Logo
>

Pemerintah Berencana Kurangi Nikel: INCO, DKFT, ANTM Diuntungkan?

Ditulis oleh Yunila Wati
Pemerintah Berencana Kurangi Nikel: INCO, DKFT, ANTM Diuntungkan?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Pemerintah berencana mengurangi pasokan bijih nikel pada 2025. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM mengusulkan pengurangan kuota produksi hingga 45 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

    Pengurangan pasokan bijih nikel ini diambil lantaran telah terjadi kelebihan pasokan dan lemahnya permintaan dari China. Sementara, harga nikel telah anjlok sebesar 45 persen pada 2023 dan 7 persen pada 2024.

    Untuk tahun ini, rencananya pemerintah akan menetapkan kuota produksi bijih nikel sebesar 150 juta ton. Kuota tersebut jauh lebih rendah dari kuota pada 2024, yaitu sebesar 272 juta ton. Biasanya, kuota produksi bijih nikel ditentukan berdasarkan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB), yang saat ini masih dalam tahap evaluasi.

    Kementerian ESDM mengungkapkan bahwa terdapat 831 permintaan kuota untuk periode 2024-2026. Dari jumlah tersebut, 336 telah disetujui, 225 disetujui tanpa produksi, 262 ditolak, 6 masih dalam proses evaluasi, dan 2 menunggu tanggapan.

    Jika rencana ini terwujud, dampaknya terhadap pasar global cukup signifikan. Berdasarkan penelitian Macquarie Group, pengurangan produksi ini berpotensi memotong sekitar 35 persen dari total pasokan global. Hal ini diharapkan dapat memicu kenaikan harga nikel secara global, mengingat posisi Indonesia sebagai produsen nikel terbesar dunia.

    Namun, potensi kenaikan harga ini juga bisa membawa risiko bagi smelter nikel, karena mereka memanfaatkan bijih nikel sebagai bahan baku utama. Kekurangan pasokan bijih berpotensi meningkatkan biaya produksi smelter, yang sebelumnya telah menghadapi tantangan besar.

    Kondisi ini juga mendorong Indonesia untuk mengimpor bijih nikel dari Filipina dalam jumlah yang cukup besar. Pada tahun 2023, impor mencapai sekitar 374 ribu ton, meningkat drastis dibandingkan dengan tahun 2021 dan 2022 yang nyaris tanpa impor.

    Sejak tahun 2019, Indonesia telah memprioritaskan hilirisasi nikel sebagai bagian dari upaya meningkatkan nilai tambah ekspor, menarik investasi, dan memperkuat rantai pasok industri. Program ini telah meningkatkan produksi nikel secara signifikan, dari 0,6 juta ton pada tahun 2018 menjadi 2 juta ton pada tahun 2023, dengan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata 27 persen.

    Pada kecepatan ini, produksi nikel Indonesia diproyeksikan mencapai 2,9 juta ton pada tahun 2028, setara dengan sekitar 60 persen pangsa produksi global.

    Namun, kelebihan pasokan telah menciptakan tantangan bagi investasi di sektor ini. Pada tahun lalu, proyek bersama senilai USD2,6 miliar antara perusahaan tambang global Eramet dan BASF untuk membangun kilang nikel-kobalt di Weda Bay dibatalkan karena kondisi pasar yang oversupplied.

    Meski pengurangan produksi diharapkan dapat memperbaiki dinamika pasokan, kenaikan harga nikel yang stabil dari level saat ini sekitar USD15.000 per ton akan tetap bergantung pada pemulihan permintaan, khususnya dari China sebagai salah satu konsumen utama.

    Langkah Indonesia untuk mengurangi kuota bijih nikel menandai strategi penting dalam menghadapi tantangan pasar global, sekaligus menjaga pertumbuhan industri hilirisasi. Meski penuh tantangan, kebijakan ini juga mencerminkan upaya pemerintah untuk memastikan keberlanjutan dan kestabilan industri nikel di masa depan.

    Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, tidak membenarkan atau menyangkal isu pembatasan produksi nikel ini. Tapi, dia mengaku masih mengkaji total kebutuhan salah satu bagan baku baterai tersebut.

    Dia mengatakan, akan mendalami terlebih dulu pengajuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) perusahaan nikel. Pembatasan, lanjut dia, bisa saja diberlakukan demi menjadi harga nikel.

    "Jadi, kami tetap menjaga kesinambungan dan harga. Nah, ini hukum permintaan dan penawaran. Bukan berarti semakin banyak RKAB itu semakin baik," ujar Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Jumat, 3 Januari 2025.

    ANTM, INCO, dan DKFT Dianggap Paling Diuntungkan

    Rencana ini sepertinya akan menguntungkan beberapa emiten, yaitu Aneka Tambang Tbk (ANTM), Vale Indonesia Tbk (INCO), dan Central Omega Resources Tbk (DKFT). Ketiganya merupakan perusahan tambang yang menambang dan mengolah nikel.

    Sepanjang 2024, Antam telah mengalokasikan dana sebesar Rp271,49 miliar untuk kegiatan eksplorasi. Fokus utamanya mencakup tiga komoditas strategis yaitu emas, nikel, dan bauksit. Langkah ini dilakukan untuk memastikan potensi dan cadangan mineral yang memadai guna mendukung keberlanjutan bisnis perusahaan.

    Sekretaris perusahaan Antam Syarif Faisal Alkadrie, menjelaskan bahwa kegiatan eksplorasi ini bertujuan untuk mengoptimalkan potensi sumber daya mineral strategis yang dimiliki perusahaan. Hingga 31 Desember 2024, eksplorasi dilakukan di berbagai lokasi potensial di Indonesia.

    Sementara. Vale sepanjang semester I tahun 2024 sudah memproduksi 34.774 ton nikel matte. Presiden Direktur Perseroan Vale Indonesia Febriany Eddy menjelaskan, pada semester I/2024 ini produksi nikel lebih tinggi 3 persen dibandingkan produksi pada waktu yang sama di tahun sebelumnya yang hanya sebesar 33.691 ton.

    Menurut Febriany. pertumbuhan tersebut merupakan hasil dari strategi pemeliharaan yang terencana dan outbut kalsin yang lebih tinggi pada 2024. Dia juga mengklaim optimis dengan prospek produksi dan berharap operasi berjalan lancar hingga akhir tahun.

    "Tujuan INCO adalah mencapai target produksi sekitar 70.800 metrik ton nikel dalam matte pada 2024, meningkat dari target tahun lalu," tulis manajemen dalam keterangan resminya, 29 Juli 2024.

    Terakhir, DKFT, mencatatkan laba tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp289,45 miliar dalam 9 bulan 2024. Angka laba bersih tersebut melonjak 324 persen, dari Rp68,15 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.

    Sementara, per 20 September 2024, DKFT mampu mencatatlan laba per saham sebesar Rp52,5. Catatan tersebut naik dibandingkan laba per saham per akhir September 2023, yaitu sebesar Rp12,36.

    Dengan begitu, keputusan pemerintah untuk mengurangi kuota bijih nikel yang salah satu caranya dengan membatasi jumlah impor, dianggap mampu memberikan peluang besar bagi emiten-emiten lokal untuk bertumbuh.(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79