KABARBURSA.COM - Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Erika Retnowati mengungkapkan waktu penyelesaian revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Pendeknya, ini adalah regulasi pembatasan Pertalite.
Erika Retnowati menyebut revisi aturan berpotensi mundur dari target Juni 2024 karena masih terdapat poin-poin dalam beleid tersebut yang harus dibahas oleh kementerian/lembaga (k/l) terkait. Adapun, lanjutnya, salah satu pembahasan dalam revisi beleid tersebut adalah kriteria konsumen yang berhak untuk menerima bahan bakar minyak (BBM) Pertamina jenis Solar dan Pertalite.
Menyikapi hal tersebut, Tauhid Ahmad, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, pemerintah harus tegas dalam melakukan pengendalian terhadap bahan bakar minyak (BBM) yang mendapatkan subsidi dan kompensasi, seperti Solar dan Pertalite.
Tauhid menyarankan agar penggunaan Pertalite dibatasi hanya untuk kendaraan tertentu, dengan melarang seluruh kendaraan roda empat dan sebagian kendaraan roda dua menggunakan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) tersebut.
"Kami mendukung kebijakan pemerintah tentang subsidi yang tepat sasaran. Untuk mencapai hal tersebut, subsidi seharusnya tidak diberikan kepada kendaraan roda empat dan sebagian roda dua. Jika penggunaan Pertalite tidak tepat sasaran, hal ini lebih banyak terjadi pada kendaraan roda empat. Pengguna kendaraan roda empat umumnya mampu secara ekonomi, sehingga subsidi seharusnya tidak diberikan kepada mereka. Idealnya, seluruh kendaraan roda empat sebaiknya tidak diperbolehkan menggunakan Pertalite," ungkap Tauhid.
Di sisi lain, Tauhid menggarisbawahi pembatasan tersebut bakal menyebabkan kenaikan tarif transportasi yang pada akhirnya menyebabkan lonjakan inflasi pada tahun pertama penerapan pembatasan tersebut.
Namun, Tauhid mengatakan inflasi tersebut tergolong tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan pembatasan untuk kendaraan roda dua. Selain itu, dia berpendapat nantinya bakal terdapat penyesuaian setelah pembatasan tersebut.
Di sisi lain, pemerintah bisa mengalihkan biaya kompensasi untuk Pertalite yang tidak tepat sasaran untuk membangun transportasi umum.
“Daripada kita utang misalnya ke China, ke mana, ya bangunlah MRT yang banyak, bukan jalurnya itu saja tetapi yang lain, di kota lain dan sebagainya, itu akan jauh feasible, jadi bukan subsidi, tetapi transportasi publik, sehingga ya masyarakat semua bisa mendapatkan layanan,” ujarnya.
Selama ini, Tauhid menilai, pembangunan infrastruktur seperti jalan tol dilakukan tanpa menyeimbangkan pembangunan transportasi umum yang masif. Hal ini justru menyebabkan masyarakat Indonesia terpaksa memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi.
“Kita terlambat untuk membangun misalnya LRT, MRT, dan sebagainya, yang di negara maju sudah dilakukan sejak 1960 hingga 1970-an,” ujar Tauhid.
Pemerintah sebelumnya memproyeksikan volume konsumsi Solar dan Pertalite bisa ditekan hingga 17,8 juta kiloliter (kl) per tahun, berdasarkan simulasi pengendalian subsidi dan kompensasi atas Solar dan Pertalite yang dapat diterapkan dengan pengendalian kategori konsumen.
Hal ini terjadi karena arah kebijakan subsidi energi pada 2025 adalah penyaluran BBM bersubsidi dilakukan dengan disertai registrasi konsumen penggunanya.
Pemerintah bakal melanjutkan pemberian subsidi tetap untuk BBM Solar dan subsidi selisih harga untuk minyak tanah, disertai dengan pengendalian volume dan pengawasan atas golongan atau sektor-sektor yang berhak memanfaatkan.
Namun, terkait dengan besaran subsidi tetap Solar, pemerintah mempertimbangkan perkembangan indikator ekonomi makro, khususnya harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude-oil Price (ICP) dan nilai tukar rupiah.
Sekadar catatan, untuk 2024, alokasi BBM bersubsidi jenis Solar mencapai 19 juta kl, naik dari tahun sebelumnya yang sebanyak 17 juta kl. Sementara itu, Pertalite dipagu 31,7 juta kl tahun ini, merosot dari alokasi 2023 yang sejumlah 32,56 juta kl.
“Untuk memastikan upaya pengendalian konsumsi berhasil dilakukan, maka diperlukan sinergi dan koordinasi antarkementerian/lembaga dan pemerintah daerah maupun instansi terkait lainnya,” tulis dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Tahun 2025, dilansir awal pekan ini.
Kriteria Pengguna BBM
Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya memastikan revisi Perpres No. 191/2014 bakal rampung dalam waktu dekat. Ia membuka peluang bahwa revisi perpers, yang akan mengatur kriteria kendaraan yang boleh menggunakan BBM Pertamina jenis Solar dan Pertalite, tersebut bakal rampung pada kuartal II-2024.
Walau demikian, dia tidak membocorkan detail tanggal pasti penyelesaian revisi aturan tersebut akan diterbitkan. Dia hanya menggarisbawahi revisi aturan bakal rampung dalam beberapa waktu mendatang dan implementasi bakal dilakukan pada tahun ini.
“Mudah-mudahan (rampung pada kuartal II 2024). Harus selesai, targetnya tahun ini harus jalan, jadi dalam beberapa bulan ini lah (revisi Perpres) selesai. Kan drafnya sudah setahun,” ujar Arifin.
Nantinya, terdapat kategori kendaraan yang bakal diatur untuk mengakses BBM jenis Pertalite dan Solar. Sebagai gambarannya, pemerintah bakal membatasi pembelian Solar hanya untuk kendaraan yang mengangkut bahan pangan, bahan pokok dan angkutan umum.
Hal ini dilakukan agar masyarakat umum tidak terbebani karena jenis angkutan umum tersebut tetap menggunakan solar yang disubsidi pemerintah.
“Revisi Perpres No. 191/2014 dilakukan agar alokasi BBM tepat sasaran, itu semuanya kan harus tepat sasaran. Kalau tidak, pemerintah rugi dan yang menikmati adalah orang yang tidak tepat,” ujar Arifin.