KABARBURSA.COM - Para pelaku usaha pariwisata dan ekonomi kreatif diharapkan untuk dapat melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Untuk mengimplementasikan itu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) bekerjasama dengan PT. Samuel Sekuritas Indonesia untuk memperkuat indeks saham di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif Indonesia.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno, mengatakan kolaborasi ini bertujuan untuk mengedukasi pemangku kepentingan parekraf terkait investasi di sektor parekraf yang ada di Bursa Efek Indonesia.
"Maka melalui kerja sama dengan Samuel Sekuritas ini bisa kita arahkan sehingga ada masukan, nasehat, atau semacamnya agar mereka bisa mengakses pasar modal, kami juga ada Direktorat Akses Pembiayaan yang akan menindaklanjuti kerja sama ini," kata Sandiaga.
Ruang lingkup kesepahaman bersama meliputi pembentukan daftar emiten pariwisata dan ekonomi kreatif, pembahasan emiten pariwisata dan ekonomi kreatif, peluang emiten pariwisata dan ekonomi kreatif di pasar modal, dan kerja sama atau kegiatan lain sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing pihak.
Sandiaga berharap, kerja sama yang terjalin ini bisa meningkatkan investasi di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif guna mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Kerja sama ini juga diharapkan bisa mengakselerasi para pelaku usaha pariwisata dan ekonomi kreatif untuk dapat melantai di Bursa Efek Indonesia dengan skema penawaran umum perdana atau yang lebih dikenal dengan nama Initial Public Offering (IPO).
Beberapa waktu lalu Sandiaga menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan lebih banyak investasi di sektor pariwisata untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan.
Dalam Forum Internasional Investasi Pariwisata 2024 yang berlangsung di Jakarta pada Rabu, 5 Juni 2024, Sandiaga menyampaikan data yang menunjukkan realisasi investasi di sektor pariwisata pada tahun 2023 sebesar USD3.604 juta atau sekitar Rp58,64 triliun.
Namun, ia mencatat bahwa 80 persen dari investasi tersebut terkonsentrasi pada hotel berbintang, restoran, kafe, serta pusat kebugaran.
Pada kuartal pertama 2024, realisasi investasi di sektor pariwisata mencapai USD943,40 juta (sekitar Rp15,35 triliun) dari target USD3.000 juta (sekitar Rp48,91 triliun).
Investasi tersebut sebagian besar dialokasikan pada hotel berbintang, restoran, dan hotel apartemen.
“Kita butuh lebih banyak investasi di ekosistem, termasuk pengembangan produk pariwisata berkelanjutan dan pariwisata berbasis masyarakat yang inklusif,” kata Sandiaga.
Ia menambahkan bahwa Indonesia membutuhkan investasi lebih dari USD15 miliar hingga USD20 miliar untuk mendukung pariwisata berkelanjutan.
Menparekraf Sandiaga juga optimistis bahwa Forum Internasional Investasi Pariwisata (ITIF) 2024 dapat menarik lebih banyak investor dari dalam dan luar negeri untuk berinvestasi di sektor pariwisata Indonesia.
Ia menekankan bahwa investasi tidak hanya diperlukan untuk hotel, restoran, dan kafe, tetapi juga untuk infrastruktur pendukung pariwisata.
Indonesia telah diakui sebagai destinasi wisata ramah Muslim terbaik di dunia oleh Global Muslim Travel Index (GMTI) pada tahun 2023 dan 2024.
Selain itu, posisi Indonesia dalam Indeks Pengembangan Pariwisata 2024 meningkat signifikan dari peringkat ke-32 ke peringkat ke-22.
“Kami percaya bahwa kita bisa menciptakan tiga kali lebih banyak investasi di sektor-sektor ini,” pungkas Sandiaga.
Pendapatan Sektor Pariwisata
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) telah menunjukkan kinerja yang buruk sepanjang tahun 2024 ini, mengalami pelemahan sebesar 4,21 persen dibandingkan dengan akhir tahun sebelumnya.
Volatilitas dan pelemahan mata uang ini memiliki dampak yang serius karena dapat mempengaruhi seluruh ekonomi.
Bahkan dalam kasus yang paling buruk, krisis ekonomi sering kali dipicu oleh penurunan nilai tukar. Sejarah mencatat krisis moneter terburuk Indonesia pada tahun 1997 yang memicu Gerakan Reformasi 1998 dan pengunduran diri Soeharto, Presiden terlama dalam sejarah republik.
Dua puluh lima tahun setelah krisis tersebut, perekonomian Indonesia telah mengalami banyak perubahan. Namun, ancaman pelemahan nilai tukar dan ketakutan akan kejatuhan nilai yang bisa memicu krisis besar masih menghantui, menuntut perbaikan yang lebih mendasar dalam struktur ekonomi Indonesia agar kerentanan rupiah tidak berlanjut.
Rupiah membutuhkan dukungan yang lebih besar dari dalam negeri agar tidak rentan terhadap goncangan setiap kali sentimen pasar global berubah-ubah.
Indonesia memiliki potensi untuk meningkatkan pendapatan devisa dari sektor pariwisata dan harus serius memperluas sektor ekonomi lainnya untuk menarik devisa di luar sektor tambang dan sumber daya alam.
Bulan lalu, rupiah kembali melemah dan mencapai level terlemahnya di Rp16.260/USD, yang merupakan nilai terendah sejak krisis akibat pandemi Covid-19 pada tahun 2020 lalu ketika rupiah turun ke Rp16.575/USD. Bank Indonesia akhirnya meningkatkan suku bunga acuannya, BI rate, menjadi 6,25 persen, level tertinggi sejak benchmark tersebut diperkenalkan pada tahun 2016. Meskipun demikian, pada penutupan perdagangan terakhir pekan ini, rupiah masih bertahan di Rp16.046/USD.