KABARBURSA.COM – Rencana pembelian 50 unit Boeing 737 Max 8 oleh Garuda Indonesia di tengah situasi keuangan yang masih rapuh dinilai berisiko tinggi.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir sebelumnya menyebut bahwa pembelian ini merupakan bagian dari kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat. Namun, pengamat BUMN Herry Gunawan menilai langkah ini justru bisa mengorbankan kelangsungan usaha Garuda.
“Soal rencana pembelian pesawat dari Amerika itu, sama saja dengan mengorbankan Garuda Indonesia yang saat ini sedang punya masalah serius di keuangan,” kata Herry kepada Kabarbursa.com, Kamis, 22 Mei 2025.
Ia khawatir para kreditur yang sebelumnya menyetujui restrukturisasi utang bisa menarik dukungan jika melihat Garuda kembali belanja modal dalam jumlah besar.
Menurut Herry, diplomasi dagang memang penting, tapi tidak seharusnya menimbulkan konsekuensi yang membahayakan sektor strategis. “Kalau pembelian Boeing ini bagian dari janji dalam negosiasi, jelas ini kebijakan yang berisiko tinggi. Garuda bisa kolaps,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa bisa saja bank BUMN atau Danantara harus turun tangan untuk menutup kerugian, dan itu berpotensi membebani keuangan negara.
Herry mengkritik indikasi intervensi pemegang saham terhadap manajemen. Ia menilai keputusan besar seperti pembelian pesawat cenderung datang dari atas, bukan dari kalkulasi manajerial internal.
“Tentu ini bukan kuasa manajemen. Kalau pemegang saham memerintahkan, ya harus patuh,” katanya.
Melihat struktur keuangan Garuda, Herry mengungkapkan bahwa sekitar 60 persen dari total liabilitas yang mencapai USD7,9 miliar berasal dari kewajiban sewa serta estimasi biaya pengembalian dan perawatan armada. Dengan beban sebesar itu, ia menilai Garuda sangat rentan jika dibebani utang tambahan.
Herry menekankan bahwa prioritas utama seharusnya adalah memperbaiki struktur keuangan, bukan ekspansi. Ia mengingatkan bahwa meskipun sempat melalui restrukturisasi 2021–2023, Garuda masih memiliki ekuitas negatif dan belum membagikan dividen selama lebih dari satu dekade.
“Dengan fundamental yang seperti ini, keputusan pembelian armada baru seharusnya dikaji lebih dalam,” tutupnya.
Kinerja Keuangan Garuda Indonesia (GIAA)
Garuda Indonesia menutup tahun buku 2024 dengan kondisi keuangan yang masih terbebani tekanan historis. Emiten berkode saham GIAA ini membukukan rugi bersih sebesar USD69,77 juta sepanjang 2024, setelah pada tahun sebelumnya sempat mencatatkan laba bersih senilai USD251,99 juta.
Pembalikan kinerja ini terutama disebabkan oleh membengkaknya beban keuangan dan tekanan dari pos beban lainnya yang mencapai USD2,71 miliar, naik signifikan dari USD2,31 miliar pada 2023.
Meski mencetak pendapatan usaha sebesar USD3,42 miliar, naik dari USD2,94 miliar pada 2023, kenaikan ini tidak cukup untuk menahan lonjakan biaya yang merusak margin keuntungan.
Kondisi neraca Garuda juga menunjukkan situasi yang belum sepenuhnya pulih. Total liabilitas per 31 Desember 2024 mencapai USD8,01 miliar, sedikit menurun dibanding akhir 2023. Namun, posisi ekuitas perusahaan tetap berada di zona negatif, yakni sebesar minus USD1,35 miliar, mengindikasikan bahwa beban utang masih jauh melampaui aset bersih perusahaan.
Hingga akhir 2024, total aset konsolidasian tercatat sebesar USD6,62 miliar, yang terdiri dari aset lancar senilai USD553,9 juta dan aset tidak lancar senilai USD6,06 miliar.
Memasuki tiga bulan pertama 2025, tekanan keuangan Garuda belum menunjukkan tanda perbaikan berarti.
Pada kuartal I 2025, perseroan mencatatkan rugi bersih sebesar USD75,93 juta, memburuk dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar USD86,82 juta. Rugi komprehensif juga melebar menjadi USD78,69 juta, mencerminkan kerugian dari perbedaan kurs penjabaran dan pos penghasilan komprehensif lainnya.
Di sisi top line, Garuda masih mampu mencetak pendapatan usaha sebesar USD723,56 juta, naik tipis dari USD711,98 juta pada kuartal I 2024.
Namun, upaya efisiensi operasional tampaknya belum cukup meredam tekanan dari sisi pembiayaan. Beban bunga dan keuangan tetap tinggi, mencapai USD124,57 juta hanya dalam tiga bulan pertama. Beban lainnya juga tercatat besar, yakni USD630,4 juta, mendominasi struktur pengeluaran perusahaan.
Per 31 Maret 2025, total liabilitas Garuda berada di angka USD7,89 miliar, dengan ekuitas tetap negatif USD1,43 miliar, menandakan bahwa maskapai pelat merah ini masih terjebak dalam posisi insolvensi teknikal. (*)