KABARBURSA.COM - Pengamat ekonomi Salamudin Daeng mengkritik keras skema power wheeling yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT). RUU ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022 yang kini tengah dibahas oleh DPR RI dan pemerintah.
Untuk diketahui, power wheeling adalah mekanisme yang memungkinkan pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjualnya langsung kepada masyarakat melalui jaringan transmisi PLN.
Dengan skema ini, PLN tidak lagi menjadi pembeli tunggal, karena pemilik pembangkit dapat langsung menjual listriknya. Skema ini sedang didorong untuk diterapkan pada pembangkit energi baru terbarukan (EBT) guna mempercepat pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia.
Menurut Salamudin, skema power wheeling dapat membebani subsidi APBN dan menyebabkan kenaikan tarif listrik masyarakat. "Begitu kebijakan ini dijalankan, kendali atas listrik ada di tangan swasta dan tarif listrik akan naik," kata Salamudin kepada Kabar Bursa, Sabtu, 3 Agustus 2024.
Kenaikan ini, kata dia, disebabkan biaya per unit jaringan yang bertambah akibat unbundling atau pemisahan listrik melalui power wheeling. Selain itu, beban jaringan di wilayah yang tidak menguntungkan akan semakin berat dan subsidi untuk listrik dari EBT yang dipatok dengan harga lebih mahal akan menjadi masalah besar.
"PLN adalah BUMN yang keselamatannya merupakan urusan negara. Kebijakan ini bisa mengacaukan keuangan PLN," ujarnya.
Salamudin mengingatkan kenaikan harga energi, termasuk tarif listrik, sangat membahayakan. Ia menyoroti pengeluaran masyarakat untuk BBM yang mencapai Rp1.200 triliun per tahun dan biaya listrik sebesar Rp450 triliun per tahun, yang setara dengan Rp17 ribu per kapita per hari.
"Setiap penduduk Indonesia harus menanggung biaya energi sebesar Rp17 ribu per hari, setara dengan kebutuhan makan per kapita sehari 2.100 kalori. Ini tentu gawat, energi BBM, LPG, dan listrik merebut jatah makan penduduk Indonesia," ujarnya.
Ia juga menyoroti sekitar 30 persen penduduk Indonesia, atau sekitar 85 juta jiwa, hidup dengan pendapatan setara USD3,2 per hari paritas daya beli (PPP) atau sekitar Rp15.800 per hari.
Menurut data Bank Dunia, kemiskinan di Indonesia menunjukkan tren penurunan yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Tingkat kemiskinan ekstrem, yang diukur dengan garis kemiskinan sebesar USDA1,90 per hari pada paritas daya beli tahun 2011, telah hampir sepenuhnya dieliminasi. Pada 2022, hanya 16 persen dari populasi yang tetap berada di bawah garis kemiskinan.
Meskipun demikian, banyak orang masih rentan jatuh ke dalam kemiskinan akibat guncangan ekonomi. Dalam konteks ini, penduduk yang dikategorikan sebagai "ekonomi tidak aman" meningkat, sementara proporsi yang secara ekonomi aman juga bertambah, menunjukkan adanya dinamika dalam kondisi kesejahteraan masyarakat.
Perbedaan tingkat kemiskinan antara wilayah perkotaan dan pedesaan semakin menyempit. Data menunjukkan tingkat kemiskinan di daerah pedesaan dan perkotaan hampir sama pada tahun 2022. Sebelumnya, pada tahun 2003, penduduk miskin di pedesaan mencapai 69 persen, namun angka ini menurun menjadi 44 persen pada tahun 2022, sementara di perkotaan angkanya meningkat dari 31 persen menjadi 56 persen dalam periode yang sama.
Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas penduduk miskin kini berada di daerah perkotaan. Salamudin pun mewanti-wanti kenaikan biaya energi yang ditimbulkan dari power wheeling akan sangat membahayakan kehidupan masyarakat rentan ini.
