KABARBURSA.COM - Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan bahwa Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan penundaan jangka waktu restrukturisasi kredit akibat COVID-19 yang semula jatuh tempo pada Maret 2024 hingga tahun 2025. Keputusan ini diambil setelah Sidang Kabinet Paripurna mengenai Perekonomian di Istana Negara Jakarta, Senin, 24 Juni 2024.
Airlangga menjelaskan bahwa langkah ini bertujuan untuk meringankan beban perbankan terkait penyiapan cadangan kerugian terhadap Kredit Usaha Rakyat (KUR). Dia menyoroti penurunan signifikan outstanding KUR dari Rp830 triliun pada Oktober 2020 menjadi Rp228,2 triliun pada Maret 2024.
Stimulus restrukturisasi kredit COVID-19 yang diterapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak empat tahun lalu telah digunakan sebesar Rp830,2 triliun dan memberikan bantuan kepada 6,68 juta debitur, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Airlangga menyatakan bahwa keputusan ini diharapkan dapat memperkuat pemulihan ekonomi dan mempertahankan stabilitas sektor perbankan Indonesia.
OJK, melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan Gubernur Bank Indonesia, akan mengkaji usulan untuk memundurkan jangka waktu restrukturisasi kredit hingga 2025, sesuai arahan Presiden. Langkah ini dipandang penting dalam mengantisipasi dampak ekonomi jangka panjang dari pandemi COVID-19 dan memberikan waktu yang lebih panjang bagi debitur untuk memulihkan kembali kondisi keuangan mereka.
Dalam konteks penyelesaian restrukturisasi kredit, Airlangga juga menekankan perlunya memperhitungkan kesiapan industri perbankan, kondisi ekonomi makro, serta kepatuhan terhadap standar internasional. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil dapat memberikan dampak yang positif dan berkelanjutan bagi perekonomian nasional.
Pada akhirnya, langkah ini merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk mendukung pemulihan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan di tengah tantangan global yang terus berubah akibat pandemi COVID-19. Dengan memperpanjang jangka waktu restrukturisasi kredit, diharapkan para debitur dapat lebih siap dalam menghadapi kembali normalisasi ekonomi dan meningkatkan produktivitas usaha mereka.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyatakan bahwa stimulus ini diberikan kepada 6,68 juta debitur pada Oktober 2020, mencatat angka tertinggi dalam sejarah Indonesia.
Dari total debitur yang menerima stimulus, sebanyak 75 persen berasal dari segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), atau sekitar 4,96 juta debitur dengan total outstanding mencapai Rp348,8 triliun. Namun, pada Januari 2024, angka outstanding kredit restrukturisasi COVID-19 telah turun signifikan menjadi Rp251,2 triliun yang tersebar kepada 977 ribu debitur.
Penurunan ini sejalan dengan pemulihan ekonomi yang terjadi, menunjukkan bahwa tren kredit restrukturisasi mengalami penurunan baik dari sisi jumlah debitur maupun outstanding kreditnya. OJK telah melakukan evaluasi mendalam terkait berakhirnya kebijakan stimulus COVID-19, dengan mempertimbangkan kesiapan industri perbankan, kondisi ekonomi makro, dan sektoral, serta menjaga kepatuhan terhadap standar internasional.
Meskipun terjadi penurunan, OJK memproyeksikan bahwa potensi kenaikan risiko kredit (NPL) dan ketahanan perbankan masih dalam kondisi baik. Bank-bank diharapkan dapat mempertahankan tingkat pencadangan yang cukup untuk menghadapi potensi risiko di masa depan. Tingkat pencadangan (CKPN) yang terbentuk oleh bank-bank terus meningkat, melebihi periode sebelum pandemi, menandakan kesiapan perbankan dalam menghadapi kondisi normalisasi secara terkendali.
Dalam konteks normalisasi kebijakan, bank-bank akan tetap dapat melanjutkan restrukturisasi kredit COVID-19 yang sedang berjalan, sementara permintaan restrukturisasi kredit baru harus mengikuti peraturan yang berlaku, yaitu Peraturan OJK Nomor 40/2019 tentang Kualitas Aset. Hal ini diharapkan akan memastikan integritas laporan keuangan perbankan yang semakin baik dan sesuai dengan standar praktik terbaik di bidang keuangan.
OJK juga tetap melakukan langkah pengawasan secara aktif untuk memastikan bahwa setiap bank mempertahankan kesiapan mereka secara individual dalam menghadapi kondisi ekonomi dan keuangan yang dinamis. Langkah ini penting untuk memastikan stabilitas sektor perbankan dan berkontribusi positif dalam pemulihan ekonomi secara keseluruhan di Indonesia.
Sebelumnya, OJK mengumumkan bahwa kebijakan stimulus restrukturisasi kredit perbankan untuk mengatasi dampak COVID-19 akan berakhir pada 31 Maret 2024. Keputusan ini diambil seiring dengan pencabutan status pandemi COVID-19 oleh pemerintah pada Juni 2023 dan pemulihan ekonomi yang telah berlangsung, termasuk kondisi sektor riil yang semakin membaik.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menjelaskan bahwa kondisi perbankan Indonesia saat ini menunjukkan daya tahan yang kuat terhadap dinamika perekonomian. Hal ini didukung oleh tingkat permodalan yang solid, likuiditas yang mencukupi, serta manajemen risiko yang baik. Dengan demikian, industri perbankan dianggap telah siap untuk menghadapi berakhirnya kebijakan restrukturisasi kredit COVID-19.
Stabilitas perbankan Indonesia juga tercermin dari beberapa indikator kunci. Pada Januari 2024, rasio kecukupan modal (CAR) mencapai 27,54 persen, menunjukkan ketersediaan modal yang cukup untuk mendukung operasi perbankan. Likuiditas perbankan, yang diukur melalui Liquidity Coverage Ratio (LCR) sebesar 231,14 persen dan Alat Likuid/Non Core Deposit (AL/NCD) sebesar 123,42 persen, juga menunjukkan kondisi yang sehat. Tingkat rentabilitas perbankan juga dinilai memadai dalam mendukung aktivitas operasional.(*)