Logo
>

Potensi Cuan 2025: Proyeksi Kinerja Emiten Kelapa Sawit

Dalam jangka pendek, kinerja mereka menghadapi tantangan dari segi perlambatan pertumbuhan bisnis.

Ditulis oleh Cicilia Ocha
Potensi Cuan 2025: Proyeksi Kinerja Emiten Kelapa Sawit
SAWIT - Direktur Transformasi untuk Keadilan (TuK Indonesia) Linda Rosalina menyoroti kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia di sektor kelapa sawit. (Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji)

Poin Penting :

    KabarBursa.com — Sektor kelapa sawit di Indonesia terus menunjukkan kontribusi besar terhadap ekspor nasional, namun tetap menghadapi tantangan dari segi kebijakan pangan yang kurang memberikan prioritas pada industri ini. 

    Menurut Surya Rianto, Analis dan Founder Mikir Duit, kinerja saham CPO di Indonesia sepanjang tahun 2024 cukup baik. Hal ini didorong oleh biaya produksi yang lebih rendah, seperti harga pupuk yang turun signifikan, serta harga jual rata-rata yang lebih tinggi. Meskipun pertumbuhan penjualan relatif kecil akibat perlambatan produksi, laba bersih tetap meningkat secara signifikan.

    "Dalam jangka pendek, kinerja mereka menghadapi tantangan dari segi perlambatan pertumbuhan bisnis jika cost-nya tidak semurah di 2024 (yang memang turun signifikan) ditambah harga rata-rata cenderung stagnan dan produksi yang belum menggeliat karena banyak replanting. Jadi ada potensi konsolidasi kinerja keuangan emiten CPO di 2025 dan beberapa yang produksinya sudah optimal bisa kembali growth di 2026," ujar Surya kepada KabarBursa.com, Sabtu, 29 Maret 2025.

    Surya mengatakan sektor kelapa sawit di Indonesia masih menjadi perhatian investor, terutama dari sisi valuasi yang menarik pada beberapa emiten. "Secara valuasi, saham-saham sawit yang masih murah salah satunya adalah TBLA. Dengan posisi PBV sebesar 0,39 kali, saham ini berada di kisaran yang sangat menarik. Jika melihat PBV band dalam lima tahun terakhir, TBLA sudah mendekati standar deviasi -2, yang menunjukkan bahwa harga sahamnya sudah cukup murah dibandingkan dengan nilai bukunya," jelas Surya.

    Selain TBLA, Surya juga menyoroti TAPG dan LSIP sebagai saham CPO yang menarik. "TAPG dan LSIP memiliki prospek yang baik, tetapi harga sahamnya saat ini masih agak tinggi. Risiko perlambatan kinerja di tahun 2025 bisa terjadi jika ada kenaikan biaya produksi, seperti harga pupuk dan tenaga kerja. Investor perlu mempertimbangkan momentum yang tepat untuk masuk ke saham ini agar memperoleh valuasi yang lebih menguntungkan," tambahnya.

    SIMP juga masuk dalam kategori saham sawit yang murah secara valuasi, dengan PBV sebesar 0,31 kali dan sudah berada di bawah standar deviasi -1 dalam lima tahun terakhir. Namun, Surya mengingatkan bahwa kinerja SIMP cenderung beragam karena tidak hanya berfokus pada produksi CPO, tetapi juga mengolahnya menjadi produk hilir seperti minyak goreng. "Karena memiliki lini bisnis hilir, SIMP menghadapi tambahan biaya produksi yang dapat menekan margin keuntungan dibandingkan dengan emiten sawit lainnya yang hanya berfokus pada produksi CPO," katanya.

