Logo
>

Pengamat: Monopoli Pertamina Tak Bikin Harga Tiket Melonjak

Ditulis oleh KabarBursa.com
Pengamat: Monopoli Pertamina Tak Bikin Harga Tiket Melonjak

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Ketua Umum Asosiasi Pengamat Penerbangan Indonesia (Apjapi), Alvin Lie, memprediksi bahwa meski monopoli PT Pertamina (Persero) dalam penyaluran avtur domestik dihentikan, harga tiket pesawat kemungkinan hanya turun sekitar 1,75 persen.

    Estimasi ini muncul berdasarkan asumsi bahwa Pertamina selama ini mengambil margin keuntungan sebesar 5 persen dari penjualan avtur.

    Jika keuntungan tersebut dihilangkan dan Pertamina hanya menjual avtur tanpa margin, penurunan harga tiket pesawat diproyeksikan tidak akan lebih dari 1,75 persen.

    "Biaya avtur berkontribusi sebesar 35 persen dalam total biaya operasional penerbangan. Jadi, jika harga avtur turun 5 persen, dampaknya hanya 1,75 persen dari total biaya penerbangan. Jadi, harga tiket mungkin turun, tapi tidak lebih dari 1,75 persen," kata Alvin, Selasa 20 Agustus 2024.

    Namun, Alvin mengingatkan bahwa jika ada badan usaha lain yang masuk ke pasar avtur Indonesia, harus dipastikan apakah avtur tersebut diproduksi dalam negeri atau diimpor.

    Jika avtur diimpor, akan ada biaya tambahan seperti transportasi, asuransi, dan pajak impor, yang kemungkinan besar akan membuat harga avtur tersebut lebih tinggi dibandingkan avtur produksi Pertamina yang sepenuhnya diproduksi di dalam negeri.

    Faktor PPN dan PNBP

    Selain faktor margin keuntungan, Alvin menyoroti bahwa ada faktor lain yang memengaruhi harga avtur, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN ini tidak hanya dikenakan pada produk avtur itu sendiri, tetapi juga pada penjualannya.

    "Pertamina Patra Niaga menjual avtur kepada maskapai, dan ada PPN lagi yang dikenakan. Besaran PPN ini bahkan lebih besar dari margin avtur itu sendiri, yaitu sekitar 11 persen, sementara margin avtur hanya 5 persen," tambah Alvin.

    Selain itu, ada komponen lain seperti Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diberikan kepada Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), serta pungutan dari pengelola bandara. Semua ini berkontribusi pada harga final avtur, sehingga mendatangkan pemain baru pun belum tentu bisa menurunkan harga secara signifikan.

    Alvin juga menekankan pentingnya memastikan kualitas avtur yang dipasok oleh pemain baru. Menurutnya, kualitas avtur dari pemasok baru harus setara dengan yang diproduksi oleh Pertamina, mengingat risiko tinggi yang terlibat.

    "Contohnya, insiden Cathay Pacific CX780 terjadi akibat kualitas avtur yang buruk. Pertamina sendiri sudah melakukan revolusi dalam sistem penyimpanan, pengiriman, dan quality control avtur mereka," jelas Alvin.

    Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menegaskan bahwa monopoli Pertamina dalam distribusi avtur harus dihentikan untuk menekan ongkos bahan bakar pesawat, yang diharapkan akan berdampak pada penurunan harga tiket penerbangan.

    "Sekarang harga avtur mulai turun karena kita sudah membuka kesempatan bagi vendor lain, tidak lagi hanya dimonopoli oleh Pertamina," ujar Luhut dalam acara Bali International Airshow 2024, Senin 19 Agustus 2024 kemarin.

    Sebenarnya, Tingginya harga tiket pesawat domestik dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti tingginya biaya operasional dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Artikel ini akan mengulas berbagai faktor yang mempengaruhi harga tiket penerbangan, meskipun beberapa di antaranya mungkin bersifat spekulatif.

