KABARBURSA.COM - PT Pertamina Patra Niaga mengungkapkan akan memperluas stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang menjual Pertamax Green 95 mulai dari Surabaya, Jawa Timur hingga ke Jawa Tengah.
Mars Ega Legowo, Direktur Pemasaran Regional Pertamina Patra Niaga, menuturkan hingga April 2024, setidaknya terdapat 65 titik SPBU yang menjual Pertamax Green 95 yang tersebar di DKI Jakarta, Surabaya dan Malang di Jawa Timur.
“Sudah sekitar 65 titik, Jakarta, Surabaya, sampai Malang. (Malang) masih sedikit, tetapi (fokus) masih di Jakarta dan Surabaya. Kita akan ekspansi di Surabaya ke arah selatan. Mungkin Jawa Tengah ya (setelah Malang),” ujar Mars Ega, Sabtu, 25 Mei 2024.
Namun, Mars Ega menggarisbawahi ekspansi tersebut tidak serta-merta mengindikasikan penarikan Pertalite. Menurutnya, hal tersebut merupakan rencana perseroan secara komersial untuk menjual Pertamax Green dengan tingkat research octane number (RON) 95.
Hal ini juga seiring dengan jumlah permintaan Pertamax Green 95 yang banyak. “Pertamina itu (sebelumnya) tidak punya RON 95 ya, baru Pertamax Green ini. Sehingga secara korporasi kita juga ingin bermain di segmen tersebut.”
“Kita memberikan produk yang lebih baik karena lebih ramah lingkungan Pertamax Green 95. Jadi tidak ada kaitannya (dengan penarikan Pertalite). Ini menambah varian aja,” ujarnya.
Sebelumnya, Pertamina mengonfirmasi keterlibatannya di Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan; sesuai dengan mandat Keputusan Presiden (Keppres) No. 15/2024.
Terpisah, John Anis, CEO PT Pertamina New & Renewable Energy, menyampaikan bahwa perseroan bakal berperan dalam menyediakan etanol yang merupakan bahan baku dari bahan bakar bioetanol, yakni Pertamax Green.
Namun, John mengatakan, perseroan masih belum memastikan tingkat research octane number (RON) dari Pertamax Green yang diproduksi dari sumber daya di Merauke, yang nantinya bakal digunakan sebagai pengganti bahan bakar minyak (BBM) Pertalite atau Pertamax.
“Pemerintah mengharapkan ada bauran dengan etanol, etanol akan disuplai dari kami. Masih kita lihat (RON 95 atau 92) mana yang paling baik. Namun, yang jelas nanti akan dicampur, kita juga masih mikir, 10 persen, 15 persen atau 20 persen? masih kita diskusikan,” ujar John.
Sementara itu, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengonfirmasi pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan memang bertujuan untuk menyiapkan bahan baku biofuel pengganti Pertalite atau Pertamax yang bakal mulai digunakan pada 2027.
Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Yuliot mengungkapkan pemerintah saat ini tengah melakukan persiapan lapangan, sehingga target produksi bahan baku tebu untuk bahan bakar berbasis bioetanol pengganti Pertalite atau Pertamax bisa tercapai pada 2027.
“Penyediaan bioetanol yang berasal dari fermentasi tetes (tebu/molasses) digunakan untuk pengganti Pertamax atau Pertalite. (Bioetanol pengganti Pertalite atau Pertamax bisa digunakan) sesuai dengan rencana produksi di Merauke pada 2027,” ujar Yuliot.
Pembatasan Solar dan Pertalite
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai pemerintah harus tegas dalam melakukan pengendalian terhadap bahan bakar minyak (BBM) yang mendapatkan subsidi dan kompensasi, seperti Solar dan Pertalite.
Senior Ekonom Indef Tauhid Ahmad menilai hal tersebut bisa dilakukan dengan membatasi jenis kendaraan yang berhak menggunakan Pertalite, seperti melarang seluruh kendaraan roda empat dan sebagian kendaraan roda dua untuk menggunakan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) tersebut.
“Kita sepakat dengan kebijakan pemerintah soal subsidi tepat sasaran, ya kalau mau tepat seperti itu, yang berhak subsidi bukan yang roda empat dan sebagian roda dua,” ujar Tauhid.
“Kalau Pertalite yang tidak tepat sasaran sebenarnya lebih banyak ke roda empat, itu jelas masyarakat sangat mampu, sehingga subsidinya itu bahkan kalau bisa ya seluruh roda empat ya tidak boleh menggunakan Pertalite," ungkapnya.
Di sisi lain, Tauhid menggarisbawahi pembatasan tersebut bakal menyebabkan kenaikan tarif transportasi yang pada akhirnya menyebabkan lonjakan inflasi pada tahun pertama penerapan pembatasan tersebut.
Namun, Tauhid mengatakan inflasi tersebut tergolong tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan pembatasan untuk kendaraan roda dua. Selain itu, dia berpendapat nantinya bakal terdapat penyesuaian setelah pembatasan tersebut.
Di sisi lain, pemerintah bisa mengalihkan biaya kompensasi untuk Pertalite yang tidak tepat sasaran untuk membangun transportasi umum.
“Daripada kita utang misalnya ke China, ke mana, ya bangunlah MRT yang banyak, bukan jalurnya itu saja tetapi yang lain, di kota lain dan sebagainya, itu akan jauh feasible, jadi bukan subsidi, tetapi transportasi publik, sehingga ya masyarakat semua bisa mendapatkan layanan,” ujarnya.