Logo
>

Polemik Tapera: Bos Real Estat Desak Keterbukaan Pemerintah

Ditulis oleh Syahrianto
Polemik Tapera: Bos Real Estat Desak Keterbukaan Pemerintah

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Wacana pemberlakuan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sebesar 3 persen membuat Joko Suranto, Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI), buka suara terhadap kebijakan baru pemerintah tersebut. Ia menilai penetapan aturan tersebut tetap perlu melibatkan masyarakat.

    Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (PP Tapera). Isinya, pasal 15 ayat (1) regulasi tersebut menyebutkan besaran simpanan peserta ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk peserta pekerja mandiri. Ayat (2) berbunyi, “Besaran simpanan peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk peserta pekerja ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen.”

    Iuran Tapera ini dimulai sejak 2021, dan pada tahap awalnya hanya diwajibkan untuk pegawai negeri sipil atau aparatur sipil negara (PNS/ASN). Namun, seiring berjalannya waktu, iuran wajib ini akan diperluas ke seluruh pekerja mulai dari TNI/Polri, pegawai BUMN/BUMD/BUMDes, hingga karyawan swasta dan wiraswasta dengan target implementasi penuh pada 2027.

    Joko menyambut baik adanya program pembiayaan perumahan ini, menganggapnya sebagai dukungan positif bagi industri perumahan. Dia mengakui bahwa pemerintah pasti telah melakukan studi dan pertimbangan yang matang terkait hal ini. Meskipun demikian, Joko juga menyoroti kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat yang belum stabil, sehingga perlu memperhitungkan beban yang mungkin timbul akibat program ini.

    Di sisi lain, Joko juga menyoroti masalah transparansi pengelolaan yang juga harus menjadi perhatian pemerintah ke depan jika iuran Tapera bagi pekerja swasta ini tetap akan dijalankan. Menurutnya, transparansi pengelolaan dan manajemen risiko mutlak dibutuhkan, karena dana yang dikelola tersebut adalah milik masyarakat.

    Adapun, terkait dengan penolakan besar yang terjadi saat ini, Joko menilai hal itu didasarkan atas kondisi ekonomi masyarakat yang belum sepenuhnya pulih usai pandemi. Selain itu, juga disebabkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem pengelolaan dana tabungan atau asuransi seiring banyak mencuatnya kasus hukum yang melibatkan badan pengelola dana masyarakat.

    Oleh karena itu, Joko meminta pemerintah Indonesia untuk dapat berkaca dan meniru kebijakan Singapura terkait dengan bagaimana negara tersebut mengelola dana perumahan. Joko merinci, Singapura mengelola dana perumahannya lewat lembaga Central Provident Fund (CPF) tidak hanya mengelola dana penyediaan perumahan saja.

    CPF sendiri menyatu dalam satu akun dengan jaminan sosial lain seperti dana pensiun, fasilitas kesehatan, pendidikan anak, dan asuransi jiwa bagi pekerja. CPF bersifat wajib bagi setiap warga negara Singapura dan dikelola oleh pemerintah, sedangkan skema iurannya didukung bersama-sama oleh pekerja, pemberi kerja, dan pemerintah. Berbeda dengan Indonesia yang hanya dibebankan kepada pekerja dan pemberi kerja saja.

    Joko menyampaikan usulan untuk mengatasi masalah ini dengan mendorong pemerintah untuk mengadopsi sistem penyatuan iuran jaminan sosial, seperti yang dilakukan dengan CPF di Singapura. Hal ini bertujuan untuk mengurangi beban iuran yang harus ditanggung oleh masyarakat dan meningkatkan efektivitas pengawasannya.

    Pengamat Soroti Tapera

    Pengamat Kebijakan Publik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro, Satria Aji Imawan menilai, potongan gaji untuk iuran Tapera bisa memberatkan banyak karyawan. Dia menilai, nominal Rp100-Rp200 ribu bernilai besar bagi sebagian besar orang.

    “Artinya bukan berarti penghasilan berapa lalu di-press (tekan) sedemikian rupa untuk investasi perumahan tapi kemudian hari per harinya penghidupannya bermasalah,” katanya, Rabu, 29 Mei 2024.

    Menurut Satria, kebutuhan hidup setiap orang bersifat relatif dan berbeda-beda. Dengan demikian, potongan tersebut tidak bisa dipukul rata. “Tidak bisa dipukul rata 3 persen. Perlu dijelaskan logikanya bagaimana, penghasilan orang itu bervariatif, 3 persen bagi orang yang penghasilannya sekelas ibu kota ya tidak sama dengan yang di kabupaten. Tidak bisa sama, harus ada penyesuaian,” katanya.

    Satria meyakini bahwa prioritas hidup orang berbeda. Membeli rumah dinilainya bukanlah perkara mudah. Lagipula membeli properti bukan harga mati. “Artinya dia memang orang yang tidak hanya bisa beli rumah, tetapi juga bertanggung jawab dengan rumahnya. Di Britania Raya, dia bisa beli rumah tetapi tidak kesulitan untuk menghidupi dirinya (yang) kemudian jadi beban negara. Kebanyakan skema di luar negeri adalah rumah sewa, orang menyewa terus, bukan membeli,” tuturnya.

    Selain itu, Satria juga menyoroti transparansi iuran Tapera. Pemerintah, dalam hal ini BP Tapera harus menjelaskan secara lebih transparan terkait kebijakan ini.

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.