KABARBURSA.COM - Pada Triwulan I-2024, perekonomian Indonesia tumbuh 5,11 persen year on year (yoy), lebih tinggi dari Triwulan I-2023 dan Triwulan IV-2023 yang masing-masing sebesar 5,04 yoy. Penilaian berbagai lembaga rating internasional juga memberikan assesmen positif bahwa ketahanan ekonomi Indonesia tetap terjaga dengan didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil.
“Bank Dunia baru saja menaikan growth forecast Indonesia di tahun 2024 dari yang tadinya 4,9 persen menjadi 5,0 persen dan untuk tahun 2025 dari 4,9 persen menjadi 5,1 persen. Di tengah perekonomian dunia mengalami tekanan inflasi tinggi, inflasi Indonesia juga terus terjaga dalam rentang target sasaran di bawah 3 persen,” ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Lebih lanjut, Airlangga mengungkapkan bahwa sektor riil Indonesia menunjukkan prospek ekonomi yang baik serta diikuti dengan aktivitas industri dan konsumsi Indonesia yang masih terjaga baik. Level PMI Manufaktur Indonesia tetap terjaga di level ekspansif selama 33 bulan berturut-turut, diikuti dengan Indeks Keyakinan Konsumen yang tetap tinggi dan Indeks Penjualan Riil yang tetap tumbuh.
“Sektor eksternal Indonesia tetap kuat, buffer terhadap tekanan global. Neraca Perdagangan Indonesia (Mei 2024) tetap surplus di angka USD2,93 miliar, dan surplus ini 49 bulan berturut-turut,” ujar Airlangga.
Sektor keuangan yang berperan sebagai intermediasi yang menunjang fundamental ekonomi juga memperlihatkan pertumbuhan kredit perbankan tahun 2024 berada di atas 11 persen dan mampu melebihi realisasi 9-10 persen di tahun 2023. Kredit Investasi dan Modal Kerja juga terus mengalami pertumbuhan serta Realisasi Investasi pada Januari-Maret 2024 mengalami kenaikan sebesar 22,1 persen yoy dan telah mencapai Rp401,5 triliun.
Lebih jauh, Pemerintah melalui Bank Indonesia juga telah melakukan intervensi untuk menjaga nilai tukar melalui likuiditas valas, cadangan devisa, dan BI Rate. Dibandingkan dengan negara lain, real yield Indonesia relatif menarik disertai dengan risiko moderat.
Lebih lanjut, terkait pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2025, diperkirakan akan berada di kisaran 5,1-5,5 persen. Pertumbuhan tersebut terutama ditopang oleh konsumsi rumah tangga dengan perbaikan daya beli masyarakat dan investasi yang diperkirakan akan meningkat melalui dukungan reformasi struktural. “Defisit fiskal di RAPBN di angka 2,29-2,82 persen PDB untuk mendukung APBN yang sehat dan berkelanjutan,” kata Menko Perekonomian itu.
Namun demikian, peneliti menyoroti persoalan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang berpotensi membebani pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto. Peneliti dari The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengungkapkan hal tersebut.
Esther Sri Astuti, Direktur Eksekutif INDEF, menyebutkan, persoalan pertama yang akan menjadi beban bagi pemerintahan baru adalah kualitas pertumbuhan ekonomi yang relatif menurun.
"Konsumsi selalu jadi backbone (tulang punggung) pertumbuhan ekonomi. Padahal mesin-mesin pertumbuhan ekonomi tidak hanya itu, bisa investasi, ekspor, belanja pemerintah, pajak, dan transfer daerah," ujar Esther, Selasa, 25 Juni 2024.
Persoalan kedua, daya beli terus turun di tengah kebijakan fiskal yang ketat saat ini, ditambah lagi dengan rencana Presiden Terpilih Prabowo Subianto yang mencanangkan rasio penerimaan negara harus naik jadi 23 persen.
"Artinya, generate income pajak harus ditingkatkan, itu yang harus dilihat lagi," kata Esther.
Persoalan ketiga, adanya kebijakan moneter yang ketat. Esther menjelaskan saat ini kondisi ekonomi masih relatif ketat, ditandai tingkat suku bunga yang terus naik, nilai tukar rupiah yang berfluktuasi ke level Rp16.400-an/US$. kondisi ekonomi yang relatif sulit ini akan menjadi awalan pemerintahan presiden baru nanti.
Keempat, fleksibilitas fiskal yang menurun dengan rasio pajak yang hanya di kisaran 8-10 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), dan rasio utang mencapai 38 persen terhadap PDB. Terlebih, akan ada kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari semula 11 persen menjadi 12 persen, sehingga ruang fiskal relatif lebih sempit. "Jadi mau tidak mau generate more income, revenue state harus terus diupayakan," ujar Esther.
Kelima, terkait performa industri manufaktur yang menurun. Jika diamati, impor bahan baku masih terus membengkak karena nilai tukar rupiah terdepresiasi. Jadi, industri manufaktur dan lainnya yang menggantungkan diri pada bahan baku impor sangat terdampak.
Persoalan terakhir, fungsi intermediasi keuangan, yakni penerima kredit masih terbatas. Artinya margin bunga bersih atau net interest margin (NIM) perbankan di Indonesia masih relatif tinggi. Terlebih dengan adanya kebijakan tingkat suku bunga tinggi, dan nilai tukar rupiah yang volatil. Hal ini tentu akan menjadi beban pemerintahan presiden terpilih.
Sebagai informasi, NIM merupakan ukuran perbedaan antara pendapatan bunga yang dihasilkan oleh bank atau lembaga keuangan lainnya dan jumlah bunga yang dibayarkan kepada pemberi pinjaman mereka, relatif terhadap jumlah aset mereka. (*)