KABARBURSA.COM - Indonesia tetap melarang praktik aborsi dalam sebagian besar kasus, namun peraturan pemerintah terbaru menambahkan beberapa pengecualian penting.
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 Pasal 116, aborsi dilarang kecuali dalam situasi darurat medis atau bagi korban tindak pidana perkosaan serta kekerasan seksual lainnya yang mengakibatkan kehamilan, sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
"Indikasi darurat medis" yang dimaksud mencakup kehamilan yang membahayakan nyawa dan kesehatan ibu serta anak, serta kondisi janin dengan cacat bawaan yang tidak dapat diperbaiki dan membuat kehidupan di luar kandungan tidak mungkin.
Selain itu, kehamilan akibat tindak pidana perkosaan atau kekerasan seksual lainnya dapat diakhiri dengan syarat adanya surat keterangan dokter tentang usia kehamilan yang sesuai dengan kejadian tindak pidana tersebut. Dokumen pendukung dari penyidik tentang dugaan perkosaan atau kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan juga diperlukan.
Pasal 122 PP ini menegaskan bahwa "pelayanan aborsi hanya dapat dilakukan atas persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan dan dengan persetujuan suami, kecuali untuk korban tindak pidana perkosaan."
Pengecualian atas persetujuan suami juga berlaku untuk korban tindak pidana kekerasan seksual yang mengakibatkan kehamilan. Dalam hal pelaksanaan aborsi dilakukan pada orang yang dianggap tidak cakap dalam mengambil keputusan, persetujuan dapat diberikan oleh keluarga lainnya.
Jika korban tindak pidana perkosaan atau kekerasan seksual lainnya melahirkan anak, maka anak tersebut berhak diasuh oleh ibu dan keluarganya.
Kasus KS 2024
Pada tahun 2024, kekerasan seksual (KS) di Indonesia tetap menjadi isu serius yang memerlukan perhatian dan tindakan lebih lanjut. Data terbaru menunjukkan bahwa meskipun ada upaya peningkatan kesadaran dan penegakan hukum, kasus kekerasan seksual masih terus meningkat.
Data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan bahwa pada tahun 2024, terdapat lebih dari 340.000 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari jumlah tersebut, sekitar 70 persen termasuk dalam kategori kekerasan seksual.
Kasus kekerasan seksual yang dilaporkan meliputi pemerkosaan, pelecehan seksual, pencabulan, dan eksploitasi seksual. Pemerkosaan masih menjadi kategori yang paling sering dilaporkan.
Dalam enam bulan pertama 2024, terdapat peningkatan signifikan dalam jumlah laporan kekerasan seksual, dengan kenaikan sekitar 8 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Korban kekerasan seksual mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. Sekitar 60 persen dari total kasus melibatkan anak di bawah usia 18 tahun, dengan lebih dari 50 persen di antaranya adalah remaja.
Data menunjukkan bahwa korban sering kali berasal dari latar belakang ekonomi yang kurang beruntung, dengan kemiskinan dan ketidaksetaraan gender sebagai faktor penyebab utama.
Lembaga-lembaga seperti Komnas Perempuan, LBH APIK, dan berbagai organisasi non-pemerintah terus berperan aktif dalam memberikan bantuan kepada korban. Namun, kapasitas mereka sering kali terbatas dibandingkan dengan jumlah kasus yang masuk.
Pemerintah Indonesia terus memperbarui kebijakan untuk meningkatkan perlindungan terhadap korban. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada tahun 2022 memberikan dasar hukum yang lebih kuat, namun implementasi dan penegakannya masih menghadapi tantangan.
Meskipun ada peningkatan kesadaran, stigma sosial masih menjadi hambatan besar bagi korban untuk melaporkan kekerasan seksual. Banyak korban yang merasa takut atau malu untuk berbicara.
Sumber daya untuk penanganan kasus, seperti pelatihan untuk aparat penegak hukum dan dukungan bagi korban, masih terbatas. Ini mempengaruhi efektivitas penegakan hukum dan kualitas layanan untuk korban.
Kurangnya pendidikan tentang hak-hak perempuan dan kekerasan seksual di beberapa komunitas berkontribusi terhadap kurangnya pemahaman dan pencegahan yang efektif.
Peningkatan kampanye kesadaran masyarakat mengenai kekerasan seksual terus dilakukan untuk mengurangi stigma dan mendorong pelaporan kasus. Pemerintah dan organisasi non-pemerintah bekerja untuk meningkatkan pelatihan aparat penegak hukum dan memperbaiki sistem pelaporan.
Fokus pada pengembangan layanan dukungan yang lebih baik, termasuk konseling, layanan kesehatan, dan bantuan hukum, untuk memastikan bahwa korban mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan.
Data ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk upaya yang lebih terkoordinasi dan berkelanjutan dalam menangani kekerasan seksual di Indonesia. Penanganan yang efektif memerlukan keterlibatan aktif dari pemerintah, masyarakat, dan lembaga-lembaga terkait untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi semua korban.
Dalam konteks kekerasan seksual, darurat medis merupakan situasi kritis yang memerlukan perhatian medis segera untuk melindungi kesehatan dan keselamatan korban. Peraturan hukum Indonesia mengatur kondisi darurat medis ini dalam rangka perlindungan dan penanganan korban kekerasan seksual.
Darurat Medis dalam kasus kekerasan seksual adalah keadaan di mana tindakan medis mendesak diperlukan untuk mencegah risiko kesehatan yang serius atau kematian bagi korban. Kondisi medis yang mengancam nyawa atau kesehatan korban, termasuk trauma fisik akibat kekerasan seksual, serta gangguan psikologis yang mungkin memerlukan intervensi segera. Kehamilan yang terjadi akibat pemerkosaan atau kekerasan seksual yang memerlukan penanganan medis cepat, terutama jika kehamilan tersebut membahayakan kesehatan ibu atau janin. (*)