Logo
>

Pengganti Pertalite, Berapa Harga Pantas untuk Bioetanol?

Ditulis oleh Syahrianto
Pengganti Pertalite, Berapa Harga Pantas untuk Bioetanol?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan harga acuan bioetanol di Indonesia senilai Rp14.528 per liter pada 1 Mei 2024. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) menilai jika bahan bakar bioetanol menjadi pengganti Pertalite, maka pemerintah harus melakukan penyesuaian harga. Berapa harga yang pantas?

    Saleh Abdurrahman, anggota BPH Migas, menyampaikan penyesuaian harga memang perlu dilakukan oleh pemerintah agar mendapatkan harga sesuai guna mendukung penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang lebih ramah lingkungan secara massal.

    "Untuk membuat harga bahan bakar alternatif seperti yang akan menggantikan Pertalite atau Pertamax menjadi lebih terjangkau, langkah yang bisa diambil adalah dengan menghapuskan cukai untuk etanol, bahan baku dari bioetanol. Dukungan seperti ini penting untuk pengembangan bioetanol sebagai bagian dari energi terbarukan, sebagaimana yang telah dilakukan untuk biodiesel," kata dia, Senin, 6 Mei 2024.

    Perlu dicatat bahwa saat ini harga Pertalite, sebuah jenis BBM khusus penugasan (JBKP), didukung oleh skema kompensasi dari anggaran negara, ditetapkan dengan harga tetap Rp10.000 per liter. Sementara itu, harga Pertamax 92, yang seharusnya mengikuti fluktuasi harga minyak dunia, sedang tetap pada level Rp12.950 per liter hingga Juni.

    Di sisi lain, harga Pertamax Green 95, yang juga dikenal sebagai bioetanol non-subsidi atau non-public service obligation (PSO), telah ditetapkan sebesar Rp13.500 per liter di beberapa SPBU Pertamina. Pertamax Green 95 merupakan proyek pilot uji pasar untuk bioetanol komersial pertama yang dicanangkan oleh pemerintah.

    Saleh mengemukakan bahwa Indonesia bisa mempertimbangkan kebijakan Malaysia dan Thailand yang memberikan subsidi untuk bahan bakar berkualitas tinggi. Bahkan, menurutnya, Thailand juga memberikan subsidi untuk bioetanol.

    Di sisi lain, dengan menghilangkan cukai etanol, harga bahan bakar bioetanol dianggap sudah cukup bersaing untuk menggantikan bahan bakar non-subsidi seperti Pertamax.

    "Langkah ini akan membantu dalam menstabilkan harga jual produk Pertamina. Dengan Pertamax Green 95 yang menggunakan bioetanol, bahan bakar tersebut dianggap sebagai jenis bahan bakar umum, sehingga harganya mencerminkan kondisi ekonomi. Namun, kita perlu mencari pilihan terbaik untuk pasokan bioetanol, apakah itu dari dalam negeri atau impor yang terbatas, sampai produksi dalam negeri mencukupi untuk mencampur E5 (etanol 5 persen) atau lebih," ujarnya.

    Saleh mengatakan, usulan penghapusan cukai sebelumnya telah disampaikan oleh PT Pertamina (Persero). Pembahasan mengenai cukai etanol sebelumnya pernah disinggung oleh Pertamina. Perusahaan pelat merah itu meminta pemerintah menghapuskan cukai etanol yang akan digunakan sebagai bahan baku bauran bioetanol untuk bahan bakar minyak (BBM) ramah lingkungan, termasuk konversi Pertalite menjadi Pertamax Green 92.

    Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengutarakan produksi bensin bauran bioetanol perseroan saat ini bukan ditujukan untuk mencari untung. Sebab, komoditas etanol masih dikenai cukai Rp20.000 per liter lantaran dianggap sebagai produk alkohol.

    “Jadi kami minta pembebasan cukai supaya kita bisa dorong karena manfaatnya sangat besar. Kita melihat dari sisi regulasi sebenarnya sudah ada. Mandatorinya itu dimulai dari 2015 dengan E2 (bauran etanol 2 persen),  pada 2016 secara aturan  harusnya naik jadi E5, lalu 2020 menjadi E10, dan secara gradual meningkat sampai 2025 itu E20," ujarnya.

    Menurut Kementerian ESDM, pembahasan mengenai penyesuaian cukai etanol, yang akan digunakan sebagai bahan baku dalam campuran bioetanol untuk menghasilkan bahan bakar yang ramah lingkungan sebagai alternatif untuk Pertalite/Pertamax, masih sedang berlangsung.

    Eniya Listiani Dewi, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukkan dan Konservasi Energi (EBTKE) di Kementerian ESDM, menyatakan bahwa permasalahan terkait cukai etanol belum terselesaikan oleh kementerian yang bertanggung jawab, yaitu Kementerian Keuangan.

    Eniya menekankan bahwa penyesuaian kebijakan cukai perlu dilakukan karena etanol sebelumnya belum pernah diperdagangkan sebagai bahan baku untuk bahan bakar, melainkan hanya untuk keperluan lain seperti alkohol.

    "Pemerintah masih belum menyelesaikan perihal cukai ini. Kami mengusulkan agar cukai tersebut diselesaikan terlebih dahulu sebelum langkah selanjutnya," ujarnya.

    Pertamina telah mengonfirmasi keterlibatan mereka dalam Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, sesuai dengan mandat yang tercantum dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 15/2024.

    Sementara itu, CEO PT Pertamina New & Renewable Energy (PNRE), John Anis, menyatakan bahwa perusahaan akan memainkan peranannya dalam menyediakan etanol sebagai bahan baku untuk bahan bakar bioetanol, yang dikenal dengan nama Pertamax Green.

    Meskipun begitu, John menyebut bahwa perusahaan belum menetapkan secara pasti tingkat research octane number (RON) dari Pertamax Green yang diproduksi dari sumber daya di Merauke, yang akan digunakan sebagai pengganti Pertalite atau Pertamax.

    "Pemerintah berharap akan ada campuran dengan etanol, dan etanol akan kami pasok. Kami masih mengevaluasi (RON 95 atau 92) mana yang lebih ideal. Namun, yang pasti, campuran akan dilakukan, dan kami masih dalam tahap mempertimbangkan apakah 10, 15, atau 20 persen? Ini masih menjadi bahan diskusi," ujar John pada awal pekan sebelumnya.

    Selain itu, John memastikan bahwa mereka telah mendengar dan berkomunikasi mengenai rencana pemerintah untuk mengganti Pertalite atau Pertamax dengan bahan bakar bioetanol pada tahun 2027.

    Dalam konteks ini, Pertamina akan berusaha mencapai target yang ditetapkan pemerintah untuk menggantikan Pertalite atau Pertamax dengan bahan bakar bioetanol pada tahun 2027.

     

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.