Logo
>

Premi Asuransi Terancam, Efek Domino Lemahnya Rupiah

Ditulis oleh KabarBursa.com
Premi Asuransi Terancam, Efek Domino Lemahnya Rupiah

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Penetapan premi asuransi berpotensi terkerek naik akibat efek domino dari lesunya nilai tukar rupiah. Diketahui, nilai tukar rupiah sempat berada di angka terendah sejak 2020, yakni di level Rp16.400 per dolar Amerika Serikat (AS).

    Meski begitu, lemahnya nilai tukar rupiah tidak berangsur lama. Mengacu data Google Finance, rupiah kembali menguat ke level Rp16.350 per dolar AS pada penutupan pekan, Jumat, 28 Juni 2024.

    Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Togar Pasaribu menyebut, jika rupiah berpengaruh besar terhadap industri farmasi, dalam hal ini mengerek biaya produksi obat, industri asuransi akan mengakaji kembali penetapan premi.

    Meski begitu, Togar juga menekankan, penetapan premi asuransi tetap mengacu pada jumlah klaim kesehatan. Seandainya klaim kesehatan meningkat seiring dengan harga obat yang terdorong naik akibat lemahnya rupiah, premi asuransi pun ikut terkerek naik.

    "Bila akibat pelemahan rupiah ini berpengaruh signifikan ke obat sehingga biaya klaim (kesehatan) meningkat, maka perusahaan asuransi akan meninjau ulang premi yang ditetapkannya. Biasanya naik," kata Togar kepada KabarBursa, Minggu, 30 Juni 2024.

    Togar tak menampik, lemahnya rupiah akan mempengaruhi obat-obatan bermerek. Dia menilai, situasi saat ini menjadi momentum untuk pemerintah kembali mengkampanyekan penggunaan obat generic.

    "Lemahnya rupiah akan mempengaruhi obat-obatan bermerk. Saya kira sudah saatnya kembali pemerintah mengkampanyekan penggunaan obat-obat generic. Toh khasiatnya sama," jelasnya.

    Diketahui, bahan baku produksi obat dalam negeri sendiri masih mengandalkan produk impor. Pemerintah sendiri telah menargetkan penurunan impor bahan baku obat sebesar 20 persen dari change source 10 bahan baku obat yang paling banyak digunakan di Indonesia.

    Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti, menilai lemahnya nilai tukar Rupiah dapat berimbas pada berbagai sektor usaha, tak terkecuali industri farmasi.

    Esther menilai, lemahnya Rupiah berimbas pada industri yang mengandalkan bahan baku impor, sebagaimana industri farmasi. Meningkatnya kebutuhan impor, kata dia, berdampak pada membengkaknya biaya produksi.

    “Nilai tukar ini dapat berimbas ke industri yang melambat jika bahan baku industri berasal dari luar negeri, sehingga kebutuhan nilai  impor meningkat dan mempengaruhi biaya produksi industri tersebut,” kata Esther kepada KabarBursa, Sabtu, 29 Juni 2024.

    Tingginya biaya produksi, kata Esther, turut mempengaruhi harga produk final. Hal itu berdampak pada turunnya daya saing produk Indonesia lantaran harga yang terlampau lebih mahal.

    Pada titik tertentu, kata Esther, hal ini akan menggerus omset industri dan berpotensi melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan efisiensi. Di sisi lain, hal ini juga akan mempersempit ruang fiskal.

    “Ini berdampak pada nilai impor naik, karena impor dibayar dengan USD,” tegasnya.

    Inflasi Medis Merangkak Naik

    Mengacu hasil Survey Global Medical Trends 2024 yang dirilis Willis Tower Waston, biaya medis secara global terus mengalami kenaikan, di tahun lalu sebesar 10,7 persen. Jauh meningkat jika dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 7,4 persen.

    Sedangkan di tahun ini, biaya medis global diprediksi ada diangka 9,9 persen. Adapun penyebab melambungnya biaya medis terjadi akibat penggunaan artifisial buatan, persoalan overtreatment di fasilitas Kesehatan, penggunaan layanan telemedis, hingga buruknya layanan Kesehatan.

    Sementara, Indonesia sendiri diiprediksi akan mengalami kenaikan inflasi medis hingga menyentuh angka 13 persen di tahun 2024. Adapun angka inflasi medis Indonesia diklaim lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia.

    Meski begitu, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat kinerja baik industri asuransi di Indonesia dalam laporan kinerja pada kuartal pertama, yakni dengan pendapatan premi yang tumbuh sebesar 11,7 persen, di mana total pendapatan premi tumbuh tipis sebesar 0,9 persen.

    Akan tetapi, AAJI juga mencatat adanya kenaikan klaim asuransi yang juga meningkat seiring dengan naiknya tingkat inflasi medis dalam negeri. Dalam catatan AAJI, klaim kesehatan pada kuartal pertama 2024 sebesar 29,4 persen, di mana rasio klaim asuransi kesehatan terhadap pendapatan premi untuk produk tersebut sudah mencapai 97 persen.

    Fakta tersebut menjadi salah satu bukti merangkaknya tingkat inflasi medis di Indonesia. Tingginya inflasi medis juga berdampak pada kenaikan harga fasilitas kesehatan, biaya rumah sakit, serta belanja obat-obatan.

    Indonesia Tak Punya Tarif Medis Nasional

    Chief Customer and Marketing Officer Prudential Indonesia Karin Zulkarnanen, menyebut, Indonesia belum memiliki kebijakan yang menetapkan tarif penangan medis secara nasional. Hal ini dinilai melahirkan perbedaan biaya pengobatan dan perawatan yang sulit dikontrol.

    Kondisi ini berisiko memicu kualitas layanan medis yang tidak merata dan semakin sulit terjangkau oleh masyarakat luas, terutama di tengah melambungnya inflasi medis yang berdampak pada melonjaknya biaya perawatan fasilitas kesehatan,” kata Karin dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 28 Juni 2024.

    Di sisi lain, pemerintah juga telah menyediakan layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bagi masyarakat serta mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 tahun 2023 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan.

    Karin menuturkan, kedua kebijikan itu diterbitkan untuk meningkatkan transparansi, kualitas, dan efisiensi pelayanan serta mengurangi variasi dalam pelayanan klinis. Dengan harapan penyesuaian tarif dapat diberlakukan di sektor swasta, khususnya dari sisi industri asuransi jiwa dan kesehatan.

    “Karena dengan adanya standarisasi tarif yang diberlakukan, hal tersebut diharapkan dapat menjaga keberlanjutan perlindungan kesehatan yang diberikan perusahaan asuransi melalui kendali mutu (clinical pathway) dengan pemberian pelayanan kesehatan yang efisien, efektif, dan berkualitas,” jelasnya. (And/*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi