KABARBURSA.COM - Kinerja PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) tampak mengesankan sepanjang periode Januari hingga Mei tahun 2024. Indikatornya adalah meningkatnya laba tahun berjalan menjadi Rp441,39 miliar triwulan I dan marketing sales sebesar Rp1,49 triliun hingga 31 Mei.
Kinerja impresif SMRA diyakini bakal berlanjut sepanjang tahun ini. Soalnya, rencana anak perusahaannya yakni, Summarecon Investment Property (SMIP) yang akan melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) atau IPO dan didorong penjualan properti.
Terkait rencana melantainya SMIP bermula ketika rekening operasional Mall Kelapa Gading, aset milik PT Summarecon Agung Tbk (SMRA), dikabarkan telah dialihkan ke SMIP pada 1 Juli 2024. Informasi mengenai pengalihan rekening Mall 3 Kelapa Gading terungkap melalui salinan surat tertanggal 28 Juni 2024. Surat tersebut memberitahukan kepada para penyewa mall tentang perubahan nomor rekening operasional ke SMIP.
“Bersama surat ini kami ingin menginformasikan bahwa kami akan menutup rekening (SMRA) per 30 Juni 2024. Untuk selanjutnya pembayaran per 1 Juli 2024 dapat ditransfer rekening kami yang baru (SMIP),” tulis Vivien Marshalina, Head of Finance Accounting SMRA.
Adapun SMIP merupakan perusahaan investasi dan properti yang merupakan anak usaha SMRA dengan kepemilikan saham 100 persen. Pada Desember 2023 lalu, muncul kabar bahwa SMIP berencana melantai di BEI pada tahun ini.
Rencana SMIP untuk melantai di BEI sebenarnya telah muncul sejak akhir 2015. Namun, pada 25 September 2015, SMRA membatalkan pengikatan jual beli aset Mall Kelapa Gading yang pada saat itu telah disepakati dengan SMIP dengan total Rp6,19 triliun.
Proyeksi Pertumbuhan SMRA
William Jefferson, analis dari Maybank Sekuritas Indonesia, menyebutkan bahwa dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tahunan, SMRA telah menyetujui pengalihan aset Summarecon Mal Kelapa Gading ke SMIP. Selain itu, SMIP dikabarkan akan melaksanakan penawaran umum saham perdana (IPO).
“Jika kabar ini benar, IPO kemungkinan akan dilakukan pada akhir 2024 hingga awal 2025,” ujar William pada Selasa, 6 Agustus 2024.
William juga menjelaskan bahwa dengan melambatnya pra-penjualan sejak tahun 2022, SMRA tampaknya akan lebih fokus pada properti investasinya, terutama karena semakin banyak proyek yang mulai beroperasi, seperti perluasan Summarecon Mal Bekasi dan Summarecon Mal Bogor.
Namun, William mencatat bahwa kota mandiri Serpong mengalami penurunan pra-penjualan dibandingkan sebelum Covid-19, dengan penurunan 62 persen secara tahunan (year on year/yoy).
Meskipun demikian, ia memprediksi kota mandiri lainnya seperti Bandung, Bekasi, dan Crown Gading akan menjadi sumber utama pra-penjualan bagi SMRA di masa depan, karena permintaan di area tersebut tetap kuat.
William memperkirakan pendapatan SMRA untuk tahun 2024 akan meningkat menjadi Rp7,6 triliun, naik 14 persen yoy, dan laba bersih mencapai Rp917 miliar, naik 20 persen yoy.
“Namun, kami memperkirakan laba bersih akan menurun pada tahun 2025-2026, mengingat penerbitan obligasi baru senilai Rp1,3 triliun pada Mei 2024,” tambahnya.
William menargetkan laba bersih SMRA pada tahun 2025-2026 masing-masing sebesar Rp810 miliar, naik 12persen yoy, dan Rp 858 miliar, naik 6 persen yoy.
Selain itu, jika SMIP melakukan IPO pada akhir tahun ini, William memperkirakan EBITDA akan mencapai Rp1,1 triliun. Ia juga menargetkan valuasi SMIP sebesar Rp12,6 triliun hingga Rp16,2 triliun, dengan asumsi cap rate 7-9 persen pada tahun 2024.
Hal senada disampaikan oleh Vicky Rosalinda, Equity Research Analyst Kiwoom Sekuritas. Vicky menuturkan, kinerja SMRA di tahun ini, masih cukup menarik dengan beberapa sentimen positif.
Vicky mengungkapkan bahwa pemulihan ekonomi dan daya beli yang stabil telah mendorong peningkatan permintaan terhadap emiten properti.
Dia juga berpendapat bahwa pendapatan berulang (recurring income) akan menjadi faktor utama dalam pertumbuhan jangka panjang SMRA. Dengan demikian, SMRA diperkirakan akan terus mencatatkan kinerja positif berkat pendapatan berulang dari mal dan sektor ritel.
Namun, Vicky mengingatkan bahwa ketidakpastian arah suku bunga masih menjadi kekhawatiran bagi sektor properti. Selain itu, dampak rencana penerapan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada emiten properti seperti SMRA masih terlalu dini untuk diperkirakan.
Vicky juga menilai bahwa rencana penerbitan obligasi SMRA adalah langkah yang baik untuk mendukung strategi bisnis perusahaan, namun terdapat risiko yang perlu diperhatikan. SMRA sedang merencanakan penerbitan Obligasi Berkelanjutan IV Summarecon Agung Tahap III Tahun 2024 dengan nilai pokok Rp 1,3 triliun.
Menurut Vicky, penerbitan obligasi ini akan mendukung modal bisnis SMRA, tetapi risiko gagal bayar tetap ada karena suku bunga Bank Indonesia (BI) yang masih tinggi dan ketidakpastian ekonomi yang ada.
“Oleh karena itu, penting untuk tetap waspada dan mengevaluasi perkembangan ekonomi saat ini sebelum melangkah dengan penerbitan obligasi,” tambah Vicky.
Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, tetap optimis bahwa kinerja positif SMRA akan berlanjut, didorong oleh prospek peningkatan pendapatan dari penjualan properti. Ini karena dukungan dari kondisi industri properti, seperti penerapan insentif PPN DTP yang berlaku hingga akhir 2024.
Di sisi lain, kondisi makroekonomi diperkirakan akan membaik, terutama dengan kemungkinan pemangkasan suku bunga acuan tahun ini. Pelonggaran kebijakan moneter oleh bank sentral dapat menjadi pendorong bagi arus masuk (inflow) ke sektor properti.
Nafan menjelaskan bahwa penurunan suku bunga acuan akan berdampak positif terhadap penurunan bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Pemilikan Apartemen (KPA). Dengan demikian, masih ada harapan positif untuk sektor properti di masa depan.
“Insentif PPN DTP akan terus merangsang minat investor untuk membeli properti,” kata Nafan.
Proyeksi Saham SMRA
Vicky memproyeksikan bahwa prospek saham SMRA tahun ini masih cukup menarik. Potensi kenaikan harga saham didorong oleh IPO SMIP dan pengembangan proyek baru yang dapat mendorong harga saham SMRA naik.
“Ini dapat mendukung stabilitas pendapatan dari properti investasi,” kata Vicky.
Namun, Vicky menyarankan untuk menunggu dan melihat terlebih dahulu untuk saham SMRA. “Saat ini, saya masih merekomendasikan wait and see, karena secara teknikal sahamnya juga mengalami pelemahan,” tambahnya.
Di sisi lain, Nafan merekomendasikan accumulative buy untuk SMRA dengan target harga Rp650 per saham, sementara William merekomendasikan buy dengan target harga Rp800 per saham. (*)