KABARBURSA.COM - Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menegaskan pentingnya penerapan teknologi dalam pengelolaan pertanian untuk memperkuat pasokan pangan Indonesia.
"Teknologi mampu menjadikan pertanian Indonesia jauh lebih kuat dan tahan terhadap berbagai ancaman," ungkap Mentan dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Mentan mengungkapkan bahwa dirinya telah meninjau langsung proses uji alat mesin pertanian (Alsintan) untuk produksi massal di Balai Besar Pengujian Standar Instrumen Mekanisasi Pertanian (BBPSI Mektan) Serpong, Tangerang Selatan, Banten.
Amran juga mendorong penggunaan teknologi dan mekanisasi secara masif guna menekan biaya produksi secara signifikan, sehingga mampu meningkatkan produktivitas secara maksimal.
"Pertanian itu harus dibuat sederhana, simpel, murah, dan terjangkau. Dan yang pasti, petani harus kita giring untuk berbisnis. Makanya mereka harus diberi untung," tegas Mentan.
Saat ini, BBPSI Mektan telah menyelesaikan proses uji alat mesin pertanian terhadap pompa. Di sana, Mentan juga meninjau langsung uji lapang jajar legowo (jarwo) transplanter. Semua alat tersebut direncanakan akan dipasarkan dengan harga yang terjangkau.
"Alur alokasinya bisa kita kolaborasikan dengan swasta atau membuatnya secara massal. Yang terpenting, selesaikan dulu apa yang sudah kita kerjakan ini agar bisa menjangkau petani di seluruh Indonesia," katanya.
Mentan menyatakan bahwa peralatan yang telah masuk tahap uji ini nantinya akan dijual dengan harga yang terjangkau bagi petani. Harga tersebut bisa jauh lebih murah jika pasar dan skema penjualan sudah menemukan kecocokan.
"Tadi saya tanya harga satu unitnya 17 juta, tapi saya bilang kalau di bawah 10 juta bisa tidak, atau bahkan 5 juta. Sebab kalau ini terjadi yakinlah kita bisa swasembada. Bayangkan, satu hektare bisa selesai dalam satu hari, kalau dulu 20 orang satu hari. Artinya, ini pertanaman yang sangat efisien tapi bisa meningkatkan keseragaman tanam," jelasnya.
Mentan berharap, ke depan, pertanian Indonesia bisa menjadi contoh bagi pertanian dunia. Artinya, mulai dari mengolah lahan, menanam, memupuk, sampai memanen, semuanya sudah menggunakan teknologi dan mekanisasi yang diproduksi di dalam negeri.
"Ke depan kita harus menggunakan teknologi karena milenial akan ikut bekerja manakala pertanian kita sudah menguntungkan dengan perlengkapan modern," katanya.
Kementerian Pertanian terus mengupayakan program Perluasan Areal Tanam (PAT) melalui optimalisasi lahan dan pompanisasi sebagai langkah peningkatan produksi pangan guna mewujudkan swasembada pangan.
"Hal ini dalam menghadapi dampak perubahan iklim seperti kekeringan atau fenomena El Niño yang berkepanjangan," tambahnya.
Sementara itu, Kepala BSIP Fadjry Djufry menjelaskan bahwa dalam melakukan pengujian pompa, BSIP mengacu pada SNI ISO/IEC 17025:2017, termasuk manajemen sistem, kompetensi teknis personel, validitas metode pengujian, serta keandalan hasil pengujian.
“Setiap pengujian kami dipastikan telah sesuai dengan standar nasional dan internasional yang berlaku, sehingga dapat memberikan hasil uji yang akurat dan dapat dipercaya,” ujar Fadjry.
Sejumlah Tantangan
Peneliti Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, menyampaikan penerapan teknologi digital pada sektor pertanian memiliki sejumlah tantangan.
Eliza menyebut, salah satu rintangan yang bakal dihadapi adalah kemampuan petani dalam beradaptasi dalam penggunaan teknologi tersebut.
“Tantangan dalam menerapkan teknologi digital ini adalah kemampuan petani beradaptasi,” katanya kepada Kabar Bursa, Senin 20 Mei 2024.
Selain itu, Eliza menyebut petani juga dihadapkan dengan kecukupan modal finansial. Menurut dia, upah sektor pertanian relatif kecil dibandingkan upah sektor lain seperti keuangan, industri dan pertambangan.
“Bahkan sektor pertanian upahnya menempati kedua terendah dibandingkan sektor-sektor lainnya,” tandasnya.
Lebih lanjut Eliza menilai, mayoritas petani Indonesia merupakan petani pangan skala kecil, yang mana tingkat kesejahteraannya di bawah petani hortikultura dan perkebunan.
Kata dia, adaptasi teknologi saat ini sudah relatif bnyk diterapkan oleh korporasi perusahaan agribisnis, sebagian petani hortikultura.
‘Akan sulit jika berharap pertanian presisi di sektor pangan terutama dapat berjalan, jangankan untuk investasi di teknologi, petani pangan untuk membiayai kehidupan sendiri pun tidak cukup pendapatan dari sektor pertanian aja. Mereka harus memiliki side job,” jelas dia.
Eliza pun menegaskan, penerapan teknologi di sektor pertanian memerlukan dukungan dari pemerintah atau dari swasta. Hal ini, tutur dia, untuk menjalin kemitraan dengan petani, bukan menjadikan petani sebagai buruhnya semata.
Terkait penggunaan teknologi pada sektor pertanian, juga pernah disinggung oleh Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa.
Andreas menyinggung terkait kesejahteraan dari petani di Indonesia. Menurutnya, para petani tidak bisa mengadopsi sebuah teknologi baru jika kesejahteraannya belum terpenuhi.
Hal yang dimaksud dia adalah keadaan finansial petani. Soalnya, ketika petani memiliki kemampuan finansial, maka mereka bisa mengadopsi teknologi baru.
“Kalau kesejahteraan petani meningkat, semua itu akan teradopsi dengan sendirinya, mau teknologi apapun itu. Petani itu akan mengadopsi ketika kesejahteraannya meningkat, daya beli produknya relatif bisa mensejahterakan mereka,” jelasnya kepada Kabar Bursa.
Namun kenyataannya, Andreas menyampaikan kesejahteraan petani saat ini masih memperihatinkan. Dalam 10 tahun terakhir misalnya, produksi padi turun sebesar satu persen setiap tahun.
Selain itu, dia menyatakan harga jual produk petani di tingkat nusa tani masih mengalami penurunan, terutama untuk tanaman pangan.
“Lalu bagaimana petani mau (mengadopsi) teknologi, untuk modal tanam saja masih sangat kesulitan karena harga jual produk yang dihasilkan lebih rendah,” tukas dia.