    Lebih lanjut, Surya menekankan bahwa sektor CPO bukanlah sektor defensif, melainkan sektor siklikal yang sangat bergantung pada berbagai faktor eksternal. "Sektor CPO ini sifatnya cyclical, artinya kinerjanya sangat dipengaruhi oleh faktor cuaca, persaingan dengan minyak nabati lain seperti kedelai dan kanola, serta dinamika supply dan demand global. Selain itu, biaya produksi seperti harga pupuk, khususnya amoniak, juga dapat mempengaruhi tingkat profitabilitas emiten," ungkapnya.

    Menurutnya, CPO menjadi menarik untuk dibeli ketika valuasi sedang rendah, baik karena kenaikan biaya produksi maupun penurunan harga CPO global. "Dalam siklus normal 2-3 tahun, harga CPO bisa kembali naik, menciptakan peluang bagi investor yang masuk di harga rendah. Untuk saat ini, salah satu tantangan utama di industri sawit adalah usia tanaman di beberapa emiten yang sudah cukup tua sehingga membutuhkan proses replanting. Beberapa perusahaan, seperti AALI, sedang menjalani replanting dengan harapan produksi mereka akan meningkat dalam lima tahun ke depan. Oleh karena itu, saham CPO tetap menarik, asalkan dibeli di harga murah dengan timeframe investasi 3-5 tahun," jelas Surya.

    Melemahnya Permintaan Dari Pasar Utama

    Stok minyak sawit mentah (CPO) Indonesia mengalami lonjakan signifikan pada akhir Januari, meskipun produksi mengalami sedikit penurunan. Berdasarkan data terbaru dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), kenaikan stok ini terjadi akibat melemahnya permintaan dari pasar utama, yang berdampak pada penurunan ekspor ke titik terendah dalam empat bulan terakhir.

    Sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia mencatat ekspor CPO dan produk turunannya, termasuk minyak sawit olahan dan oleochemical, sebesar 1,96 juta metrik ton sepanjang Januari. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan 2,06 juta ton yang dikirimkan pada Desember tahun sebelumnya. Jika dibandingkan secara tahunan, ekspor turun drastis hingga 30 persen.

    Penurunan ekspor ini terutama dipengaruhi oleh berkurangnya permintaan dari beberapa negara pembeli utama, seperti India, China, dan Pakistan. Faktor ini memberikan tekanan pada industri sawit nasional, mengingat ketiga negara tersebut selama ini berkontribusi besar terhadap permintaan global.

    Di sisi produksi, output minyak sawit mentah Indonesia pada Januari tercatat sebesar 3,83 juta ton, sedikit menurun dari 3,88 juta ton pada Desember. Meskipun produksi mengalami sedikit kontraksi, peningkatan stok domestik tetap terjadi karena ekspor yang melemah.

    Kondisi ini menimbulkan tantangan bagi industri sawit Indonesia, yang harus mencari strategi baru untuk mengelola kelebihan pasokan di dalam negeri. Dengan permintaan global yang cenderung melemah, pelaku industri perlu mencari solusi seperti peningkatan serapan domestik, inovasi produk berbasis sawit, hingga strategi pemasaran yang lebih agresif untuk memperluas pasar ekspor.

    Selain itu, situasi ini juga dapat berdampak pada harga minyak sawit di pasar global. Jika stok terus meningkat sementara permintaan tetap lesu, harga CPO berisiko mengalami tekanan turun, yang berpotensi mempengaruhi pendapatan produsen dan eksportir sawit Indonesia. 

    Oleh karena itu, industri sawit nasional perlu mencermati dinamika pasar dengan lebih cermat agar dapat menyesuaikan strategi bisnis dan menjaga keseimbangan antara produksi, ekspor, serta konsumsi domestik. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Cicilia Ocha

    Seorang jurnalis muda yang bergabung dengan Kabar Bursa pada Desember 2024. Menyukai isu Makro Keuangan, Ekonomi Global, dan Energi. 

    Pernah menjadi bagian dalam desk Nasional - Politik, Hukum Kriminal, dan Ekonomi. Saat ini aktif menulis untuk isu Makro ekonomi dan Ekonomi Hijau di Kabar Bursa.