Logo
>

Pengamat: Ekonomi Kehilangan Lokomotif, Industri Mandek

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Pengamat: Ekonomi Kehilangan Lokomotif, Industri Mandek

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Ekonom Didik J Rachbini, mengkritik keras kinerja Kementerian Perindustrian yang dinilainya mandek dalam mendorong sektor industri. Menurut Didik, sektor ini memegang peranan sentral dalam pertumbuhan ekonomi, namun gagal menunjukkan kinerja signifikan selama dua dekade terakhir.

    Selama ini, kebijakan yang lemah dan tidak terarah menyebabkan sektor industri hanya tumbuh di kisaran tiga hingga empat persen. Pertumbuhan ini jauh di bawah harapan dan mengakibatkan ekonomi nasional sulit mencapai target pertumbuhan tinggi.

    Sebagai perbandingan, Didik menyoroti kesuksesan India dan Vietnam yang berhasil menjadikan industri sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi. Sektor industri di kedua negara tersebut mampu tumbuh dua digit, mendorong pertumbuhan ekonomi hingga tujuh persen atau lebih. Di sisi lain, selama dua dekade terakhir, Indonesia gagal menempatkan sektor industri sebagai pendorong utama ekonomi. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi stagnan di sekitar lima persen, ditopang oleh konsumsi dan sektor jasa yang tidak modern.

    "Industri kita mati suri karena kebijakan yang tidak memberikan ruang dan dorongan bagi perkembangan industri nasional," kata Didik dalam keterangan tertulisnya kepada KabarBursa, Selasa, 18 Juni 2024.

    Menurut data dari India KLEMS database, pertumbuhan tahunan rata-rata sektor manufaktur, jasa pasar, dan jasa non-pasar negara Bollywood tersebut menunjukkan tren yang signifikan selama beberapa sub-periode. Pada periode 2003-2007, sektor manufaktur mencatatkan pertumbuhan tahunan rata-rata tertinggi, yaitu 14 persen per tahun. Sementara itu, sektor jasa pasar dan jasa non-pasar masing-masing tumbuh 10 persen dan 4 persen per tahun.

    Kemudian selama periode 2008-2021, pertumbuhan sektor manufaktur menurun menjadi 10 persen per tahun. Sektor jasa pasar juga mengalami penurunan pertumbuhan menjadi delapan persen per tahun, sedangkan sektor jasa non-pasar sedikit meningkat menjadi delapan persen per tahun. Secara keseluruhan, selama periode 2003-2021, sektor manufaktur menunjukkan pertumbuhan tahunan rata-rata sebesar 12 persen per tahun. Sektor jasa pasar mencatatkan pertumbuhan sembilan persen per tahun, dan sektor jasa non-pasar tetap stabil dengan pertumbuhan lima persen per tahun.

    Janji kampanye Prabowo untuk memacu pertumbuhan ekonomi hingga delapan persen dianggap hampir mustahil dengan kebijakan saat ini. Menurut Didik, kunci sukses pemerintahan mendatang terletak pada pembenahan Kementerian Perindustrian dan kebijakannya. Ekonomi Indonesia mengalami stagnasi karena bertumpu pada konsumsi dan sektor jasa yang tidak modern.

    Didik menilai Indonesia telah gagal mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi selama dua dekade terakhir. Penyebab utamanya adalah tidak berhasilnya menempatkan sektor industri sebagai lokomotif pertumbuhan. Selain itu, Kementerian Perindustrian dinilai mandek dan mandul dalam menjalankan kebijakan industrinya. Faktor kritis yang menentukan keberhasilan pertumbuhan ekonomi di masa pemerintahan Prabowo, kata Didik, terletak pada pembenahan kementerian ini.

    "Ekonomi kehilangan lokomotifnya, yang pada gilirannya ekonomi bertumbuh rendah atau moderat saja," kata Rektor Universitas Paramadina ini.

    Didik menunjukkan data Bank Pembangunan Asia soal perbandingan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, Vietnam, India, dan beberapa negara Asia lainnya yang memperlihatkan Indonesia berada di bawah rata-rata. Indonesia mencatatkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar -2,1 persen pada 2020 akibat dampak pandemi COVID-19. Meski berhasil bangkit dengan pertumbuhan 3,7 persen setahun kemudian, kinerja ekonomi Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN.

    Tertinggal dari Tetangga

    Malaysia dan Filipina mengalami kontraksi lebih dalam dari Indonesia pada 2020, masing-masing dengan -5,6 persen dan -9,6 persen. Namun, kedua negara ini mencatatkan pemulihan yang lebih kuat pada 2021, dengan pertumbuhan masing-masing 3,1 persen dan 5,6 persen.

    Singapura, yang juga terdampak parah dengan kontraksi -4,1 persen di tahun 2020, berhasil mencatatkan lonjakan pertumbuhan hingga 7,6 persen pada 2021. Sementara India mengalami kontraksi tajam dalam PDB sebesar -6,6 persen pada 2020 akibat dampak parah pandemi COVID-19. Pandemi yang menghantam keras sektor ekonomi negara ini menyebabkan penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan. Namun, India berhasil menunjukkan pemulihan yang luar biasa pada tahun berikutnya.

    Pada 2021, PDB India melompat kembali dengan pertumbuhan sebesar 8,9 persen. Pemulihan ini didorong oleh peningkatan aktivitas ekonomi dan dukungan kebijakan pemerintah yang agresif untuk merangsang pertumbuhan. Program vaksinasi massal dan berbagai stimulus ekonomi membantu mempercepat pemulihan, membawa ekonomi India kembali ke jalur pertumbuhan yang positif.

    Proyeksi 2022: Tantangan Pemulihan

    Proyeksi pertumbuhan PDB untuk Indonesia di 2022 menunjukkan angka yang relatif stabil, berkisar antara 4,8 persen hingga 5,0 persen menurut berbagai estimasi yang dibuat sepanjang 2021 dan awal 2022. Sementara itu, proyeksi pertumbuhan untuk Malaysia menunjukkan optimisme yang lebih tinggi, dengan angka berkisar antara 5,7 persen hingga 6,1 persen. Filipina diperkirakan tumbuh antara 5,5 persen hingga 6,0 persen. Tren ini mencerminkan keyakinan akan pemulihan ekonomi yang lebih kuat.

    Thailand, yang juga mengalami kontraksi parah pada 2020 dengan -6,2 persen, diproyeksikan tumbuh antara 3,0 persen hingga 4,9 persen pada 2022. Vietnam, yang relatif berhasil menahan dampak pandemi dengan pertumbuhan tetap positif pada 2020 sebesar 2,9 persen, diperkirakan akan terus mencatatkan pertumbuhan kuat antara 6,5 persen hingga 7,0 persen di 2022.

    Proyeksi 2023: Tetap Tertinggal

    Proyeksi pertumbuhan untuk 2023 menunjukkan tantangan yang berkelanjutan bagi Indonesia. Diperkirakan akan tumbuh sebesar 5,2 persen, Indonesia masih berada di belakang negara-negara tetangga seperti Filipina (6,3 persen), Vietnam (6,7 persen), dan India yang memimpin dengan proyeksi pertumbuhan sebesar 8,0 persen.

    Data ini menunjukkan Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, kinerja ekonomi Indonesia masih relatif tertinggal. Kondisi ini menuntut pentingnya reformasi kebijakan industri untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. "Tanpa itu, Indonesia akan menjadi underdog di ASEAN,” kata Didik.(pin/*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).