Salamudin menekankan RUU EBT seharusnya memfokuskan diri pada penemuan sumber energi baru terbarukan yang murah dan dapat dihasilkan oleh bangsa sendiri, serta mengurangi ketergantungan pada impor BBM dan LPG.
"RUU EBT harus menjadi jalan keluar atas masalah kerentanan energi nasional kita, bukan malah menambah ruwetnya beban subsidi APBN dan beban biaya energi masyarakat," pungkasnya.
Pemerintah Siap Geber Power Wheeling
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong penerapan skema power wheeling dalam RUU EBET. Menteri ESDM Arifin Tasrif menegaskan, pihaknya tidak ragu menerapkan skema power wheeling.
“Kalau ada permintaan tinggi, dan penyediaannya harus PLN sendiri, bisa enggak direspons semuanya?” ujar Arifin pada Jumat, 22 Maret 2024.
Arifin menjelaskan skema power wheeling bisa diterapkan jika ada pihak yang bersedia membangun mekanisme tersebut dan memiliki pasar sendiri, sepanjang tidak mengganggu sistem yang ada. "Misalnya, dia mau bangun dan ada permintaan sendiri, mau bangun pembangkit kan bisa,” katanya.
Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, mengkritik skema power wheeling yang memungkinkan pemanfaatan bersama jaringan listrik PLN oleh swasta. Menurutnya, hal ini bisa membuka peluang bagi swasta untuk menentukan harga listrik.
“Jika skema power wheeling berlaku untuk energi baru terbarukan, maka pembangkit swasta bisa menghasilkan dan menjual listrik sendiri. Ini bisa berarti liberalisasi sektor kelistrikan,” kata Mulyanto dalam webinar 'Menyoal Penerapan Skema Power Wheeling Dalam RUU EBET', Kamis, 1 Agustus 2024.
Mulyanto menjelaskan selama ini, PT PLN (Persero) merupakan satu-satunya pembeli dan penjual listrik di sektor kelistrikan nasional. PLN membeli listrik dari pembangkit dan menjualnya kepada konsumen sehingga memonopoli sektor ini. Bagi Mulyanto, monopoli oleh PLN penting untuk mengendalikan harga listrik sehingga masyarakat bisa mendapatkan harga yang terjangkau.
“Jika skema power wheeling diterapkan, ada kekhawatiran harga listrik akan ditentukan oleh swasta dan pasar, bukan oleh PLN,” ujarnya.
Perlu Skema Bisnis yang Adil
Praktisi energi terbarukan Mardani Surya Hutama mengatakan penerapan konsep power wheeling untuk memacu pengembangan EBT di Indonesia perlu disertai skema business to business (B2B) yang jelas dan adil antara produsen listrik dan pemilik jaringan transmisi.
"Ini penting untuk memastikan pemilik jaringan transmisi mendapatkan kompensasi yang layak," kata Mardani, dikutip dari Antara, Sabtu, 3 Agustus 2024.
Mardani menjelaskan membangun jaringan transmisi tidaklah mudah dan memerlukan investasi besar. Selain itu, pemilik jaringan juga harus menanggung risiko jika terjadi gangguan.
Meskipun pengembangan EBT penting, Mardani menekankan hal itu tidak boleh mengabaikan hak pemilik jaringan transmisi. Pelaksanaan konsep power wheeling ini harus memastikan adanya biaya sewa penggunaan jaringan transmisi secara B2B antara produsen dan pemilik jaringan.
"Tidak adil jika pembangkit EBT menjual listrik tanpa membangun jaringan kabel transmisi dan distribusi. Risiko kelistrikan tetap menjadi tanggung jawab pemilik jaringan, termasuk risiko dari sifat intermitensi pembangkit EBT," jelas Mardani.
Dengan skema B2B, biaya sewa bisa dipastikan secara adil. Sehingga, produsen yang sudah bisa menghasilkan EBT dapat melakukan penjualan, dan pemilik jaringan transmisi pun diuntungkan.
"Solusi ini menguntungkan kedua belah pihak, bukan pemaksaan sepihak," katanya. (*)