KABARBURSA.COM – Pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu menilai keputusan pemerintah tidak memberi insentif mobil hybrid membawa banyak dampak buruk bagi industri otomotif di Indonesia.
Keputusan pemerintah tidak memberikan insentif mobil hybrid tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers terkait pemaparan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua.
Menteri Airlangga memastikan tidak ada lagi insentif yang diberikan kecuali battery electric vehicle (BEV). Pemerintah menilai mobil hybrid akan tetap laris terjual meski tanpa insentif. Sehingga segmen yang dinilai masih layak mendapat insentif adalah mobil listrik.
Yannes menilai, dampak paling fatal akibat dari keputusan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian ini adalah berkurangnya daya saing mobil hybrid dibandingkan BEV dan bahkan mobil internal combustion engine (ICE) atau mobil konvensional.
“Tanpa insentif, mobil hybrid akan menjadi lebih mahal dibandingkan dengan kendaraan konvensional dan BEV yang mendapat subsidi. Hal ini bisa membuat mobil hybrid kurang kompetitif di pasar, terutama segmen menengah ke bawah yang sensitive terhadap harga,” kata Yannes kepada Kabar Bursa, Senin, 12 Agustus 2024.
Ketika harga mobil hybrid tidak lagi kompetitif, lanjut dia, masyarakat kelas menengah ke bawah yang sebelumnya tertarik dengan mobil hybrid beralih ke mobil listrik murah dari Tiongkok dengan harga di bawah Rp400 jutaan.
Ia menilai, indikator ketertarikan dan mulai berpindahnya selera masyarakat ke mobil listrik Tiongkok dapat terlihat ketika pelaksanaan ajang Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2024. Di ajang tersebut, perhatian masyarakat tertuju pada mobil listrik murah yang semuanya berasal dari Tiongkok.
Respons positif pengunjung GIIAS 2024 terlihat dari banyaknya pengunjung yang ingin menjajal performa mobil listrik China ketimbang mobil listrik lain yang harganya di atas Rp400 jutaan. Melihat realitas tersebut, Yannes melihat ada perubahan preferensi masyarakat pada mobil listrik yang awalnya harus berasal dari brand terkenal beralih menjadi pertimbangan harga dan tidak lagi peduli siapa yang memasarkan.
Yannes menambahkan, keputusan pemerintah tak memberi insentif kepada mobil hybrid dapat menggagalkan upaya pemerintah dalam elektrifikasi. Karena, menurut dia, jika masyarakat tidak dapat membeli mobil hybrid yang merupakan jembatan dari konvensional ke elektrik, maka masyarakat akan tetap mencari mobil konvensional murah atau mobil listrik murah di bawah Rp400 jutaan.
Dampak lain dari ketiadaan insentif mobil hybrid adalah membuat agen pemegang merek (APM) mengkaji ulang dan membatalkan niat mereka berinvestasi di segmen mobil hybrid.
“Mereka bisa memutuskan untuk mengalihkan fokus ke BEV yang mendapatkan lebih banyak dukungan dari pemerintah atau bahkan mempertimbangkan untuk menghentikan produksi mobil hybrid di Indonesia,” ujarnya.
Pasar Mobil Hybrid di Indonesia
Salah satu alasan banyak APM memutuskan berinvestasi di segmen hybrid adalah karena memiliki pasar yang cukup menjanjikan di Indonesia. Sambutan masyarakat pada mobil hybrid dapat terlihat dari capaian penjualannya selama semester pertama tahun 2024.
Menurut data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil hybrid di Indonesia menunjukkan lonjakan signifikan selama semester pertama tahun 2024. Dari Januari hingga Juni 2024, total penjualan mobil hybrid secara wholesales, yaitu dari pabrikan ke dealer, telah mencapai 25.791 unit. Angka ini mencatat kenaikan sebesar 49 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya, di mana penjualan mobil hybrid berada di angka 17.035 unit.
Walaupun penjualan mobil hybrid belum menyamai angka penjualan Battery Electric Vehicles (BEV), hasil penjualan ini tetap menggembirakan mengingat pasar otomotif di Indonesia saat ini sedang mengalami penurunan. Penjualan mobil baru secara keseluruhan pada semester pertama tahun 2024 merosot sebesar 19,4 persen, dari 506.427 unit pada tahun 2023 menjadi 408.012 unit pada tahun 2024.
Dalam periode yang sama, model mobil hybrid dengan penjualan tertinggi adalah Toyota Kijang Innova Zenix hybrid, yang berhasil terjual sebanyak 10.074 unit. Posisi kedua ditempati oleh Suzuki XL7 hybrid dengan penjualan mencapai 4.943 unit. Di tempat ketiga, Suzuki Ertiga mencatat penjualan sebesar 2.391 unit.
Toyota kembali mendominasi di posisi keempat dengan Toyota Yaris Cross hybrid yang terjual sebanyak 2.077 unit. Honda CR-V e:HEV menempati posisi kelima dengan total penjualan 1.639 unit.
Dengan hasil ini, mobil hybrid kini menguasai 68 persen dari total pasar mobil listrik nasional yang mencapai 37.731 unit. Meskipun pertumbuhan mobil hybrid masih kalah dibandingkan dengan mobil listrik, yang mengalami kenaikan sebesar 104 persen dari Januari hingga Juni 2024 dengan total penjualan 11.940 unit year on year, capaian mobil hybrid tetap mencerminkan tren positif di pasar otomotif Indonesia.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.