    Pertama, harga avtur (bahan bakar pesawat) di Indonesia, yang dikelola oleh PT. Pertamina (Persero), lebih tinggi dibandingkan dengan harga di pasar internasional. Ketua Indonesia National Air Carrier Association (INACA) menyebutkan bahwa biaya avtur di Indonesia dapat mencapai 10-16 persen lebih tinggi dibandingkan di luar negeri.

    Karena avtur menyumbang sekitar 40-45 persen dari total biaya operasional maskapai, perbedaan harga ini tentunya berdampak signifikan pada harga tiket pesawat.

    Kedua, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga turut mempengaruhi biaya tiket. Nilai tukar yang lemah berdampak pada biaya leasing komponen pesawat, yang sebagian besar dilakukan dalam mata uang dolar AS.

    Leasing ini menyumbang sekitar 20 persen dari harga tiket pesawat, sehingga fluktuasi nilai tukar turut berkontribusi pada kenaikan harga tiket. Selain itu, pelemahan rupiah juga meningkatkan biaya operasional lainnya, seperti gaji karyawan.

    Ketiga, kenaikan harga tiket pesawat sering terjadi seiring dengan musim liburan akhir tahun dan libur sekolah. Meskipun tarif saat peak season masih tinggi, harga tiket yang ditetapkan oleh maskapai tidak melebihi tarif batas atas (TBA) yang ditentukan pemerintah.

    Meskipun demikian, harga tiket tetap menjadi masalah terkait dengan faktor lainnya yang akan dibahas berikutnya.

    Keempat, harga tiket pesawat yang tidak mengalami kenaikan sejak April 2016 juga mempengaruhi harga saat ini. Banyak komponen biaya, seperti bahan bakar pesawat, nilai tukar, dan gaji karyawan, telah meningkat sekitar 100 persen.

    Akibatnya, maskapai perlu menaikkan harga tiket untuk menutupi biaya operasional yang membengkak. Setelah musim liburan 2018, maskapai tidak menurunkan harga tiket meskipun liburan telah berakhir, yang menambah keluhan penumpang mengenai tingginya harga tiket.

    Kelima, ada dugaan adanya kartel yang secara sepakat menaikkan harga tiket pesawat. Industri penerbangan domestik Indonesia didominasi oleh dua grup besar, yakni Grup Garuda Indonesia (termasuk Garuda Indonesia, Citilink, Sriwijaya Air, dan NAM Air) serta Grup Lion Air (termasuk Lion Air, Batik Air, dan Wings Air).

    Dalam pasar oligopoli ini, kedua grup besar tersebut dapat secara bersama-sama menaikkan harga tiket pesawat, terutama untuk rute domestik yang tidak dilayani oleh maskapai internasional.

    Faktor-faktor ini menyebabkan harga tiket pesawat menjadi tinggi. Namun, perlu juga mempertimbangkan kondisi keuangan maskapai penerbangan.

    Banyak maskapai, seperti Garuda Indonesia, masih mengalami kerugian, meskipun jumlahnya menurun dari waktu ke waktu. Kondisi keuangan yang tidak stabil mendorong maskapai untuk menaikkan harga tiket sebagai upaya memperbaiki keadaan mereka.

    Setelah kenaikan harga tiket, maskapai penerbangan menghadapi kritik tajam dari penumpang. Asosiasi Perusahaan Perjalanan dan Wisata Indonesia (ASITA) juga mengeluhkan situasi ini, bahkan beberapa perusahaan tur dan travel mogok menjual tiket pesawat domestik untuk sementara waktu.

    Beberapa maskapai telah sepakat untuk menurunkan harga tiket sebesar 20-60 persen untuk mengatasi situasi ini. Masalah harga tiket pesawat bukanlah hal yang sepele, dan pemerintah perlu bekerja sama dengan maskapai untuk memastikan sektor pariwisata Indonesia tetap berkembang. Jika harga tiket domestik tinggi dan tiket internasional lebih murah, banyak orang akan lebih memilih bepergian ke luar negeri daripada menjelajahi negeri sendiri. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi