KABARBURSA.COM - Maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam beberapa tahun terakhir menjadi sinyal bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih timpang dan tidak inklusif. Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyoroti bahwa ketidakseimbangan dalam struktur ekonomi telah berdampak pada sektor-sektor yang bergantung pada konsumsi domestik.
"Sektor-sektor seperti UMKM dan pariwisata mengalami tekanan akibat daya beli masyarakat yang melemah," kata Achmad kepada KabarBursa.com di Jakarta, Jumat 21 Maret 2025.
Menurutnya, inflasi harga pangan dan energi yang melonjak pada 2023-2024 memperburuk beban rumah tangga. Meskipun inflasi mulai terkendali, upah riil pekerja tidak mengalami kenaikan signifikan, sehingga konsumsi rumah tangga tetap lesu.
Lebih lanjut, Achmad menjelaskan bahwa ketimpangan dalam pertumbuhan ekonomi menjadi faktor utama mengapa pemulihan tidak merata.
"Pertumbuhan yang digerakkan oleh ekspor komoditas dan industri padat modal tidak menyentuh sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja. Banyak perusahaan justru melakukan efisiensi melalui otomatisasi, bukan menciptakan lapangan kerja baru," jelasnya.
Dampaknya, angka pengangguran terbuka (TPT) tetap tinggi, terutama di kalangan pemuda dan lulusan baru. "Alih-alih menciptakan lapangan kerja baru, banyak perusahaan justru melakukan efisiensi melalui otomatisasi," tambahnya
"PHK di sektor formal juga mendorong pergeseran ke sektor informal, yang umumnya menawarkan upah rendah dan tidak ada jaminan sosial," lanjutnya.
Surplus Neraca Dagang Tak Cukup, Ketimpangan Melebar
Di sisi lain, Achmad mengapresiasi langkah pemerintah dalam menjaga surplus neraca dagang melalui diversifikasi pasar ekspor dan insentif bagi industri nonmigas. Namun, ia mengingatkan bahwa fokus berlebihan pada pertumbuhan ekspor tanpa memperkuat ekonomi domestik dapat memperlebar ketimpangan.
"Program seperti hilirisasi mineral memang strategis, tetapi implementasinya perlu dipercepat agar nilai tambah benar-benar dirasakan oleh masyarakat, bukan hanya korporasi besar," ujar Achmad.
Selain itu, kebijakan untuk meningkatkan daya beli, seperti bantuan sosial dan subsidi energi, dinilai masih bersifat sementara. Jika tidak disertai dengan perbaikan sistemik, seperti peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan vokasi, Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran tenaga kerja murah dan ekspor bahan mentah.
"Pemerintah perlu merancang strategi industri yang memprioritaskan sektor padat karya berbasis teknologi agar ekspansi manufaktur bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja," tambahnya.
Menuju Ekonomi yang Lebih Inklusif
Achmad menekankan bahwa surplus neraca dagang selama 58 bulan berturut-turut bukanlah tujuan akhir yang mencerminkan kesejahteraan masyarakat. Ia mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi di masa lalu sering kali tidak diikuti oleh pemerataan kesejahteraan.
"Kebijakan perdagangan harus selaras dengan agenda penguatan domestik. Pemerintah perlu mendorong industrialisasi yang inklusif, di mana ekspor produk bernilai tambah tinggi berjalan beriringan dengan peningkatan kapasitas SDM dan perluasan lapangan kerja berkualitas," tuturnya.
Achmad menekankan bahwa stimulus fiskal harus difokuskan untuk membangkitkan konsumsi rumah tangga. Menurutnya, insentif bagi UMKM dan perlindungan sosial bagi pekerja rentan perlu menjadi prioritas utama. Ia juga mengingatkan bahwa jika daya beli masyarakat terus melemah, surplus neraca dagang hanya akan menjadi angka statistik yang tidak mencerminkan kondisi ekonomi riil.
"Insentif bagi UMKM dan perlindungan sosial bagi pekerja rentan harus menjadi prioritas. Jika daya beli masyarakat terus melemah, surplus neraca dagang hanya akan menjadi angka statistik yang gagal mencerminkan realitas ekonomi riil masyarakat," ujarnya.
Pada akhirnya, menurut Achmad, keberhasilan ekonomi suatu bangsa tidak hanya diukur dari surplus dagang, tetapi dari seberapa sejahtera dan berdaya saing rakyatnya.
nflasi bulanan tercatat naik 0,44 persen pada Desember 2024. Angka tersebut merupakan tertinggi dalam setahun terakhir. Menariknya, inflasi ini bahkan lebih tinggi dibandingkan Desember 2023, meskipun sebelumnya Indonesia sempat mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut.
Kebutuhan Masyarakat Murah Dan Terkendali
Ekonom Bright Institute Muhammad Andri Perdana mengatakan, meski inflasi nampak terkendali secara tahunan (YoY), kondisi ini lebih mencerminkan daya beli masyarakat yang melemah ketimbang keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan harga.
“Kalau kita lihat angka inflasi YoY, memang terlihat rendah. Bank Indonesia (BI) dan pemerintah mengklaim ini sebagai keberhasilan pengendalian. Tapi perlu diingat, rendahnya inflasi saat ini bukan karena harga kebutuhan masyarakat murah dan terkendali, melainkan karena daya beli yang lesu,” kata Andri kepada kabarbursa.com, Sabtu, 4 Januari 2025.
Menurutnya, lemahnya daya beli masyarakat menahan harga-harga karena rendahnya permintaan. Situasi ini justru membuat banyak usaha terpaksa gulung tikar.
Andri juga menyoroti penurunan kelas pendapatan di hampir seluruh lapisan masyarakat, kecuali kelas atas, yang sebelumnya dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Menurutnya, fenomena ini menjadi indikator jelas bahwa harga barang tampak ‘terjangkau’ bukan karena pengendalian efektif, melainkan karena penurunan kemampuan masyarakat dalam berbelanja.
“Penurunan pendapatan di semua kelas kecuali kelas atas menunjukkan fenomena ini. Jadi, ini bukan soal harga barang makin terjangkau karena pengendalian, tapi lebih karena masyarakat memang kehilangan daya beli,” ujarnya. (*)