Logo
>

Pengusaha Ritel Keberatan soal Zonasi Penjualan Tembakau

Ditulis oleh Pramirvan Datu
Pengusaha Ritel Keberatan soal Zonasi Penjualan Tembakau

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) menyampaikan keberatan terkait aturan zonasi penjualan produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan. RPP Kesehatan ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

    Ketua Dewan Penasihat Hippindo, Tutum Rahanta menyayangkan polemik aturan tembakau dalam RPP Kesehatan yang masih menjadi perdebatan. Menurutnya, aturan produk tembakau yang berlaku saat ini sudah baik dari segi peraturan dan implementasinya. Pelaku usaha juga telah mematuhi aturan penjualan produk tembakau sesuai ketentuan yang ada.

    "Aturan yang berlaku saat ini untuk tata cara penjualan rokok sudah komprehensif. Dengan memperketat aturan tembakau dalam RPP Kesehatan seperti zonasi 200 meter dari pusat pendidikan dan tempat bermain anak, ini akan menjadi sangat bias dan menimbulkan ketidakpastian di lapangan," ujar Tutum dalam keterangannya di Jakarta, Kamis 4 Juli 2024.

    Sebagai salah satu komoditas yang diperjualbelikan di ritel, produk tembakau memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan usaha. Pada 2023, estimasi total nilai penjualan produk tembakau nasional di ritel modern mencapai Rp40 triliun. Jika aturan ini disahkan, diperkirakan lebih dari setengah pendapatan tersebut akan hilang.

    Ratusan ribu ritel modern akan terdampak oleh aturan zonasi 200 meter dari tempat pendidikan dan tempat bermain anak. Tutum juga menilai bahwa aturan penjualan produk tembakau dalam RPP Kesehatan akan mengganggu keberlangsungan usaha yang sebelumnya sudah berjalan dengan baik.

    "Jika penjualan diganggu, pasti akan timbul kesempatan lain. Saya kira nanti akan timbul penjualan produk tembakau di pasar gelap dan membludak sehingga pemerintah akan sulit untuk mengontrol peredarannya," ungkapnya.

    Aturan zonasi 200 meter untuk penjualan produk tembakau, menurutnya, belum tentu dapat dikontrol dampaknya di lapangan dan akan menimbulkan ketidakpastian usaha. Ia menekankan pentingnya memastikan agar tidak ada aturan baru bagi produk tembakau yang mengganggu penjualan peritel.

    "Selama barang yang dijual adalah produk legal, sebaiknya diatur saja, tetapi jangan sampai mengganggu proses penjualannya di lapangan. Implementasi dari aturan tembakau di RPP Kesehatan berpotensi menimbulkan perdebatan dan ketidakpastian," tutur Tutum.

    Tutum menjelaskan, dari sisi peritel, kekhawatiran juga muncul terkait potensi penindakan petugas yang bisa merazia penjualan produk tembakau. Hal ini berpotensi mengganggu kehidupan peritel, sementara produk tembakau merupakan komoditas yang menyumbang penerimaan negara secara signifikan.

    Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) tercatat sebesar Rp213,48 triliun pada periode 2023. Dengan angka penerimaan CHT sebesar itu, aturan tembakau dalam RPP Kesehatan menjadi kontradiktif dengan pemanfaatan cukai yang berkontribusi besar terhadap penerimaan negara.

    Produksi Rokok Kretek

    Petani cengkeh semakin lantang menyuarakan tuntutan mereka agar diakui dalam alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT). Keluhan ini muncul karena mereka merasa diabaikan, meskipun cengkeh merupakan komponen penting dalam produksi rokok kretek yang menjadi objek cukai utama.

    Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJSUI) pada 2020 menunjukkan bahwa kesejahteraan petani tembakau, terutama petani swadaya, masih belum tercapai. Salah satu penyebab utama adalah ketidakberdayaan mereka dalam rantai tata niaga tembakau.

    Penelitian lebih lanjut pernah dilakukan Wakil Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis UGM, Gumilang Aryo Sahadewo, dan timnya pada 2016 dan 2021. Mereka menemukan bahwa pendapatan petani tembakau cenderung lebih bergejolak dibandingkan dengan petani non-tembakau.

    Riset senada dilakukan oleh Muhammadiyah Tobacco Control Center pada Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian mereka mengungkapkan, di Jawa Tengah, salah satu provinsi penghasil tembakau terbesar di Indonesia, kesejahteraan petani tembakaunya masih rendah. Berbagai faktor mempengaruhi produksi tembakau di daerah ini. Hasil penelitian lembaga riset Muhammadiyah ini menunjukkan hampir 90 persen petani tembakau di Temanggung menyatakan sistem tata niaga yang ada kurang berpihak pada mereka.

    Kebijakan DBH CHT

    Menanggapi hal itu, Anggota Komisi XI DPR RI, Didi Irawadi Syamsuddin, menyoroti studi dari Universitas Indonesia yang menunjukkan bahwa meskipun petani tembakau menerima DBH CHT, kesejahteraan mereka belum terjamin. Hal ini menunjukkan adanya permasalahan serius yang perlu segera diatasi.

    “Studi dari Universitas Indonesia yang menyimpulkan bahwa petani tembakau yang merupakan penerima satu-satunya dari hasil cukai tersebut belum sejahtera menunjukkan adanya permasalahan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah,” kata Didi kepada  Kabar Bursa.

    Didi mengusulkan sejumlah langkah untuk memastikan petani cengkeh juga dapat menikmati manfaat dari DBH CHT. Ia menekankan pentingnya evaluasi kebijakan saat ini untuk mencakup petani cengkeh.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Pramirvan Datu

    Pram panggilan akrabnya, jurnalis sudah terverifikasi dewan pers. Mengawali karirnya sejak tahun 2012 silam. Berkecimpung pewarta keuangan, perbankan, ekonomi makro dan mikro serta pasar modal.