Logo
>

Peredaran Uang di Bulan Mei 2024 Rp8.965 Triliun

Ditulis oleh Dian Finka
Peredaran Uang di Bulan Mei 2024 Rp8.965 Triliun

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa likuiditas perekonomian, yang mengacu pada uang beredar dalam arti luas (M2) Indonesia, mengalami peningkatan pada bulan Mei 2024.

    Menurut Asisten Gubernur BI Erwin Haryono, data yang baru dirilis oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa posisi M2 mencapai Rp8.965,9 triliun, mengalami kenaikan sebesar 7,6 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Angka ini mengungguli pertumbuhan bulan sebelumnya yang mencapai 6,9 persen.

    Erwin menjelaskan bahwa pertumbuhan M2 didorong terutama oleh kenaikan uang beredar sempat (M1) sebesar 6,3 persen dan uang kuasi sebesar 8,8 persen.

    "Faktor utama yang mendukung pertumbuhan M2 adalah penyaluran kredit yang meningkat 11,4 persen pada bulan Mei 2024, meskipun sedikit lebih rendah dari bulan sebelumnya yang mencapai 12,3 persen," kata Erwin Haryono di Jakarta, Jumat, 21 Juni 2024.

    Selain itu, aktivitas luar negeri bersih juga menunjukkan perbaikan dengan pertumbuhan sebesar 0,6 persen, mengimbangi kontraksi sebesar 1,1 persen pada bulan sebelumnya.

    Erwin menekankan bahwa pertumbuhan M2 yang kuat mencerminkan dinamika dalam aktivitas ekonomi Indonesia di tengah tantangan global dan domestik. Bank Indonesia terus memantau perkembangan ini untuk menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan negara.

    Peningkatan M2 memiliki dampak yang bisa bersifat positif maupun negatif. Di antara dampak positifnya adalah meningkatkan konsumsi rumah tangga dan mendorong investasi, sementara dampak negatifnya mencakup potensi inflasi dan pelemahan nilai tukar rupiah.

    Bank Indonesia tetap berkomitmen untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan negara seiring dengan perkembangan M2 yang terus dipantau.

    Nilai Tukar Rupiah dampak BR Rate

    Pelemahan nilai tukar rupiah mencapai titik terlemah dalam empat tahun terakhir. Pada penutupan perdagangan Kamis, 20 Juni 2024 kemarin, rupiah mencapai level baru yaitu Rp16.430 per dolar AS.

    Pelemahan terjadi setelah Bank Indonesia (BI) melalui hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Kamis, 20 Juni 2024, memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate pada level 6,25 persen. Meski sesuai ekspektasi mayoritas ekonom, namun reaksi pasar menunjukkan kekecewaan terhadap pengumuman tersebut.

    Investor asing juga menunjukkan kekecewaan yang sama, terlihat dari pergerakan rupiah di pasar offshore di mana kontrak forward NDF rupiah mencatatkan rekor terlemah baru di semua jangka waktu. NDF rupiah untuk jangka waktu 1 bulan bahkan ditutup pada Rp16.507 per dolar AS, Kamis, 20 Juni malam di pasar New York.

    Menurut analis, pernyataan Gubernur BI Perry Warjiyo yang menyatakan potensi penguatan rupiah di masa mendatang menuju di bawah Rp16.000 per dolar AS didukung oleh fundamental ekonomi Indonesia yang kuat, dianggap terlalu meremehkan risiko fiskal dan pelebaran defisit transaksi berjalan yang dapat mengancam nilai tukar rupiah ke depan.

    "Sebagai akibatnya, rupiah spot terdepresiasi 0,4 persen dan di pasar forward melemah 0,6 persen menjadi Rp16.507 per dolar AS. Investor asing menilai bahwa BI mengabaikan risiko fiskal dan pelebaran defisit transaksi berjalan yang berpotensi melemahkan rupiah,” ujar tim riset Mega Capital Sekuritas.

    Dalam pernyataannya pada konferensi pers kemarin, Perry bilang, BI rate di 6,25 persen masih memadai di mana investor asing sejauh ini masih melakukan pembelian instrumen Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp39,96 triliun pada 22 Mei-19 Juni lalu sehingga total kepemilikan asing di instrumen jangka pendek berbunga tinggi itu kini mencapai Rp179,86 triliun.

    Perry juga menyatakan keyakinannya bahwa rupiah akan menguat di masa mendatang di bawah Rp16.000 per dolar AS didukung oleh fundamental ekonomi RI yaitu inflasi yang rendah, pertumbuhan ekonomi relatif baik, pertumbuhan kredit bank yang double digit serta imbal hasil investasi yang menarik di atas 7 persen.

    Dalam pandangan Bahana Sekuritas, peluang penguatan rupiah terbuka bila melihat penyebab kejatuhan rupiah belakangan ini. Tekanan yang dialami rupiah saat ini salah satunya adalah karena permintaan dolar AS yang memuncak di mana kuartal dua memang secara historis menjadi masa padat demand valas.

    Baru-baru ini ada kontrak forward (DNDF) yang jatuh tempo senilai USD600 juta yang tidak bisa diperpanjang. Itu menggiring para pelaku pasar menyerbu pasar spot untuk mencari dolar AS di tengah perburuan dolar juga oleh korporasi yang terdesak kebutuhan membayar dividen, lalu belanja rutin valas Pertamina untuk impor migas.

    Pada saat yang sama, para hedge fund dan bank asing yang membangun posisi jual (short) USD/IDR terpaksa melakukan shortcover posisi mereka.

    “Posisi itu dibangun pada akhir Mei ketika indeks dolar AS turun 1 persen dalam sepekan dengan imbal hasil Treasury yang sedikit lebih rendah. Berkebalikan dengan ekspektasi para trader, rupiah tidak menguat dibanding valuta emerging market lain bahkan melemah dari Rp16.090 per dolar AS menjadi Rp16.400 per dolar AS karena tingginya permintaan valuta asing di dalam negeri,” kata Satria Sambijantoro, Head of Equity Research Bahana Sekuritas.

    Faktor-faktor itu sifatnya jangka pendek sehingga begitu hal itu berakhir, rupiah berpeluang menguat seiring permintaan valas yang menurun. Hanya saja, bila dolar AS terus menguat akibat situasi di pasar global, BI sebaiknya tetap waspada karena hal yang terjadi pada Oktober lalu bisa kembali terulang.

    Untuk sementara mengimbangi tekanan global, langkah BI mengoptimalkan SRBI dengan mengimingi level bunga tinggi masih menjadi pilihan paling masuk akal, selain mengintervensi pasar spot, DNDF juga pasar surat utang negara.

    BI mencatat, per 14 Juni, mereka telah menerbitkan SRBI senilai Rp666,5 triliun, lalu SVBI dan SUVBI sebesar USD2,03 miliar dan USD935 juta. Asing menguasai 27 persen total outstanding SRBI.

    “Instrumen ini memang memicu efek crowding out likuiditas di pasar karena menggeser kurva imbal hasil dan menaikkan yield di pasar sekunder. Namun, sepertinya saat ini instrumen-instrumen inilah yang menjadi pilihan paling mungkin sekarang,” tandas Satria. (ian/*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.