KABARBURSA.COM - Pemerhati kebijakan publik, Agus Pambagio, mempertanyakan kerja pengawasan inspektorat jenderal (Irjen) dari masing-masing kementerian dan lembaga negara terhadap anggaran stunting.
Pertanyaan itu menyusul pernyataan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Suharso Monoarfa, yang menyebut penyerapan anggaran stunting yang tidak pada porsinya.
"Iya kan tugasnya pengawas kan, tugasnya Irjen. Kalau stunting ada di Kemenkes, kemudian ada lagi di BKKBN, ada lagi di Wapres, ada lagi Menko PMK. Nah itu kan masing-masing punya Irjen. Kenapa enggak ngawasin?" kata Agus saat dihubungi Kabar Bursa, Sabtu, 15 Juni 2024.
Dengan temuan yang diungkap Monoarfa, Agus menilai, ada sistem administrasi yang bermasalah di badan pemerintahan saat ini. Apalagi, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit rutin setiap tahunnya.
"Kenapa tidak mengawasi dari awal? Itu aja. Kalau menindak itu kan harus berdasarkan audit dari BPK dan BPKP," jelasnya.
Untuk program stunting sendiri, Agus mengaku sempat melakukan pengawasan. Dia menilai, anggaran stunting kerap kali dialokasikan untuk hal yang tidak jelas sebagaimana yang terjadi pada program pemberian tambahan (PMT) tahun lalu yang memakan biaya besar tetapi angka prevalensi stunting tetap tinggi.
Apalagi, kata Agus, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sempat menyebut sebagian anggaran stunting digunakan untuk perjalanan dinas, studi banding, hingga memperbaiki pagar-pagar puskesmas. Maka tak heran, kata dia, program stunting tidak berjalan sesuai rencana.
"Nah uang itu kan Presiden yang ngomong loh, Presiden ngomong uang stunting dipakai untuk rapat dan perjalanan, 80 persen. Apa benar itu? Kan maksudnya itu tindakan nggak betul kan, harusnya untuk program, makanya program stunting tidak berjalan," ungkap Agus.
"Harusnya (anggaran) untuk program, makanya program stunting tidak berjalan," tegasnya.
Lebih jauh, Agus menilai ketidakjelasan pengalokasian anggaran terjadi karena budaya korupsi yang mengakar di tiap jenjang pemerintahan. Dia menilai, menghukum mati para koruptor dapat memberi efek jera bukan hanya pada pelaku, melainkan juga seluruh pemangku kepentingan.
"Kalau nggak (dihukum mati), ya nggak akan pernah sembuh. Bagaimana kalau APH (aparat penegak hukum) juga? Saya tidak menuduh, tapi itu sudah ada di media-media kan. Kalau APH-nya juga kotor, gimana kita mau menyapu kalau sapunya kotor kan?" pungkasnya.
Anggaran Stunting Dipakai Buat Pagar
Dalam rapat kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis, 14 Juni 2024 lalu, Suharso Monoarfa mengaku menemukan kejanggalan penerapan anggaran program stunting di daerah-daerah.
Monoarfa bahkan mengaku heran, anggaran program stunting digunakan untuk memperbaiki pagar-pagar puskesmas. "Ternyata memperbaiki pagar puskesmas. Itu terjadi, Pak. Saya bilang ini kenapa bisa terjadi? Nah itu yang tidak bisa kami lakukan (melakukan penindakakan)," kata Monoarfa dalam rapat, dikutip Sabtu, 15 Juni 2024.
Temuan yang tak kalah mengherankan, kata Monoarfa, anggaran program revolusi mental. Setelah ditelusuri, tutur dia, anggaran tersebut digunakan untuk membeli motor trail. "Saya telusuri terus, turun, turun, ujungnya adalah membeli motor trail," jelasnya.
Meski menemukan berbagai kejanggalan, Monoarfa tak kuasa melakukan penindakakan. Dia bahkan menilai, PPn/Bappenas seolah tertindih teknokratik. "Kami ngerti, tapi enggak bisa bergerak," pungkasnya.
Anggaran Kemenkeu Cegah Stunting
Sebagaimana diketahui, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menganggarkan dana sebesar Rp44,8 triliun untuk percepatan pencegahan stunting pada tahun 2022. Dana tersebut didistribusikan ke berbagai instansi, mencakup 17 kementerian dan lembaga negara dengan total alokasi sebesar Rp34,1 triliun. Selain itu, pemerintah daerah juga menerima anggaran melalui dua jenis Dana Alokasi Khusus (DAK), yaitu DAK fisik sebesar Rp8,9 triliun dan DAK nonfisik sebesar Rp1,8 triliun.
Pengalokasian dana ini merupakan bagian dari upaya komprehensif pemerintah untuk menurunkan angka stunting di Indonesia. Stunting, yang merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis, menjadi perhatian serius karena dapat berdampak panjang terhadap kualitas sumber daya manusia di masa depan. Melalui anggaran yang signifikan ini, pemerintah berkomitmen untuk memperkuat berbagai program intervensi gizi, perbaikan sanitasi, peningkatan akses terhadap pelayanan kesehatan, serta pendidikan gizi bagi masyarakat.
Kementerian dan lembaga yang terlibat dalam program ini meliputi Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kementerian Sosial, dan berbagai instansi lainnya. Setiap kementerian dan lembaga memiliki peran dan tanggung jawab spesifik dalam menjalankan program-program yang dirancang untuk menanggulangi masalah stunting. Misalnya, Kementerian Kesehatan fokus pada penyediaan suplai gizi dan layanan kesehatan ibu dan anak, sementara Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi bertanggung jawab dalam menyediakan edukasi dan sosialisasi mengenai pentingnya gizi seimbang sejak usia dini.
Di tingkat daerah, dana yang dialokasikan melalui DAK fisik digunakan untuk pembangunan dan perbaikan fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan posyandu, serta infrastruktur pendukung lainnya yang berperan dalam peningkatan kesehatan masyarakat. Sementara itu, DAK nonfisik difokuskan pada program-program pelatihan, penyuluhan, dan bantuan operasional untuk mendukung kegiatan yang langsung berkaitan dengan pencegahan stunting.
Dengan langkah-langkah yang terkoordinasi dan dukungan finansial yang memadai, diharapkan angka stunting di Indonesia dapat terus menurun, sehingga generasi mendatang dapat tumbuh dengan lebih sehat dan produktif. Upaya ini tidak hanya penting untuk meningkatkan kualitas hidup individu, tetapi juga untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan. (and/*)