

    EM Asia Ikut Melemah

    Mata uang di pasar negara berkembang Asia diperdagangkan dalam tren melemah terhadap dolar Amerika Serikat pada perdagangan hari ini. Pergerakan ini mencerminkan sikap hati-hati para investor global yang masih menunggu kejelasan lebih lanjut mengenai arah negosiasi perdagangan antara Amerika Serikat dan China.

    Meskipun Presiden AS Donald Trump baru-baru ini menyatakan adanya kemajuan dalam dialog dagang dengan Beijing serta dengan negara-negara lain, sejauh ini belum terdapat bukti konkret yang memperkuat klaim tersebut. Situasi ini membuat pelaku pasar cenderung mengambil sikap wait and see sambil mencari sinyal baru terkait arah kebijakan perdagangan kedua negara adidaya tersebut.

    Tambahan ketidakpastian datang setelah pernyataan dari Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, yang pada Minggu kemarin membantah klaim Presiden Trump. Bessent menegaskan bahwa pembicaraan tarif formal antara Amerika Serikat dan China belum benar-benar dimulai, menimbulkan keraguan di kalangan investor tentang prospek pencapaian kesepakatan dalam waktu dekat.

    Di tengah ketidakpastian tersebut, sejumlah mata uang Asia mengalami tekanan jual. Peso Filipina tercatat melemah sebesar 0,3 persen, sementara won Korea Selatan turun 0,4 persen. Rupiah Indonesia juga mencatatkan penurunan sebesar 0,2 persen terhadap dolar AS.

    Sementara itu, pergerakan di mata uang regional lainnya seperti ringgit Malaysia dan dolar Singapura terpantau lebih stabil. Kedua mata uang tersebut diperdagangkan relatif datar, seiring sikap pelaku pasar yang tetap waspada dan menahan diri dari mengambil posisi besar sebelum ada perkembangan baru dari sektor eksternal.

    Ketegangan yang masih membayangi hubungan dagang AS-China terus menjadi faktor utama yang membentuk sentimen di pasar keuangan Asia. Para investor kini mengalihkan perhatian mereka ke pernyataan atau kebijakan selanjutnya dari kedua belah pihak, yang akan sangat menentukan arah pergerakan aset-aset berisiko di kawasan dalam waktu dekat.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Hutama Prayoga

    Hutama Prayoga telah meniti karier di dunia jurnalistik sejak 2019. Pada 2024, pria yang akrab disapa Yoga ini mulai fokus di desk ekonomi dan kini bertanggung jawab dalam peliputan berita seputar pasar modal.

    Sebagai jurnalis, Yoga berkomitmen untuk menyajikan berita akurat, berimbang, dan berbasis data yang dihimpun dengan cermat. Prinsip jurnalistik yang dipegang memastikan bahwa setiap informasi yang disajikan tidak hanya faktual tetapi juga relevan bagi pembaca.