KABARBURSA.COM - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan bahwa pemerintah menyediakan dana sebesar Rp12,4 miliar sebagai subsidi air bersih untuk mempercepat ketersediaan air minum. Pernyataan ini disampaikan oleh Bendahara Negara saat acara High Level Panel di World Water Forum ke-10 yang bertemakan 'Air untuk Kesejahteraan Bersama' di Bali.
"Salah satu komitmen pemerintah Indonesia dalam mengatasi permasalahan ini adalah terus membangun jembatan dan memperluas akses terhadap air bersih dan sanitasi," ujar Sri Mulyani, Rabu, 22 Mei 2024.
Dia menjelaskan, akses air minum yang aman dan sanitasi sebagai hak asasi mendasar manusia merupakan hal yang sangat penting. Banyak studi empiris yang menunjukkan dampak langsung air bagi kesejahteraan bersama, utamanya bagi kesehatan, pendapatan, perdamaian, kohesi sosial, dan keberlanjutan lingkungan.
"Tahun 2020, dunia mengalokasikan USD8,7 miliar untuk mengembangkan bantuan air dan sanitasi," sebut Sri Mulyani.
Menurut dia, krisis air dunia menuntut strategi finansial yang matang dan berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goals, investasi yang masih sangat dibutuhkan.
Untung menyelesaikan masalah tersebut, lanjut dia, kebijakan fiskal menjadi kunci. Bagian signifikan dari anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN) dialokasikan untuk membangun dan memperbarui fasilitas pengairan dan sanitasi. Ini termasuk meningkatkan kapasitas pemerintah daerah melalui desentralisasi fiskal supaya lebih tepat guna dalam mengalokasikan sumber dayanya.
Tahun 2024, pemerintah meningkatkan komitmen finansialnya secara signifikan untuk meningkatkan kualitas infrastruktur air dan sanitasi. Rp423,4 triliun didedikasikan untuk infrastruktur, termasuk air bersih, sanitasi, dan mitigasi dampak perubahan iklim.
"Kita hanya memiliki satu dunia. Ini bukan hanya tanggung jawab saya atau tanggung jawab Indonesia saja. Namun, ini adalah tanggung jawab bersama untuk menjaga dan merawatnya," kata Sri Mulyani.
Krisis Air Bersih
Bank Dunia mengungkapkan bahwa lebih dari dua miliar orang di seluruh dunia masih kekurangan akses terhadap air minum yang aman. Akses terhadap air minum yang aman dan sanitasi sangat penting bagi pembangunan dan perekonomian suatu negara.
Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, Manuela V Ferro, menyatakan bahwa selama 20 tahun terakhir, jumlah orang yang kekurangan air minum yang aman telah meningkat sebanyak 197 juta, sementara jumlah orang yang kekurangan sanitasi dasar meningkat sebanyak 211 juta.
Sebanyak 3,5 miliar orang tidak mendapatkan fasilitas sanitasi yang dikelola dengan aman. Akibatnya, penyakit menular yang timbul dari kurangnya akses terhadap air bersih dan sanitasi ini berkontribusi terhadap setidaknya 1,4 juta kematian setiap tahunnya dan menyebabkan 50 persen dari total malnutrisi global.
“Saat ini, lebih dari dua miliar orang masih kekurangan akses terhadap air minum yang aman, dan 3,5 miliar orang tidak mendapatkan fasilitas sanitasi yang dikelola dengan aman,” kata Ferro dalam keterangan tertulis pada Selasa, 21 Mei 2024.
Ferro menambahkan bahwa perubahan iklim memperbesar risiko terkait air, apalagi dengan adanya emisi global yang terus meningkat. Negara-negara berkembang, menurutnya, adalah yang paling terkena dampak guncangan iklim.
Antara tahun 2000 dan 2021, negara-negara berkembang mengalami kekeringan yang lebih parah dan banjir yang berlangsung lebih lama dibandingkan dengan negara-negara maju. Hal ini memiliki dampak jangka panjang terhadap gizi, angka kehadiran di sekolah, kesejahteraan ekonomi, dan bahkan menghilangkan sumber mata pencaharian masyarakat.
“Untuk mengembangkan mata pencaharian masyarakat, diperlukan reformasi dan investasi yang signifikan untuk menyediakan layanan air dan sanitasi yang dikelola secara efisien bagi mereka yang tidak memiliki akses serta untuk memperkuat ketahanan terhadap risiko hidroklimat,” jelas Ferro.
Menurutnya, solusi berbasis alam seperti reforestasi dan investasi pada infrastruktur penyimpanan air terbukti efektif dalam mengatasi masalah ini. Reforestasi membantu mengurangi limpasan air dan memastikan ketersediaan air selama musim kemarau.
Selain itu, Ferro menekankan pentingnya kebijakan peningkatan perumahan serta rencana tata ruang dan tata guna lahan yang mencegah pembangunan di daerah rawan banjir.
Sistem peringatan dini dan asuransi juga bisa membantu rumah tangga dan petani mengatasi guncangan akibat perubahan iklim yang ekstrem. Penyedia layanan air dan sanitasi juga perlu meningkatkan cara kerjanya agar dapat mengurangi kehilangan air dan menurunkan biaya operasional.
Krisis air ini memerlukan perhatian segera dan tindakan kolektif dari berbagai pihak, baik pemerintah, sektor swasta, maupun masyarakat internasional. Investasi yang tepat dalam infrastruktur air dan sanitasi, serta penerapan kebijakan yang mendukung ketahanan terhadap perubahan iklim, dapat membantu mengatasi tantangan ini dan membawa manfaat jangka panjang bagi kesehatan dan kesejahteraan global.